Semoga Kita Tak Berpikir Usang
Apa tujuan pemerintah menyokong lima cabang olahraga non-Olimpiade untuk mendulang medali emas di Asian Games 2018? Jika semata untuk mengejar predikat 10 besar, sesungguhnya hal itu usang. Itu cara berpikir yang membuat kita mundur 56-73 tahun ke masa lampau.
Akhir Juli silam di hadapan Komisi X DPR dan awal Agustus seusai rapat dengan para pembina cabang olahraga, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengumumkan target tuan rumah dalam Asian Games yang mulai resmi digelar di Jakarta-Palembang, 18 Agustus. Indonesia membidik 16-20 emas.
Perolehan 13 emas—65 sampai 81 persen dari target—dibidik dari cabang non-Olimpiade: pencak silat, panjat tebing, jetski, bridge, dan paralayang. Kelimanya digelar atas permintaan tuan rumah (Kompas, 5 Agustus 2018).
Dibandingkan semua perhelatan terdahulu, Asian Games Jakarta-Palembang memang paling banyak menggelar cabang olahraga non-Olimpiade. Tercatat, 20 cabang diakomodasi, dari bola basket tiga lawan tiga hingga squash.
Dari bela diri tradisional Jepang, jujitsu, hingga gulat Rusia, sambo. Jumlah tersebut mengalahkan ”rekor” yang sebelumnya dipegang Asian Games Guangzhou 2010 dengan 14 cabang olahraga non-Olimpiade.
Yang menarik, kelima cabang non-Olimpiade yang diusung Indonesia untuk meraih emas baru kali ini dipentaskan di Asian Games. Itu berbeda dengan, misalnya, bela diri Asia Selatan, kabaddi, yang sudah mapan di Asian Games sejak Beijing 1990. Contoh lain, boling atau soft tennis. Keduanya telah rutin digelar setidaknya sejak Busan 2002.
Di satu sisi, mengandalkan pencak silat, panjat tebing, jetski, bridge, dan paralayang adalah berkah bagi komunitas cabang olahraga tersebut. Kita semua patut bersyukur dan bergembira untuk mereka. Selama ini, atlet, pelatih, pengurus, dan orangtua atlet yang menekuni cabang-cabang tersebut punya perjuangan panjang yang sama dengan rekan-rekan mereka di cabang-cabang Olimpiade.
Apa pun pilihan cabangnya, olahraga menuntut hal yang sama terhadap para aktivisnya. Umumnya, penonton, penggemar, dan masyarakat luas hanya melihat hasil jadi proses menahun yang mereka lakukan: panggung penghormatan pemenang, medali emas, perak, dan perunggu.
Sepanjang waktu mereka harus terus menghidupkan gairah diri, menjaga fokus, kerja keras, menelan pengorbanan, rasa sakit, dan air mata.
Di balik yang tak terlihat, insan-insan olahraga tersebut selama 24 jam dalam sehari, tujuh hari seminggu, sepanjang tahun berada dalam tata kehidupan yang ketat.
Sepanjang waktu mereka harus terus menghidupkan gairah diri, menjaga fokus, kerja keras, menelan pengorbanan, rasa sakit, dan air mata. Mereka terbiasa berada di tengah gempita tepuk tangan saat berhasil, dan berdiam dalam kesendirian karena ditinggalkan banyak orang ketika gagal.
Jadi, jika atlet seperti dua bersaudara Aero Sutan Azwar dan Aqsa Sutan Aswar memperoleh kesempatan berlomba di Asian Games, itu adalah kabar yang amat menggembirakan. Bertahun-tahun sudah mereka menempa diri hingga bisa menjadi jawara kelas dunia di jetski.
Di sisi yang lain, apa tujuan para pengambil kebijakan olahraga negeri mengusung mereka? Jika hanya memburu kepingan emas semaksimal mungkin di event tahun ini, itulah kebijakan yang oleh banyak akademisi ilmu olahraga disebut strategi kerek bendera.
Jika Anda atau kelompok Anda ingin dikenal dalam lautan manusia, cara paling mudah adalah buatlah bendera yang menunjukkan identitas Anda. Lalu, kereklah di tiang setinggi-tingginya. Maka, semua orang akan tahu bahwa Anda, ada.
Cara seperti ini tidaklah jelek. Namun, strategi itu biasanya dilakukan oleh negara-negara yang baru merdeka atau yang baru membuka diri pada pergaulan dunia. Negara-negara seperti itu umumnya baru merangkak. Ekonominya masih morat-marit, daya tawar politiknya masih lemah, dan tingkat pendidikan belum merata.
Para petinggi di negeri-negeri seperti itu—termasuk Soekarno—perlu alat untuk mendongkrak prestise negara di mata negara lain. Mereka juga perlu sesuatu yang bisa membangkitkan harga diri dan kepercayaan diri rakyatnya. Alat yang mereka butuhkan adalah olahraga prestasi.
Maka, dicarilah atlet paling berbakat di beberapa cabang olahraga yang ada di negara tersebut. Ketika akhirnya para atlet itu menang di panggung dunia—dalam ajang di negara lain atau event yang digelar di negeri sendiri—tujuan tersebut tercapai. Masyarakat negara-negara lain akhirnya tahu bahwa negara yang baru merdeka itu ternyata punya keunggulan.
Namun, Indonesia bukanlah negeri yang baru merdeka. Persoalan negeri kita bukan lagi urusan minder dalam pergaulan internasional.
Masyarakat di negara muda itu pun bangga. Kepercayaan diri mereka bangkit. Mereka tak lagi minder berhadapan dengan orang asing karena mereka tahu, mereka punya juara dunia, juara Asia. Ternyata kualitas diri bangsa mereka tidaklah kalah dibandingkan bangsa-bangsa yang lain.
Namun, Indonesia bukanlah negeri yang baru merdeka. Persoalan negeri kita bukan lagi urusan minder dalam pergaulan internasional. Yang kita butuhkan tidak lagi menjadikan olahraga prestasi sebagai sarana mengerek bendera.
Pada negara-negara yang mapan, stabil, dan terus-menerus meningkatkan kualitas diri, olahraga prestasi tetaplah penting sebagai alat politik. Namun, olahraga bukan lagi alat politik praktis seputar kekuasaan. Olahraga merupakan sarana ampuh dalam rekayasa sosial membentuk masyarakat berkualitas lebih baik.
Tidak jauh-jauh, Singapura adalah negeri yang sukses dalam politik tersebut. Sebagai negara perdagangan, Singapura perlu masyarakat yang bugar. Masyarakat yang mampu bekerja lama tak cepat lelah, tak mudah sakit, dan bisa menjaga konsentrasi terus-menerus adalah salah satu kunci keberhasilan perdagangan mereka.
Maka, Singapura sukses merekayasa masyarakatnya untuk rajin berolahraga. Data terakhir 2015 menunjukkan, 54 persen orang Singapura berolahraga rutin. Sebanyak 28 persen di antaranya berolahraga 1-2 kali sepekan, 26 persen lainnya bahkan 3 kali hingga setiap hari per pekan. Yang luar biasa, 11 persen dari total populasi Singapura ternyata rutin berolahraga setiap hari.
Singapura negeri dengan lahan yang terbatas. Mereka tak bisa bermewah-mewah dengan membuat lapangan sepak bola yang banyak. Satu pilihan yang paling mungkin adalah mengajak sebanyak-banyaknya masyarakat berenang. Kolam renang tak perlu lahan yang luas karena ukuran maksimalnya toh hanya 25 meter x 50 meter.
Oleh karena itu pulalah Singapura terlihat sangat fokus pada renang sebagai olahraga prestasi. Banyak perenang negeri itu yang punya level dunia dari generasi ke generasi.
Spesialis 50 meter bebas putra Ang Peng Siong adalah peringkat keempat dunia pada 1982. Yang terakhir, Singapura punya Joseph Schooling, si pemegang emas 100 meter kupu-kupu Olimpiade 2016.
Hasil prestasi itu menetes ke tingkat olahraga masyarakat. Renang adalah cabang olahraga rekreatif paling diminati bangsa Singapura setelah jalan sehat dan joging.
Cetak biru strategi
Lalu, apa yang hendak dilakukan pemerintah dengan pencak silat, jetski, panjat tebing, bridge, dan paralayang pasca-Asian Games?
Apakah Indonesia sudah punya cetak biru strategi pengembangan pencak silat bertahun-tahun ke depan? Puluhan tahun masyarakat pencak silat telah berjuang mengangkat harkat bangsa. Mereka telah mengekspor bela diri Asia Tenggara itu ke berbagai penjuru dunia.
Organisasi tingkat dunianya pun telah terbentuk. Namun, jangankan menjadi cabang olahraga resmi Olimpiade, seperti judo atau taekwondo, di Asian Games saja belum pernah berhasil dipentaskan sebelum Jakarta-Palembang.
Apa pula rencana strategis emas jetski? Apakah ini memicu masyarakat agar melihat laut? Kerusakan terumbu karang dan pencemaran telah banyak merusak pesisir kita. Kini, sampah menjadi persoalan yang membuat pusing Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Bagaimana dengan panjat tebing? Emas dari cabang tersebut sesungguhnya bisa menjadi langkah awal mengajak masyarakat Indonesia untuk sebanyak mungkin kembali ke alam. Kita punya banyak tebing karst yang bisa dipanjat.
Dengan demikian, semakin banyak masyarakat yang terikat akan keberadaan pegunungan karst dan pemahaman untuk menjaga kelestariannya untuk kepentingan yang lebih besar kian utuh.
Pasca-SEA Games 2011, Indonesia gagal memanfaatkan olahraga untuk membawa masyarakat menjadi lebih baik, fisik dan mental.
Jika memang itu yang dituju dari emas panjat tebing, kita bisa tersenyum karena konflik antara industri dan masyarakat, seperti yang menyangkut pegunungan karst Kendeng Utara, bukanlah persoalan yang rumit untuk diselesaikan.
Lagi pula, panjat tebing akan menjadi cabang olahraga resmi dunia di Olimpiade 2020. Jika memang itu yang dituju, sudahkah pemerintah menyiapkan cabang tersebut dalam program Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP)? Program semacam beasiswa prestasi PPLP selama ini dijalankan untuk menjaga agar para atlet pelajar dapat terus berlatih meningkatkan prestasi mereka.
Semoga, rencana-rencana strategis itulah yang dituju dengan mengusung cabang-cabang olahraga non-Olimpiade tersebut di Asian Games Jakarta-Palembang. Jika berhenti di panggung medali saja, cerita SEA Games 2011 akan berulang kembali.
Saat itu, masyarakat Indonesia gegap gempita dengan rasa bangga. Dada dipenuhi semangat kerja seusai Indonesia kembali menjadi juara SEA Games. Namun, efek tersebut hanya berumur beberapa hari, beberapa pekan.
Setelah itu, tak ada yang berubah. Kesemrawutan tetap terjadi di mana-mana, kehidupan politik tak menjadi lebih dewasa, jumlah perokok tetap tinggi, klaim asuransi kesehatan tak berkurang seperti yang dirasakan pengelola BPJS saat ini.
Pasca-SEA Games 2011, Indonesia gagal memanfaatkan olahraga untuk membawa masyarakat menjadi lebih baik, fisik dan mental. Dan para atlet, pelatih, dan orangtua mereka kembali dalam kesendirian.