Unjuk rasa puluhan ribu warga Arab-Israel dan Israel-Yahudi di Tel Aviv, Sabtu lalu, menunjukkan Undang-Undang Negara-Bangsa itu juga ditentang di Israel sendiri.
Unjuk rasa itu menyajikan pemandangan yang cukup langka. Warga Arab-Israel dan warga Israel-Yahudi berdampingan dan sama-sama menyuarakan penentangan terhadap undang-undang (UU) baru yang dinilai melegalisasi diskriminasi warga di negara tersebut. Aksi penentangan ini merupakan yang kedua kali setelah unjuk rasa serupa, juga pada hari Sabtu, 4 Agustus lalu.
Jika unjuk rasa pertama digelar komunitas Druze-Israel dan didukung partai-partai kiri tengah seperti Uni Zionis (Buruh) dan Yesh Atid serta partai sayap kiri Meretz, demonstrasi pada Sabtu lalu digulirkan komunitas Arab-Israel dan didukung satu-satunya partai Arab di Israel, Joint List. Warga Druze-Israel dan Arab-Israel memang mendapat getah pemberlakuan UU baru itu.
Mereka bakal menjadi warga kelas dua di Israel setelah UU Negara-Bangsa disahkan parlemen (Knesset) melalui voting, 19 Juli lalu. Saat itu, dari 120 anggota parlemen, 62 mendukung, 55 menentang, dan 2 abstain. UU baru itu menyatakan, hanya warga Yahudi yang berhak menentukan nasib di Israel. Warga non-Yahudi praktis dianggap seperti warga kelas dua.
Karena itu, tidak berlebihan kiranya banyak pihak menyebut UU tersebut sebagai UU apartheid yang melegitimasi rasisme. Warga Arab-Israel berjumlah sekitar 20 persen dari 9 juta penduduk Israel. Adapun warga Druze-Israel sekitar 120.000 jiwa, tetapi mereka cukup loyal dan sebagian menduduki jabatan penting di militer serta lembaga-lembaga keamanan.
Sebelumnya, secara hukum, warga Arab-Israel mendapat hak-hak kewarganegaraan penuh meski dalam praktiknya mereka mengalami diskriminasi di sejumlah bidang, seperti pekerjaan dan kepemilikan tempat tinggal. Banyak pihak menyebut mereka sebenarnya sudah lama diperlakukan seperti warga kelas dua.
Dan, UU baru itu semakin mengesahkan praktik-praktik diskriminatif yang selama ini sudah berjalan. Hal inilah yang tak diterima sebagian kelompok Israel-Yahudi. Bahkan, Presiden Israel Reuven Rivlin termasuk pihak yang menentang UU itu.
Tidak mengherankan dalam dua kali unjuk rasa menentang pengesahan UU diskriminatif, termasuk pada Sabtu terakhir, warga Israel-Yahudi juga ambil bagian untuk menunjukkan solidaritas mereka terhadap warga Arab-Israel. Dalam demonstrasi di Alun-alun Rabin, Tel Aviv, Sabtu lalu, pengunjuk rasa mengibarkan bendera Palestina dan Israel bersama-sama.
”Baru pertama kali ini terjadi puluhan ribu warga Arab datang ke Tel Aviv bersama kelompok-kelompok warga Yahudi yang demokratis,” kata Ayman Odeh, anggota parlemen wakil warga Arab di Knesset, kepada kantor berita Associated Press.
Bagi dunia internasional, termasuk kita di Indonesia, UU itu menjadi ancaman bagi perwujudan solusi-dua negara sebagai bagian dari upaya perdamaian Palestina-Israel. Di Israel, gugatan telah diajukan terhadap pemberlakuan UU tersebut. Kita berharap para hakim di Israel mempertimbangkan kembali pengesahan UU tersebut dan—semoga saja—membatalkannya.