Menanggulangi Kekhawatiran
Sebagian dari kita dibebani kekhawatiran yang cukup mengganggu dari waktu ke waktu. Apa pun dapat dikhawatirkan: ”Anak saya kok belum lancar berjalan, apa itu normal?”, ”Anak saya pendiam, apa perlu saya bawa ke psikolog?”, ”Sekarang sulit sekali cari uang, bagaimana kalau mendadak suami atau saya dikeluarkan dari pekerjaan?”.
Sesuai perkembangan terakhir, mungkin ada juga yang cemas: ”Aduh, saya khawatir dengan keputusan yang diambil pemimpin yang saya dukung”, atau ”Bagaimana kalau nanti para pendukung dua calon berkonflik lagi dan suasana bermasyarakat jadi tidak aman?”, atau ”Saya takut sekali apabila daerah saya juga kena gempa, katanya Indonesia rawan gempa?”.
Merasa khawatir itu bagian dari ciri manusia, merupakan sistem adaptif dan normal untuk memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya atau berbahaya. Karena itu, yang penting bukanlah menghilangkan kecemasan, melainkan mengelola situasi dan kecemasan itu agar tidak berdampak negatif pada kehidupan.
Bagaimanapun, kecemasan dapat menjadi masalah apabila kita memersepsi suatu situasi sebagai bahaya, padahal kenyataannya bahaya itu tidak ada atau situasinya tidak seberbahaya itu. Singkat kata, kita berpikir atau memersepsi secara berlebih-lebihan.
Perlukah merasa khawatir?
Kadang kita mengkhawatirkan hal-hal kecil atau kurang penting. Padahal, jika terus dipertahankan untuk dipikirkan, hal itu malah menambah persoalan. Apabila kita mulai khawatir, baik untuk bertanya: ”Seberapa pentingkah aku untuk mencemaskan hal ini?”. Untuk menetapkan derajat keseriusannya, kita dapat bertanya: ”Apakah ini akan terus menjadi persoalan untuk beberapa tahun ke depan? Atau dalam beberapa minggu ke depan situasi akan membaik?” (misal: anak sedih karena diputus oleh pacar).
Pertanyaan berbeda yang dapat diajukan: ”Apakah persoalan itu sedemikian buruknya ataukah sebagian besar orang juga (pernah) mengalaminya?”. Kita juga dapat bertanya: ”Bermanfaatkah bagiku untuk mengkhawatirkan hal ini sedemikian rupa? Apa manfaat mencemaskan hal ini dan apa kerugiannya? Apa yang lebih penting untuk dipikirkan dan disiapkan?”.
Kita dapat memikirkan apa pun untuk dicemaskan, ”Bagaimana bila...” (jalanan makin macet, presentasi saya gagal, saya dinilai bekerja kurang optimal oleh perusahaan, di usia tua aku sakit-sakitan). Justru terus memikirkan yang buruk membuat kita sulit menghadirkan yang optimal karena waktu dan energi terlalu terfokus pada yang negatif. Daripada demikian, lebih baik memfokuskan diri untuk menerima yang tidak dapat diubah, beradaptasi dengan keadaan, dan melakukan yang optimal sesuai situasi yang ada.
Namun, bagaimana caranya jika kecemasan tetap sulit dihilangkan? Jika rasa cemas terus ada, lakukan interupsi. Misalnya, melakukan aktivitas untuk menyibukkan diri (membereskan rumah sambil mendengar musik), memfokus pikiran pada hal-hal positif dan membanggakan (misal: minggu depan akan ketemu sahabat, berlatih menari). Sambil mengingatkan dan bicara pada diri kembali: ”Hayo, cemas berlebihan tidak ada gunanya”.
Apabila diperlukan, kita dapat melakukan imajinasi visual. Cari waktu luang dan tenang untuk diri sendiri, lalu bayangkan, misalnya, kotak kosong untuk menyimpan kecemasan kita. Sebutkan satu demi satu kecemasan kita dan bayangkan diri kita memasukkan kecemasan-kecemasan ke dalam kotak untuk kemudian membuangnya jauh-jauh. Berikan waktu sejenak untuk memperoleh rasa tenang dan damai dan setelah itu kita dapat kembali beraktivitas.
Melakukan sesuatu
Hanya khawatir dan dilumpuhkan oleh kekhawatiran sama sekali tidak berguna. Kecemasan akan bermanfaat apabila hal itu membuat kita paham akan sesuatu yang perlu memperoleh perhatian lebih serius. Jika hal itu membuat kita peduli, bersedia bersiap, merencana, dan melakukan sesuatu.
Jika rasa cemas terkait dengan keuangan keluarga, apa yang dapat kita lakukan? Apakah anggota keluarga dapat diajak bicara untuk menyepakati prioritas? Adakah pengeluaran yang dapat dihemat? Apakah ada perilaku lain yang tidak langsung terkait, tetapi penting dan harus diperbaiki untuk memastikan kondisi keuangan keluarga tetap aman? (misal berangkat lebih pagi agar tidak terlambat dan dapat bekerja lebih optimal, meminimalkan konflik dengan atasan).
Jika sulit untuk memikirkan atau mengatasi sendiri, untuk lingkup masalah yang lebih luas (misal situasi ekonomi dan politik negara), kita dapat berbincang dari hati ke hati dengan orang-orang dekat yang dipercaya. Itu dapat membantu kita memahami konteks atau gambaran yang lebih besar dari situasi. Juga untuk mengetahui hal-hal efektif yang dilakukan oleh orang lain untuk mengatasi masalah yang sama.
Percakapan dengan orang lain sekaligus menghadirkan kesadaran pada diri kita. Apakah kecemasanku berlebihan? Apakah tindakanku berdampak positif atau justru makin menambah persoalan? Misalnya, apakah kita mengecek dan menyaring informasi di media sosial? Atau tidak lagi kritis dan justru ikut menyebarluaskan hoaks? Dengan demikian, saya menguatkan pengotak-ngotakan serta menambah kecemasan diri sendiri dan orang lain?
Hal-hal yang sangat sederhana, tetapi tetap perlu diingat, agar kita dapat hidup sehat dan minimal stres adalah memastikan perilaku hidup sehat, seperti makan, minum, tidur, olahraga, istirahat, dan memastikan keseimbangan work and play, bekerja dan bermain. Yang tak kalah penting: berpikir, bersikap, dan bertindak positif.
Pada akhirnya kita semua ikut bertanggung jawab untuk bekerja sama serta menciptakan suasana yang nyaman dan aman dalam kehidupan bersama.
Selamat Hari Kemerdekaan, semoga saudara-saudara kita yang terkena bencana dapat memperoleh penguatan yang maksimal. Semoga Indonesia dianugerahi pemimpin yang amanah dalam menghadirkan kebaikan bagi semua serta dalam menguatkan dan memajukan bangsa.