Terseret Miskomunikasi di Tahun Politik
Miskomunikasi politik yang sedang hangat pada awal Agustus ini bermula dari pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan relawannya. Orang nomor satu di Indonesia ini mengajak relawannya untuk menjalankan agenda kampanye Pemilu Presiden 2019 secara elegan.
Presiden Joko Widodo juga menyugesti relawannya untuk bersikap tidak takut ketika mendapat serangan dari lawan politiknya. ”Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani,” tegasnya, seperti dikutip media massa.
Mitos tafsir
Atas kalimat ”…tapi, kalau diajak berantem juga berani’’ yang diucapkan Presiden Joko Widodo di hadapan relawannya dalam rapat umum di Sentul International Convention Center, Bogor, berujung tafsir serta makna berbeda. Ironisnya justru berakhir pada kubangan miskomunikasi.
Dalam perspektif realitas media, kubangan miskomunikasi terpetakan di alam pikiran anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade. Di mata Andre, kalimat tersebut menjadi kehilangan konteks. Pada titik itu, makna konotasi atas kalimat yang diucapkan Presiden Joko Widodo secara sepihak diturunkan kasta interpretasinya menjadi makna denotasi. Kalimat tersebut oleh Andre digantungi makna berkelahi. Ia menafsirkan makna diksi berantem menjadi sebentuk aktivitas kekerasan fisik, dilakukan secara komprehensif lewat kontak fisik yang menyebabkan cedera badan.
Dalam konteks ini, ada perbedaan pemahaman makna atas tafsir pesan verbal yang dilontarkan kedua belah pihak. Akibatnya menjadi sajian cara pandang tidak membahagiakan bagi penerima pesan yang sedang beku hatinya. Karena itulah, miskomunikasi menjadi musuh utama manusia di tengah pergaulan patembayatan sosialnya.
Ironisnya, pada tahun politik ini, wabah penyakit mati rasa atas mitos tafsir seperti itu mudah menular. Lebih aneh lagi, masyarakat dengan senang hati menyebarluaskan wabah penyakit mati rasa itu ke sekitarnya.
Dalam hal ini, diperlukan kata kunci dan hakim garis yang mampu menyelesaikan. Salah satunya lewat ikhtiar membangun kesepahaman bersama para pihak. Selanjutnya menyiangi hati mereka. Menyelaraskan nalar perasaan dan akal pikiran kedua belah pihak yang sedang terserang wabah penyakit mati rasa akibat terpaan deburan ombak miskomunikasi.
Aspek kesepahaman itu perlu segera ditarik ke dalam ruang patembayatan sosial. Tujuannya untuk menggairahkan konsep hidup yang mengedepankan solidaritas dan gotong royong. Sebab, dengan menjalankan kehidupan yang mengedepankan aspek kesepahaman, hal itu memiliki kesamaan makna dengan meniatkan diri saling menghormati sesama manusia dalam kehidupan berlandaskan fondasi hidup berkeadilan sosial.
Masalahnya kemudian, kenapa pada tahun politik ini kehidupan kita selalu dikuasai gerakan untuk menumpulkan nalar perasaan sehingga membutakan mata batin dalam konteks kehidupan patembayatan sosial di jagat raya ini?
Kenapa lewat jalan miskomunikasi kita suka melukai hati dan perasaan sesama umat manusia?
Kenapa lewat jalan miskomunikasi kita senang menyalahpahami apa pun di depan mata?
Kenapa pula seakan kita berbahagia dan seolah menjadi manusia perkasa manakala berhasil menjebakkan diri dan kemudian memenjarakan diri dalam deburan ombak miskomunikasi?
Untuk itu, marilah kita bersama-sama bangkit berdiri agar senantiasa mampu membangun kesepahaman dalam perspektif keadilan sosial. Lewat bangunan ini, pemerintah, pejabat penyelenggara pemerintahan, anggota Dewan, dan elite politik harus mampu plus mau melakukan komunikasi dialogis serta memahami aspirasi rakyatnya.
Mereka harus bersedia menjadi inspirator. Mereka juga wajib menyamakan gerak langkah dirinya dengan gerak jiwa masyarakat yang diayominya.
Komunikasi dialogis
Terpenting, mereka seyogianya membangun kesepahaman kepada rakyat melalui komunikasi dialogis. Proses komunikasi semacam ini sangat kuat pengaruh kesepahamannya. Mengapa demikian? Sebab, semua digerakkan lewat nalar perasaan yang sangat rasional.
Orientasi komunikasi dialogis didedikasikan untuk membangun peradaban manusia yang memuliakan semua pihak. Berbeda dengan komunikasi sepihak yang didasarkan pada akal pikiran. Hasilnya cenderung memproduksi sebentuk proses komunikasi yang sangat individual, searah, emosional, dan berujung pada kubangan miskomunikasi.
Berdasarkan jejak budaya komunikasi dialogis tersebut di atas diharapkan pemerintah dan pejabat penyelenggara pemerintahan memiliki kewibawaan dan kemampuan yang mumpuni.
Mereka memiliki kepiawaian menghadapi bermacam masalah yang mengemuka di ruang patembayatan sosial. Mereka mampu menciptakan suasana perikehidupan yang nyaman. Mereka sanggup menyetem situasi dan kondisi yang aman terkendali demi mendukung produktivitas kinerja kreatif masyarakat.
Jika budaya komunikasi dialogis secara ideologis dijadikan sokoguru dan prinsip hidup semua orang, dapat dibayangkan hidup dan kehidupan ini menjadi sangat berkualitas.
Untuk mewujudkan impian itu, diperlukan kerja kolaborasi saling menguntungkan. Dibutuhkan pula dukungan proses berkomunikasi secara dialogis yang terselenggara dengan baik antar- para pihak: ketika persyaratan tersebut dapat terpenuhi sepenuhnya. Pada titik ini, keberadaannya diyakini mampu menjinakkan deburan ombak miskomunikasi di tahun politik ini.
Sumbo Tinarbuko Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta