Waspada
”Tiap kali arus modal portofolio jangka pendek masuk ke emerging economies, pasar keuangan bergelora. Lalu pembuat kebijakan bersorak: negeri kami dicintai investor, kali ini situasinya berbeda. Padahal, inilah awal dari krisis keuangan”.
Saya ingat obrolan dengan ekonom Carmen Reinhart beberapa waktu lalu. Saya terdiam, ada kebenaran dalam ucapannya.
Dalam tekanan
Dan hari-hari ini Indonesia ada dalam tekanan itu. Akankah tekanan berlanjut? Apa yang harus kita lakukan? Untuk menjawab ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, saat ini perekonomian dunia sedang bergerak menuju kondisi ”normal baru” (new normal). Krisis keuangan global 2008-2009 telah memaksa Bank Sentral AS (The Fed) melakukan quantitative easing (QE) dengan memompa likuiditas. Akibatnya tingkat bunga di AS mencapai tingkat terendah (0,25 persen). Bunga rendah ini memicu arus modal masuk ke emerging markets (EM), termasuk Indonesia.
Investor mengejar imbal di EM relatif tinggi. Namun, ini hanya bersifat sementara. Ketika perekonomian AS membaik, The Fed mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter. Tingkat bunga diperkirakan kembali ke pra-QE, mungkin ke kisaran 3-3,5 persen (saat ini 2 persen).
Bila proses ini berjalan perlahan, dampaknya terbatas. Namun, tampaknya tak demikian. Mengapa? Desember 2017, kebijakan pemotongan pajak diterima Kongres AS. Akibatnya, defisit anggaran di AS naik, diperkirakan lebih dari 1 triliun dollar AS pada 2019. Presiden AS Donald Trump harus membiayai defisitnya dengan emisi obligasi. Bisa diduga imbal obligasi di AS akan naik signifikan, yang pada gilirannya mendorong The Fed mempercepat kenaikan bunga.
Tak hanya itu, ekspansi fiskal akibat pemotongan pajak dilakukan saat AS mendekati full employment (kapasitas produksi digunakan secara penuh). Bisa dibayangkan, permintaan naik, padahal kapasitas produksi terbatas. Akibatnya inflasi akan naik. Tak ada pilihan lain, The Fed harus mempercepat kenaikan bunganya. Adakah kemungkinan The Fed menunda kenaikan bunganya? Jawabannya: ya, jika inflasi di AS tak meningkat dan atau jika AS menghadapi resesi (saya melihat potensi ini terjadi dalam jangka menengah panjang).
Kedua, akibatnya terjadi arus modal keluar, terutama di negara dengan defisit transaksi berjalan besar, yang dibiayai oleh investasi portofolio. Dalam rezim devisa bebas seperti Indonesia, pilihan Bank Indonesia (BI) terbatas: membiarkan rupiah melemah, menaikkan bunga atau kombinasi keduanya. BI memutuskan menaikkan bunga 100 basis poin (bps) dan juga menerima nilai tukar yang lebih lemah.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada BI dan pemerintah. Mengapa? Tak banyak yang sadar: tekanan terhadap nilai tukar bisa jauh lebih parah jika BI tak menaikkan bunga dan fiskal kita tak terjaga dengan baik seperti saat ini. Coba bayangkan jika situasi ini terjadi pada 2015-2016, saat risiko fiskal kita begitu besar akibat target pajak yang tak realistis dan defisit anggaran mendekati 3 persen. Pasar akan menghukum kita seperti yang terjadi pada Turki atau Argentina. Saat ini pelemahan rupiah sekitar 7 persen, lebih rendah dibandingkan India, Brasil, dan Afrika Selatan karena respons yang relatif baik.
Namun, saya ingin mengingatkan, proses normalisasi di AS ini belum berakhir. Tahun ini The Fed mungkin akan menaikkan bunga dua kali lagi, lalu tiga kali lagi pada 2019. Selain itu ancaman perang dagang antara AS dan China juga akan memperburuk situasi. Prospek ekspor Indonesia bisa terganggu, apalagi dengan pelemahan renminbi. Pendeknya, ke depan, kita masih akan menghadapi tekanan dan fluktuasi rupiah, juga kenaikan bunga.
Dampaknya akan terlihat pada akhir 2018 dan 2019. Selain itu, tekanan inflasi akan mulai meningkat di akhir tahun akibat kenaikan harga barang yang diimpor. Dalam konteks ini, pengusaha harus memilih: membebankan kenaikan harga ke konsumen, menahan harga—yang artinya mengurangi margin keuntungan —atau kombinasi keduanya. Jadi, dunia usaha pun dalam tekanan.
Ketiga, bagaimana mengantisipasi ini? Jawaban paling umum: perbaiki defisit transaksi berjalan. Tentu ini benar, tetapi tak cukup. Seperti pernah saya tulis, dalam periode 1980 dan 1990-an, Indonesia pernah mengalami defisit transaksi berjalan yang cukup besar, tetapi toh perekonomian stabil. Australia, Kanada, dan Selandia Baru memiliki defisit transaksi berjalan besar, toh tak rentan gejolak arus modal ini. Mengapa? Defisit transaksi berjalan yang tak terlalu berlebihan sebenarnya tak membahayakan asalkan dibiayai oleh investasi asing langsung (PMA) di sektor ekspor, terutama manufaktur, dan bukan investasi portofolio. Pembiayaan eksternal dalam bentuk portofolio—terutama jangka pendek—lah yang menjadi penyebab volatilitas ini.
Perhitungan yang saya lakukan menunjukkan: investasi portofolio eksternal memiliki koefisien variasi yang jauh lebih tinggi—artinya jauh lebih berfluktuasi—ketimbang PMA. Bisa dibayangkan jika defisit transaksi berjalan dan anggaran didominasi pembiayaan portofolio eksternal. Tengok Indonesia: sekitar 25 persen dari pembiayaan defisit anggaran pemerintah adalah obligasi global (global bonds, pemegangnya investor asing), sisanya 75 persen obligasi rupiah. Namun, 35-40 persen pemegang obligasi rupiah adalah investor asing. Artinya separuh atau lebih sumber pembiayaan defisit anggaran kita bersumber pada pembiayaan portofolio eksternal. Maka ketika terjadi kejutan di AS, investor asing meninggalkan Indonesia. Akibatnya pasar keuangan kita sangat rentan dan berfluktuasi.
Solusi
Apa solusinya? Lakukan pendalaman pasar (financial deepening) dengan mendorong lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal agar porsi pembiayaan eksternal menurun. Berikan insentif agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dan dana haji menempatkan investasinya di obligasi pemerintah dan Sukuk. Perluas obligasi ritel atau private placement (penempatan tertentu). Terapkan reverse Tobin Tax.
Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenai pajak, dalam reverse Tobin Tax pemerintah memberikan insentif pajak jika investor tak merepatriasi tetapi malah melakukan reinvestasi keuntungannya. Selain itu, ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia atau eksportir Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (onshore). Lebih baik eksportir atau investor Indonesia menempatkan investasi dalam mata uang asingnya onshore ketimbang menempatkan di luar negeri (offshore). Ini akan membantu menambah pasokan dollar dalam negeri.
Tentu yang utama: perbaiki defisit transaksi berjalan, dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing, bukan dengan menahan impor. Mengapa? Sebab, 90 persen impor kita barang modal dan bahan baku. Jika impor mendadak ditahan, proses produksi, termasuk ekspor, akan terganggu, perekonomian justru terpukul. Perlu diingat, peningkatan produktivitas butuh waktu, begitu juga industri substitusi impor. Salah satu solusi cepat meningkatkan ekspor adalah merevisi UU Ketenagakerjaan agar sektor ekspor manufaktur padat karya kembali bergerak.
Solusi jangka pendek? Buat prioritas proyek infrastruktur. Pilih mana yang perlu segera dan mana yang bisa ditunda ke tahun berikutnya. Ini perlu dilakukan mengingat kandungan impornya sangat besar. Apa lagi? Minggu lalu BI mengumumkan: defisit transaksi berjalan kita membengkak jadi 3 persen di triwulan II-2018. Salah satu sumber utamanya: migas.
Defisit di neraca migas perlu dikurangi dengan menaikkan harga BBM. Pengalaman menunjukkan: subsidi mendorong penyelundupan akibat disparitas harga. Subsidi BBM juga mendorong migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi. Akibatnya: impor melonjak. Kenaikan harga BBM akan mengurangi penyimpangan ini. Selain itu, kenaikan BBM dan tarif listrik juga akan mengurangi beban Pertamina dan PLN.
Pada gilirannya ini akan mengurangi risiko fiskal akibat gagal bayar BUMN atau contingent liabilities (beban yang muncul karena terjadi masalah di BUMN). Ini akan membuat pasar tenang. Jika harga BBM dinaikkan, beri kompensasi bantuan sosialnya. Yang juga harus diperhatikan beban subsidi elpiji. Sayangnya, solusi ini tak mungkin secara politik. Apalagi di tengah populisme jelang pemilu. Langkah pemerintah mengurangi impor BBM dengan bio diesel perlu diapresiasi. Namun, ini bukan hal baru. Tahun 2013 pernah coba dilakukan, tetapi pelaksanaannya tak selalu mudah. Mudah-mudahan kali ini berhasil. Solusi lain, pengembangan pariwisata. Pariwisata adalah solusi jangka pendek realistis. Ia juga menciptakan lapangan kerja.
Sayangnya, waktu tak bersama kita. Beberapa bulan ke depan, kita disibukkan dengan pemilu. Di tengah hiruk-pikuk ini, saya ingin mengingatkan: ada soal ekonomi amat serius dua tahun ini. Dan tak ada ruang bagi kita untuk mengatakan, ”This time is different.”
Muhammad Chatib Basri Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia; Co-Founder CReco Research