Gejolak Pangan 2018
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia mengawali tahun 2018 dengan gejolak harga beras. Tanda-tanda terjadinya gejolak harga beras sebenarnya sudah tampak sejak Oktober 2018.
Harga beras di tingkat konsumen sebelumnya stabil di kisaran Rp 11.200/kilogram untuk beras medium beberapa bulan sebelumnya hingga September 2017. Harga sedikit meningkat ke kisaran Rp 11.300/kilogram selama Oktober ketika petani mulai menanam padi periode musim hujan.
Stok beras nasional perlahan-lahan menurun karena praktis setelah Oktober panen menipis. Pada bulan November harga beras medium rata-rata nasional sudah bergeser di kisaran Rp 11.400, dan kemudian melonjak cepat. Pada pertengahan Januari mencapai Rp 12.000 dan akhir Januari 2018 di angka Rp 12.200 (PIHPS, Juli 2017-Januari 2018).
Kenaikan harga yang begitu cepat serta cadangan beras pemerintah yang hampir minus pada Januari mencemaskan pemerintah sehingga pemerintah memutuskan impor beras sebanyak 500.000 ton yang menyulut kontroversi. Impor biasanya sudah diputuskan pada bulan Juli atau paling lambat Oktober di tahun berjalan.
Harga di tingkat konsumen selaras dengan situasi panen di tingkat usaha tani yang tecermin dari hasil kajian harga gabah bulanan oleh Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Pada April dan Mei 2017 di puncak dan setelah panen raya, harga gabah kering panen (GKP) Rp 3.800 dan Rp 3.894 yang jika dikonversi sederhana menjadi harga beras di tingkat petani sebesar Rp 7.600 dan Rp 7.788 dan di tingkat konsumen Rp 9.576 dan Rp 9.813. Harga tersebut masih di bawah harga eceran tertinggi (HET) rata-rata sebesar Rp 9.883 untuk beras medium (Peraturan Menteri Perdagangan No 57/M-DAG/PER/8/2017).
Pada bulan Oktober harga gabah dalam bentuk GKP sudah mencapai Rp 4.900/kilogram atau setara dengan Rp 11.288 di tingkat konsumen yang tidak jauh berbeda dengan data PIHPS. Harga ini sudah 14,2 persen di atas HET atau sudah melampaui kriteria kenaikan sebesar 10 persen untuk memutuskan impor beras. Pada Januari 2018 harga gabah mencapai titik tertingginya Rp 5.667/kilogram GKP atau setara Rp 13.034/kilogram beras medium.
Harga gabah mulai tertekan bersamaan dengan dimulainya musim panen, serta mencapai titik terendah pada April 2018, Rp 4.319/kilogram GKP, meskipun harga tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama tahun 2017.
Gejolak harga komoditas lain
Selain beras, beberapa komoditas juga mengalami gejolak, salah satunya adalah bawang merah. Setelah terpuruk pada akhir 2017 hingga Januari 2018, yang menyebabkan petani mengalami kerugian hampir Rp 2 triliun, harga bawang merah mulai merangkak naik. Pada Maret 2018 harga di tingkat konsumen sudah mencapai Rp 27.828/kilogram dan April sudah melonjak ke Rp 36.461. Ketika petani sedang menikmati untung untuk sedikit menutupi kerugian besar pada periode sebelumnya, harga dengan cepat tertekan. Bulan Mei harga mulai turun ke Rp 35.000-Rp 36.000/kilogram dan Agustus kembali di kisaran Rp 27.500.
Komoditas yang gejolak harganya paling tinggi saat ini adalah daging ayam ras dan telur ayam ras. Pada November 2017 harga daging ayam ras mencapai titik terendahnya, yaitu Rp 29.719/kilogram. Harga kemudian naik dan mencapai titik tertinggi pada Januari 2018 sebesar Rp 33.114/kilogram.
Harga kemudian turun lagi dan mencapai titik terendahnya pada Maret 2018 sebesar Rp 31.164/kilogram. Mulai April 2018 harga meroket dan mencapai Rp 37.868 pada bulan Juni. Banyak analis menyampaikan bahwa harga daging ayam akan mencapai titik tertinggi karena permintaan yang meningkat tajam di bulan Ramadhan. Ternyata analisis tersebut salah dan harga terus meningkat menjadi Rp 38.918 rata-rata pada Juli 2018 dan mencapai Rp 39.750 pada akhir Juli 2018.
Gejolak yang sama persis terjadi pada telur ayam setelah mencapai titik terendah pada November 2017, harga telur ayam ras meningkat dan mencapai Rp 25.218/kilogram pada Januari 2018. Harga kemudian turun lagi dan mencapai titik terendah pada Maret sebesar Rp 23.483/kilogram. Mulai April harga terus meningkat tajam dan mencapai Rp 25.715/kilogram pada Juni. Seperti daging ayam, setelah Idul Fitri harga justru terus meningkat dan mencapai titik tertingginya pada Juli sebesar Rp 26.625/kilogram.
Dinamika harga daging ayam dan telur ayam seperti tersebut sudah terjadi selama lebih dari lima tahun ini, yaitu harga tertinggi pada bulan Januari kemudian menurun dan mencapai titik terendahnya pada bulan Maret, kemudian naik lagi, dan mencapai puncak pada bulan Juli. Pola tersebut terjadi karena siklus alamiah proses budidaya ayam ras, baik pedaging maupun petelur. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah harga daging ayam dan telur ayam pada semester I-2018 tertinggi selama 10 tahun terakhir. Hal ini menjelaskan mengapa telur dan daging ayam ras menjadi penyebab inflasi terbesar di bulan Juli 2018.
Mitigasi gejolak pangan 2018
Tanpa intervensi apa pun, dapat dipastikan harga daging dan telur ayam ras turun pada bulan Agustus ini. Harga akan terus turun dan mencapai titik terendahnya pada bulan Oktober 2018 dan kemudian November mulai naik lagi dan mencapai puncaknya pada Januari 2019. Mengingat pola harga yang sudah rutin seperti ini, pemerintah diharapkan tidak perlu melakukan intervensi berlebihan atau menuduh ”kartel/mafia” bermain ketika harga ayam dan telur ayam ras mulai bulan November nanti naik.
Harga daging ayam dan telur ayam ras rata-rata pada tahun ini dipastikan tertinggi selama ini. Pakan merupakan penyumbang terbesar biaya produksi. Jika nisbah harga pokok produksi antara telur dibandingkan pakan di 2012 masih berkisar 3,24, maka saat ini sudah mencapai 3,50. Kenaikan nilai dollar AS juga mengerek harga pakan ke atas karena material impor yang menyusun 35 persen pakan berkontribusi hampir 70 persen total biaya produksi pakan (Musbar, Ketua Forum Think Tank Peternak Layer Nasional).
Pembatasan impor jagung yang tidak diikuti kesiapan produksi dalam negeri memberi kontribusi terbesar munculnya gejolak sumber protein utama ini. Sebelum kebijakan pembatasan impor dilakukan, kontribusi jagung terhadap komposisi pakan berada di kisaran 50-60 persen. Saat ini kontribusi jagung tinggal 30-40 persen dan digantikan oleh gandum untuk pakan (wheat feed). Dengan demikian, komponen impor untuk pakan saat ini melonjak dari 25-35 persen menjadi 45-65 persen, yang berkebalikan dengan upaya penurunan impor.
Tahun 2016, impor gandum untuk pakan ternak mencapai titik tertingginya sebesar 3,2 juta ton, sedangkan impor jagung menurun 2,2 juta ton. Mulai tahun 2017, pemerintah ”unofficially” mengendalikan impor gandum untuk pakan sehingga saat ini terjadi peralihan sebagian gandum untuk pangan menjadi untuk pakan yang ikut mengerek harga tepung terigu nasional mulai Agustus 2017 hingga saat ini.
Di sisi lain, pemerintah juga menekan industri penggilingan jagung (feed mill) untuk membeli jagung domestik yang harganya saat ini salah satu yang tertinggi di dunia karena kebutuhan yang melampaui pasokan (Foreign Agricultural Service-USDA, Maret 2018).
Perbaikan tata kelola
Dengan demikian, pemerintah dituntut lebih hati-hati di dalam tata kelola jagung sehingga tidak merugikan semua pihak. Harga pakan dalam waktu setengah tahun ini sudah meningkat dua kali. Diperkirakan harga akan naik lagi pada bulan Agustus, hal ini sangat memberatkan peternak kecil dan konsumen daging serta telur ayam ras. Harga yang tinggi di 2018 dipastikan akan menekan asupan protein.
Komoditas lain yang perlu diwaspadai adalah beras. Di tengah klaim kecukupan produksi padi dan stok beras, komoditas ini masih memiliki potensi kerawanan. Pada musim panen I bulan Februari hingga April 2018, panen padi sangat bagus, bahkan banyak petani jaringan AB2TI melaporkan produksi yang hampir dua kali lipat dibandingkan musim panen I tahun 2017. Namun, panen yang sangat bagus itu tidak banyak membantu untuk menurunkan harga dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Harga gabah di tingkat petani meningkat 13,6 persen dari April 2017 ke April 2018 dan 16,5 persen dari Mei 2017 ke Mei 2018. Setelah tertekan pada Juni, harga gabah rata-rata Juli 2018 mencapai Rp 4.479/kilogram GKP (Survei Harga GKP, GKG, dan beras di 46 kabupaten produsen padi, AB2TI 2017-2018). Harga GKP tersebut setara dengan harga beras Rp 11.287 dan sudah jauh melampaui HET untuk beras medium. Pergerakan harga gabah di tingkat usaha tani ini bisa menjadi ”peringatan” bagi pemerintah berkaitan dengan situasi beras pada tahun ini.
Panen yang bagus pada musim panen I belum mampu menyamakan atau menurunkan harga GKP dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebabnya dipastikan karena stok awal tahun 2018 yang sangat tipis. Cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog bahkan sempat minus pada bulan Februari 2018. Hal ini menyebabkan panen pertama terkuras untuk mengisi stok di penggilingan dan pedagang.
Laporan terkait kekeringan yang sedang melanda sejumlah daerah saat ini tidak bisa dipandang ”sebelah mata”. Sebagian besar area sawah di wilayah produksi di Pulau Jawa saat ini sudah memasuki kategori waspada, yaitu belum termasuk area yang kekeringan, tetapi berpotensi kekeringan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Pemerintah perlu berkonsentrasi penuh ke area-area tersebut untuk mencegah potensi penurunan produksi. Peran pendataan di sini menjadi sangat penting. Perlu dihindari laporan-laporan tipe menyenangkan atasan, dan sebaiknya BPS yang melakukan pendataan, bukan Kementerian Pertanian.
Harga gabah diperkirakan akan terus naik dan mencapai puncaknya pada Januari 2019. Hingga Oktober, pemerintah diharapkan tak perlu panik dan melakukan intervensi berlebihan terhadap harga beras. Biarlah petani mendapat sedikit peningkatan keuntungan di tengah ancaman penurunan produksi. Setelah Oktober, pemerintah perlu mengendalikan harga beras karena pada saat itu petani sebagian besar sudah menjadi konsumen beras. Komoditas lainnya diperkirakan aman, kecuali untuk cabai di akhir tahun.
Semoga dengan tata kelola dan kebijakan pangan yang lebih baik, kita bisa melewati tahun ini dengan aman dan mampu menekan potensi gejolak di tahun politik yang akan datang. Paradigma tata kelola pangan juga perlu diubah menjadi tata kelola pangan yang mengedepankan kesejahteraan petani, tata kelola yang memuliakan petani, dan bukan tata kelola pangan yang sekadar menekan inflasi.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan CORE Indonesia