Mosaik Statistik Desa
Sebetulnya, desa semakin maju atau mundur? Badan Pusat Statistik merilis kemiskinan perdesaan menurun dan pendapatan orang miskin meningkat (Kompas, 16/7/2018). Namun, inflasi perdesaan dilaporkan melejit bersamaan dengan ketimpangan ekonomi (Kompas, 2-3/8/2018).
Keraguan mencuat lantaran tiap data ditinjau sebagai tabel terpisah. Padahal, lebih tepat melihatnya sebagai rangkaian puzzle (mosaik) yang bakal membentuk gambaran lengkap desa.
Menyusun mosaik statistik desa patut dimulai dari potongan informasi kenaikan pendapatan warga. Sepanjang September 2017-Maret 2018, pendapatan golongan 40 persen terbawah naik 2,93 persen. Dibandingkan dengan itu, ternyata kenaikan upah buruh tani dan buruh bangunan lebih rendah. Upah buruh tani hanya naik 2,29 persen, buruh bangunan sekadar bergeser 1,31 persen. Selisih angka itu menerangkan peran program pemerintah dalam menaikkan 0,64 persen sampai 1,62 persen pendapatan golongan miskin.
Ada program yang berstrategi menurunkan biaya hidup orang miskin, seperti jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dan beras murah. Perbaikan infrastruktur pedesaan juga mempercepat orang miskin mencapai tempat kerja. Program lainnya menyasar kumulasi pendapatan melalui upah proyek padat karya.
Berbiaknya pendapatan golongan bawah menurunkan 0,73 persen kemiskinan pedesaan sepanjang Maret 2017-2018. Ini setara mengentaskan 1,29 juta orang miskin. Indeks kedalaman kemiskinan juga turun jadi 2,37. Artinya, selisih pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan setipis Rp 35.000/kapita/bulan.
Golongan 40 persen menengah yang sejak 2016 mendominasi laju pendapatan justru sedikit merosot jadi 2,35 persen. Sebaliknya, golongan 20 persen teratas yang tumbuh negatif sejak 2016 kini mulai menyalip 4,95 persen. Sebab, pendapatan golongan teratas melaju lebih kencang daripada golongan bawah, ketimpangan pedesaan terungkit 0,004 menurut rasio Gini.
Dengan pendapatan seluruh golongan di pedesaan yang sama- sama meningkat, kenaikan rasio gini lebih tepat dimaknai sebagai penanda berbunganya ekonomi desa. Mesin pembangunan desa membesar sebagaimana dipamerkan dari lonjakan pendapatan desa se-Indonesia, dari Rp 24 triliun pada 2014 menjadi Rp 102 triliun pada 2017.
Simon Kuznets menjelaskan fenomena paradoksal ini sebagai kurva U terbalik. Di awal pembangunan wilayah pedesaan, peningkatan pendapatan warga diiringi peningkatan ketimpangan ekonomi. Indikasi perbaikan desa ditandai peningkatan indeks desa membangun, dari rata-rata 0,5662 pada 2014 menjadi 0,5947 pada 2018. Artinya, dari rata-rata desa tertinggal awal menuju gerbang desa berkembang. Orang miskin membelanjakan uangnya pada usaha perdagangan yang dimiliki elite desa. Kelak, setelah melangkah ke rata-rata desa mandiri, Kuznets meramalkan ketimpangan bakal turun. Saat itu, golongan bawah sudah kompeten dalam pekerjaannya dan punya waktu untuk berinovasi.
Mesin ekonomi desa mulai panas sejak 2017, sejalan berlipatnya pertumbuhan badan usaha milik desa (BUMDes) dari 15.000 menjadi 39.000. Inilah yang memanaskan inflasi pedesaan tahun ini jadi 3,15 persen antara Januari dan Juli 2018. Sebelum usaha ekonomi BUMDes menjamur, guyuran dana desa sepanjang 2015-2017 justru diikuti penurunan inflasi pedesaan tahunan, berturut-turut 5,8 persen, 4,56 persen, dan 2,76 persen.
Mengapa lonjakan inflasi pedesaan tahun ini beriringan dengan penurunan kemiskinan? Sebab, menurut Sajogyo, inflasi riil yang dialami orang miskin adalah kenaikan garis kemiskinan. Sepanjang September 2017- Maret 2018, garis kemiskinan hanya merambat 2,60 persen. Kenaikannya lebih rendah daripada pendapatan orang miskin (2,93 persen) sehingga mengentaskan 0,27 persen golongan papa ini.
Memeratakan kue pembangunan
Setelah rangkaian mosaik statistik merupa peningkatan ekonomi pedesaan, tantangannya adalah meningkatkan daya saing sembari memeratakan kue pembangunan desa.
Porsi pembiayaan pembangunan masih mendominasi separuh APBDes 2018. Selama ini 83 persen digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Komponen pembentuk daya saing ini diperkirakan tetap mampu mendukung penurunan biaya produksi di desa. Jika investasi pemerintah desa lewat penyertaan modal BUMDes dapat ditinggikan dari 0,8 persen pada 2017 jadi 20 persen mulai 2018, dapat diharapkan desa segera tinggal landas menuju kemandirian.
Nilai tambah produk pedesaan ditingkatkan melalui pengolahan pasca-panen, e-dagang, dan pembangunan kawasan pedesaan. E-dagang mengatasi biaya logistik sekaligus memutus peran perantara. Petani avokad di Soe, NTT, yang biasa menerima Rp 2.500/kg, kini memperoleh untung Rp 12.000/kg. Sebab, konsumennya langsung perorangan dari Jakarta yang bersedia membeli Rp 30.000/kg (termasuk ongkos kirim). Strategi merangkul korporasi sebagai offtaker produk BUMDes Bersama sudah mampu menggeliatkan produk unggulan kawasan pedesaan senilai Rp 22 triliun. Pendekatan kawasan meningkatkan skala ekonomi seraya menurunkan biaya tetap.
Pemerataan kue ekonomi paling efektif memanfaatkan basis data orang miskin. Dengan memenuhi aspek-aspek kekurangan keluarga miskin, Banyuwangi menurunkan kemiskinan dari 22 persen jadi 8 persen dalam delapan tahun. Bahan pembangunan juga sebanyak mungkin dari dalam desa dan kecamatan.
Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa PDTT