Jumat pekan lalu Turki menggemparkan dunia lewat kejatuhan mata uang lira yang membawa dampak guncangan ke hampir seluruh pasar global.
Meski krisis Turki dilatari problem ekonomi dalam negeri, kepanikan pasar pada Jumat lalu terutama dipicu oleh ancaman sanksi tarif bea masuk yang akan dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap produk baja dan aluminium dari Turki.
Ancaman pengenaan tarif dua kali lipat dari sebelumnya dijatuhkan AS menyusul penolakan Turki untuk membebaskan Andrew Brunson—pendeta berkebangsaan AS yang ditahan aparat Turki akibat tudingan terlibat upaya kudeta Turki tahun 2016—hingga batas waktu yang ditetapkan AS, yakni pekan lalu.
Ancaman tarif dipastikan akan membuat ekonomi Turki yang dihantui defisit transaksi berjalan masif kian terpukul. Investor pun ramai-ramai menarik dananya dari Turki, menyebabkan nilai tukar lira terjun bebas, anjlok sekitar 20 persen pada pekan lalu saja. Lira menjadi mata uang dengan kinerja terburuk, melemah 97,9 persen setahun terakhir dan 70 persen sejak awal tahun.
Kekhawatiran akan terjadinya efek menular—terutama mengingat keterpaparan yang sangat tinggi perbankan Eropa terhadap lira—menyebabkan pasar saham seluruh Eropa anjlok tajam. Di Asia, indeks saham dan nilai tukar mata uang juga melemah.
Tekanan terhadap ekonomi Turki sudah terlihat beberapa bulan terakhir, dengan memburuknya defisit transaksi berjalan, melonjaknya inflasi hingga lima kali lipat rata-rata negara maju, dan menguatnya dollar AS. Turki juga dihadapkan pada membengkaknya utang swasta dan ketergantungan besar perbankan pada pembiayaan luar negeri.
Utang luar negeri pemerintah juga dianggap sudah pada tingkat berbahaya bagi perekonomian. Perbankan sendiri terancam kredit macet akibat meletusnya gelembung sektor konstruksi. Cadangan devisa yang rendah, terendah di antara negara emerging market, membuat lira rentan serangan spekulan. Di tengah situasi itu, pemerintahan otokratik Erdogan dinilai tak melakukan langkah apa pun untuk menenangkan investor.
Sebaliknya, intervensi politik Erdogan terhadap bank sentral yang independen dan penunjukan menantunya menjadi menteri keuangan kian memperburuk keadaan. Tanpa langkah darurat penyelamatan, Turki dikhawatirkan meluncur ke krisis keuangan skala penuh, dengan dampak penularan lebih luas ke global.
Krisis Turki jadi peringatan bagi emerging market lain dengan problem serupa. Kendati fondasi makroekonomi dan cadangan devisa kita lebih kuat daripada Turki, kita menghadapi masalah serupa: problem defisit transaksi berjalan yang membesar dan utang yang, kendati secara rasio aman, cenderung meningkat.
Pada Agustus 2013, Morgan Stanley memasukkan Turki dan Indonesia bersama Brasil, India, dan Afrika Selatan sebagai lima emerging market yang rentan karena ketergantungan besar pada investasi atau pembiayaan asing untuk mendanai ambisi pembangunannya. Indonesia juga salah satu dari 16 mitra dagang utama yang jadi target kebijakan tarif AS di era Trump.
Di tengah meningkatnya tekanan eksternal akibat dampak kebijakan normalisasi moneter di AS, meluasnya perang dagang, efek krisis Turki, dan naiknya suhu politik domestik menjelang pemilu, kita harus menyiapkan bantalan lebih agar tidak menjadi bulan-bulanan dari perubahan sentimen investor.