Rekor beras sebagai komoditas politis tak pernah terkalahkan. Kisruh pangan mutakhir, naiknya harga telur, beberapa minggu saja selesai. Begitu pun cabai, kedelai, bawang, dan lain-lain, ketika krisis, seminggu rampung. Konflik perdagangan yang sedang diperkarakan AS, dengan ancaman denda WTO atas Indonesia Rp 5 triliun, pasti juga segera selesai. Tak demikian dengan perberasan yang produsennya puluhan juta petani dan konsumennya seluruh penduduk.
Kisruh tata niaga beras senantiasa muncul-tenggelam tiada akhir. Penyelesainnya pun tak mudah dan acap kali terjebak aneka sesat pikir (logical fallacy). Bulog tak pernah sukses. Rancangannya, tentu proteksi harga gabah pro kesejahteraan petani dan pengendalian harga beras untuk menjaga daya beli konsumen. Harga gabah harus mahal dan beras harus murah: dengan aneka rekayasa yang tak pernah efektif.
Indikasi tak sukses ini sederhana. Selama masa Kabinet Kerja (KK) 2014-2019, pimpinan Bulog sekian kali berganti. Pendekatan stabilisasi yang militeristik sepertinya efektif, tetapi pasti meneror di tingkat akar rumput, dan kontradiktif dengan kebijakan nasional pengendalian radikalisme.
Akar permasalahannya sebenarnya simpel dan sering dilontarkan penulis. Kitab suci perberasan adalah Inpres No 5/2015. Namun, sejak diterbitkan, 17 Maret 2015, sudah penuh sesat pikir, untuk tak menyebut manipulatif. Akibatnya, siapa pun pilot Bulog, pasti akan gagal karena referensi utamanya memang cacat sebagai acuan, sekurangnya dari aspek akademik dan operatif.
Penyimpangan
Sesat pikir dari sisi akademik bisa dicermati dari angka harga pembelian pemerintah (HPP) yang diamanatkan untuk gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan beras. Ketika berasumsi bahwa harusnya inpres itu bersifat self-operating, maka harus ada kesetaraan antara HPP GKG dan HPP beras yang termasuk segala jasa pengolahan GKG menjadi beras.
Sementara amanat inpres dengan HPP GKG Rp 4.600/kg dan HPP beras Rp 7.300/kg, sungguh tak memenuhi kesetaraan dimaksud. Jika diasumsikan ada jasa pengolahan dengan biaya penggilingan Rp 300-Rp 500/kg saja, proporsionalitas HPP sudah tak masuk akal. Itulah sesat pikir akademis karena hanya bisa terwujud jika rendemen penggilingan 66-67 persen, sesuatu yang tak pernah ada, di lab UGM sekalipun.
Aneka kreativitas lalu muncul, seperti Program Pengembangan Pangan Masyarakat yang menyediakan subsidi Rp 200 juta per gabungan kelompok tani untuk bisa menjual beras murah, lewat Toko Tani, juga tak populer. Kreativitas lain, seperti fleksibilitas HPP 10-20 persen, kebijakan HET-beras, dan pengerahan aparat dalam Sergap, juga tidak efektif jika tidak boleh dikatakan justru problematik.
Cacat operasional inpres adalah rendahnya HPP dibandingkan harga lapangan pada umumnya dan saat panen raya sekalipun, ketika inpres diundangkan, Maret 2015. Akibatnya, Bulog mengharamkan dirinya melakukan pembelian masif karena mengingkari inpres. Cadangan pun tak tercapai. Potensi operasi pasar ketika dibutuhkan stabilisasi di kemudian hari pasti rendah.
Rendahnya HPP Maret 2015 terasa kian parah dan tak sebanding dengan realitas pada tahun- tahun berikutnya sampai 2018. Sebab, inflasi 2015-2018 terakumulasi mendekati 20 persen, dengan tanpa pernah ada perbaikan HPP. Walhasil, tak bakal efektifnya inpres dimanfaatkan pelaku perberasan untuk melakukan pembelian musim panen dengan keyakinan harga kemudian hari melangit. Naif jika pelaku ini disebut mafia.
Dengan tekad cawapres Jokowi, Ma’ruf Amin, untuk kedaulatan pangan dan anti-impor, jalan satu-satunya benahi perberasan: segerakan perombakan inpres untuk memenuhi rasionalitas akademik dan operasional, sekaligus kompensasi terhadap HPP yang bertahun-tahun stagnan, sementara inflasi terus terakumulasi eskalatif. Tak ada yang sulit demi menjaga stabilitas yang senantiasa diperlukan bangsa untuk melindungi konsumen, menyejahterakan produsen, menjaga inflasi, sekaligus menjamin stabilitas ekonomi.