Buruk Rupa Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ketimpangan pengelolaan sumber daya alam adalah persoalan lama yang dihadapi bangsa ini.
Upaya koreksi terhadap ketimpangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) sesungguhnya telah dilakukan pemerintah dengan dikeluarkannya Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sayangnya, semangat koreksi fundamental terhadap karut-marut pengelolaan SDA tidak diikuti dengan kemauan politik yang serius dari pemerintah untuk menjalankannya. Akibatnya, upaya perbaikan tersebut jauh dari harapan, bahkan terkesan diabaikan, jauh panggang dari api.
Riset Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang 2000-2012 menyebutkan, laju deforestasi seluas 840.000 hektar dan kerugian yang ditimbulkan berimplikasi pada kerugian penerimaan keuangan negara, kemiskinan, dan kerusakan ekologis. Lebih lanjut KPK menyatakan, kelompok yang secara langsung dan lebih dulu terdampak adalah masyarakat adat dan lokal yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Terdapat 38.565 desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Data Badan Pusat Statistik (2014) menyebutkan, sebanyak 8.643.228 keluarga menggantungkan hidupnya pada SDA (hutan) dan secara tegas menyebutkan bahwa kantong-kantong kemiskinan masyarakat berada di dalam dan sekitar kawasan hutan serta di lokasi konsesi-konsesi perkebunan dan pertambangan.
Konflik SDA
Konflik akibat ketimpangan pengelolaan SDA dari tahun ke tahun semakin meningkat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN (2017) mencatat telah terjadi konflik SDA di 126 komunitas adat yang mengakibatkan 262 warga masyarakat adat dipenjara. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, jumlah konflik agraria yang terjadi pada 2017 sebanyak 659 atau terdapat peningkatan lebih dari 50 persen konflik dari tahun sebelumnya.
Hasil Inquiry Nasional Hak Masyarakat Adat yang dilaksanakan Komnas HAM (2016) menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Komnas HAM juga menemukan terjadi penguasaan hutan secara ilegal yang dilakukan pihak swasta (perusahaan). Hal ini menandakan bahwa buruk rupa pengelolaan SDA merupakan persoalan kronis dan harus diselesaikan pemerintah dengan cepat dan tepat.
Valuasi ekonomi
Data Auriga menyebutkan, meskipun komoditas kelapa sawit memiliki nilai tambah ekonomi sekitar 9 persen pada 2015 dari total ekspor Indonesia, juga menimbulkan biaya pemulihan lingkungan 40-60 persen dari nilai tambah ekonomi. Dari sisi pendapatan di sektor pajak, negara hanya memperoleh pajak
Rp 1,8 juta per hektar atau sekitar Rp 185 per meter. Sementara potensi ekspor minyak nabati di pasar global mengalami titik jenuh akibat overproduksi, di mana Indonesia masih memiliki stok minyak 3,7 juta metrik ton, tertinggi dari semua negara pengekspor minyak sawit.
Situasi ini menandakan bahwa sumbangan pengelolaan SDA oleh pihak swasta senyatanya tak berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan karena pada saat yang sama dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat eksploitasi berlebihan.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah terus-menerus menggelontorkan izin-izin konsesi perkebunan dan pertambangan dengan alasan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, hingga Desember 2017 terjadi lonjakan angka izin tanaman industri seluas 389.500 hektar dan terdapat 2.509 izin sumber daya alam yang bermasalah atau belum clear and clean, itu belum termasuk 3.078 izin yang sudah mati, tetapi belum dikembalikan kepada pemerintah daerah.
Padahal, pembangunan perkebunan skala besar dan pertambangan telah terbukti bukanlah satu-satunya obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit kemiskinan dan pengangguran. Memang benar pembangunan perkebunan skala besar dan konsesi pertambangan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Lebih dari 15 juta jiwa (13,20 persen) penduduk desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan pemberian izin-izin tak berdampak signifikan dalam mengentaskan rakyat miskin di perdesaan justru berpotensi kuat memunculkan pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.
Penelitian Karsa dan CRU (2018) menyebutkan bahwa biaya konflik tanah dan sumber daya alam dari perspektif masyarakat akibat masuknya konsesi perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada meningkatnya angka kemiskinan akibat hilangnya lahan masyarakat adat lokal serta dikarenakan konversi menjadi HGU perkebunan skala besar. Dampak utama yang dirasakan masyarakat adalah adanya penambahan biaya tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini disebabkan sumber-sumber kebutuhan rumah tangga lebih mudah didapatkan sebelum masuknya perusahaan.
Sebaliknya, studi valuasi ekonomi AMAN yang dilaksanakan pada Januari-April 2018 di enam wilayah masyarakat adat menunjukkan bahwa tanpa kehadiran perusahaan, pendapatan per tahun masyarakat adat jauh lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR). Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang selama ini tidak dimanfaatkan ternyata memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada nilai SDA yang dimanfaatkan secara langsung.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa jika masyarakat adat dan lokal diletakkan sebagai subyek pembangunan ekonomi, mereka dapat memberikan sumbangan kepada pembangunan negara secara signifikan apabila hak-hak atas pengelolaan SDA mereka diakui dan dilindungi negara.
Pengelolaan SDA
Untuk mengatasi ketimpangan pengelolaan SDA oleh pemerintah, dapat dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan koreksi mendasar terhadap prinsip-prinsip kebijakan pengelolaan SDA yang dijalankan selama ini. Kedua, mengakui dan melindungi keragaman pengelolaan SDA masyarakat adat dan lokal yang telah terbukti mampu melakukan pengelolaan SDA secara berkelanjutan.
Ketiga, penyelesaian konflik pengelolaan SDA pada masa lalu dengan program rehabilitasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran HAM akibat konflik. Keempat, melakukan redistribusi lahan-lahan bagi masyarakat petani yang tidak memiliki tanah. Dengan cara ini, mandat konstitusi dan cita-cita pendirian bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dapat diwujudkan.
Muhammad Arman Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)