Musibah
Satu minggu yang lalu telepon genggam saya rusak. Bahkan, tak bisa dinonaktifkan. Beberapa hari sebelum kejadian itu, laptop sebagai modal untuk bekerja membuat tulisan dan proposal juga tak bisa digunakan. Eh, satu hari setelah telepon genggam saya rusak, saya kehilangan kacamata.
Rusak dan kehilangan
Waktu telepon genggam saya rusak, saya tak bisa apa-apa. Saya tak bisa menghubungi siapa pun, semua pesan yang ada di dalamnya tak bisa ditelusuri sehingga saya juga tak ingat membuat janji temu dengan siapa saja pada hari apa. Saya tak ingat nomor akun apartemen untuk membayar tagihan bulanan yang sudah jatuh tempo dan pembayaran lainnya. Saya merasakan yang namanya kesal setengah mati.
Dan gara-gara laptop yang rusak, saya tak bisa menulis. Tak hanya untuk membuat artikel ini, tetapi juga semua artikel yang sudah waktunya untuk disetor. Itu belum termasuk beberapa presentasi untuk klien yang ada di dalamnya.
Kerusakan itu membutuhkan waktu satu minggu untuk dibenahi. Maka beberapa hari lalu, saya melakukan presentasi di hadapan klien hanya bermodalkan suara dan ingatan yang masih tersisa di kepala manusia setengah abad lebih ini. Untuk mengulangi membuat beberapa tulisan dan presentasi dengan menggunakan komputer kantor, saya malas.
Pada saat kacamata hilang, saya seperti mendadak buta. Bayangkan, saya harus menulis, harus membuat presentasi, dan tak punya kacamata. Memesan makanan di rumah makan harus meminta bantuan orang lain. Menulis artikel ini terpaksa meminjam kacamata yang lensanya saja berbeda dengan ukuran lensa kacamata saya biasanya. Jadi, setelah satu jam menulis dengan kacamata berbeda itu, kepala saya cenut-cenut dan bola mata sakitnya setengah mati.
Kekesalan memuncak setelah melihat tagihan dari kerusakan tiga barang di atas. Cash flow saya terganggu. Saya tak memprediksi bahwa musibah datang dalam waktu yang berurutan. Mau marah, tak ada yang bisa dimarahi. Maka, saya memarahi diri saya sendiri.
Kemudian seperti biasa, setelah memarahi diri sendiri, saya menumpahkan kekesalan kepada Yang Maha Kuasa. Saya mulai protes mengapa musibah itu sampai harus beruntun datangnya. Laptop dan telepon genggam saya selama ini baik-baik saja, tiba-tiba tak bisa digunakan. Kalau saya membanting telepon genggam atau kalau tak sengaja masuk ke dalam air yang dapat menimbulkan kerusakan, ya, saya bisa menerima.
Bisa jadi
Namun, ini tak terjadi demikian. Dan semua kejadian di atas terjadi saat saya betul-betul sangat membutuhkan, termasuk saat saya sedang membutuhkan untuk menabung. Kejengkelan itu bukan hanya karena kerusakan barang dan cash flow yang terganggu, melainkan lebih kepada itu bukan gara-gara salah saya.
Kejadian di atas adalah kejadian yang superbiasa, bukan sesuatu yang membuat saya tak bisa hidup lagi. Akan tetapi, yang mengganggu saya adalah mengapa kejadian buruk terjadi kepada saya yang lumayan disiplin, yang bisa dikatakan saya ini orangnya lumayan berhati-hati, di luar berjuta-juta kekurangan yang juga saya miliki. Mengapa ketika saya membutuhkan, saya malah kehilangan?
Hari ini ketika Anda membaca tulisan ini, ketika mungkin Anda mengalami kejadian yang mengesalkan, terutama bukan karena kesalahan yang Anda buat, saya hanya bisa mengatakan, hadapi saja dan jalani saja.
Saya tak berniat sama sekali menyarankan kepada Anda sekalian sebuah nasihat klise dan buat saya pribadi sangat basi bahwa di setiap kejadian buruk pasti ada pelajaran yang bisa Anda dapati. Saya tak berniat sama sekali menasihati karena sampai tulisan ini dibuat, saya membuatnya dengan rasa jengkel yang sangat.
Sejujurnya saya tak mendapat pelajaran apa pun dari tiga kejadian itu. Maaf, salah. Sesungguhnya satu pelajaran yang saya dapati. Bahwa kalaupun saya telah menabung dengan rajin dan cermat, kalaupun saya sudah berbuat baik dalam hidup yang fana ini, kalaupun saya sudah membuat rencana yang matang dan berhati-hati, kalaupun saya sudah bertobat dari manusia yang tak senonoh menjadi senonoh banget, itu sama sekali tak menjamin bahwa kejadian buruk tak akan menimpa saya.
Mungkin itu saja yang bisa saya nasihatkan supaya Anda tak menjadi sekecewa saya. Karena dengan IQ saya yang jongkok dan sama sekali tak berniat memberi predikat pada diri sendiri sebagai orang baik budi dan saleh, saya ini berpikir apa perlunya memberi musibah pada mereka yang telah berbuat baik dan benar, dan bukan pura-pura baik dan pura-pura benar.
Ternyata saya keliru dan Anda jangan meniru cara berpikir saya. Mungkin hidup yang namanya adil itu adalah ketika Anda sudah menabung, gangguan cash flow toh tetap terjadi. Ketika Anda sudah berbuat baik, Anda tetap akan kehilangan segalanya. Adil itu bukan kalau saya dapat satu, Anda juga dapat satu. Bisa jadi adil itu Anda dapat satu, saya tak dapat apa-apa. Bisa jadi.