Tujuh menteri Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla akan pindah jalur dari eksekutif ke legislatif.
Dari daftar calon sementara yang dipublikasikan KPU, terdapat deretan nama tujuh menteri yang mencalonkan diri. Dari PKB terdapat nama Mendesa PDTT Eko Putro Sandjojo (daerah pemilihan Bengkulu), Menpora Imam Nahrawi (DKI Jakarta I), dan Menaker M Hanif Dhakiri (Jawa Barat VI).
Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terdapat nama Menkumham Yasonna H Laoly (Sumatera Utara I) dan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani (Jawa Tengah V). Dari PPP terdapat nama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (Jawa Barat VI). Dari Partai Amanat Nasional (PAN) terdapat nama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur (Kepulauan Riau).
Meski ada sejumlah kader menjabat posisi menteri, tidak ada menteri dari Partai Nasdem yang maju sebagai caleg. Kebijakan Nasdem itu patut dihargai. Begitu pun dengan Partai Golkar. Sebagai caleg, menteri tentunya akan berkampanye. Berkampanye untuk dirinya agar terpilih, berkampanye untuk partainya agar lolos dari ambang batas parlemen 4 persen, dan berkampanye untuk Jokowi.
Namun, pada sisi lain, kelanjutan pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla haruslah tetap dijaga. Pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla menghadapi masalah yang tidak ringan. Tantangan ekonomi global yang terus bergejolak, kebijakan Presiden AS Donald Trump, perang dagang AS-China, dan gejolak ekonomi di Turki akan membawa pada situasi ekonomi domestik yang tidak mudah. Belum lagi tugas Presiden Jokowi untuk melunasi janji kampanye, menuntut konsentrasi dari pembantu Presiden untuk merealisasikannya. Di sini sebenarnya konsentrasi kabinet dibutuhkan untuk mengatasi masalah ekonomi domestik.
Namun, kita mengakui tidak ada aturan yang dilanggar ketika menteri maju sebagai caleg. Hanya masalahnya bagaimana agar tidak muncul tudingan uang negara dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye, bagaimana menteri tetap berkonsentrasi menyelesaikan tugasnya sebagai pembantu presiden. Jika kemudian mereka terpilih dan dilantik pada 1 Oktober 2019, tentu mereka harus memilih tetap berada di eksekutif atau legislatif. Di sinilah posisi dilematis para menteri yang nyaleg. Bagaimana pula suara rakyat ketika ternyata perannya hanya sekadar vote getter dan kemudian kembali ke eksekutif.
Dari tujuh menteri, posisi Menteri Asman Abnur menjadi dilematis. PAN menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Jokowi per 2 September 2015 melalui pidato Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. ”Kami sepakat bulat, menyatakan PAN bergabung dengan pemerintah,” kata Zulkifli Hasan (Kompas, 3 Mei 2015). Namun, pada Pemilu 2019, PAN mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam situasi demikian, sebaiknya Presiden Jokowi bersikap. Permintaan mundur Menteri Asman dari Kabinet Kerja adalah hal wajar untuk menjaga prinsip politik, etika, serta fatsun politik.