Sejak merdeka, Indonesia mempertahankan karakteristik utama kebijakan luar negeri: bebas dan aktif, membina hubungan dengan negara-negara di dunia sambil mengutamakan dan membawa prinsip perdamaian.
Setiap negara—besar pun kecil—diperlakukan sama. Tak satu pun negara lebih diutamakan dibandingkan lainnya hanya lantaran kemanfaatan ekonomi, sosial budaya, serta militer yang diperoleh dari negara mitra. Bahkan, sebaliknya, NKRI tetap menjalankan solidaritas internasional membantu negara mitra yang mengalami musibah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan UUD 1945, pada dasarnya NKRI menganggap semua negara adalah sahabat NKRI, mitra strategis tanpa melihat keluasan pengaruh geopolitiknya. Di situlah independensi NKRI diuji berkesinambungan.
Dengan demikian tema ”Celebrate Our Diversity; Prosper Together as Strategic Partners” dalam merayakan hubungan bilateral NKRI-AS selama 70 tahun pada hakikatnya merupakan tema universal yang layak diterapkan kepada semua negara mitra NKRI. Apalagi, ada huruf ”s” dalam kata partners, merujuk bahwa mitra NKRI bukan hanya AS, melainkan—idealnya—semua negara.
Dalam semangat kesetaraan dengan semua negara mitra, kiranya tak layak mengungkapkan nada mengemis agar Trump juga mengunjungi Indonesia selain ke Filipina, Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Papua Niugini. Tak perlu ada kekecewaan apabila ”Indonesia tak berada dalam daftar negara yang akan dikunjungi Trump di waktu dekat”. Bukti ini yang dikemukakan Nur Rachmat Yuliantoro dalam artikel ”Kunjungan Pompeo dan Relasi AS-Indonesia” (Kompas, 7/8/2018) tak perlu dirisaukan.
Wim K Liyono, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Perhutanan Sosial
Terima kasih atas tanggapan dan pelajaran kecermatan data dan informasi serta kedalaman analisis yang saya dapatkan dari Prof Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, dalam Surat kepada Redaksi (19/7/2018), atas artikel saya di Kompas (17/7/2018).
Pandangan yang jernih telah beliau uraikan di akhir alinea pertama. ”Namun, teori, konsep, dan pengalaman yang berbeda bisa membuat sudut pandang setiap peneliti bisa menjadi berbeda”.
Terima kasih juga kepada Kompas yang telah mengedit sejumlah kata; mungkin karena keterbatasan ruang sehingga tidak memungkinkan menyertakan naskah saya secara utuh, termasuk sumber referensi. Dengan kondisi ini, terbuka peluang dipersepsi berbeda.
Pertama, angka deforestasi hutan tropis dunia pada 1990-2015 seluas 1,22 juta km persegi yang saya angkat dalam tulisan itu adalah untuk menunjukkan besarnya 44 persen yang berlangsung di Brasil dan Indonesia (alinea ke-7). Oleh karena itu, deforestasi di Indonesia menjadi sorotan dunia. Betul, yang saya maksudkan adalah angka hutan tropis (alinea ke-11), yang biasa digunakan sebagai luas kawasan hutan (negara). Bukan angka deforestasi hutan tropis Indonesia.
Kedua, luasan kawasan hutan di Jawa (dan Madura) 2,45 juta hektar yang dimandatkan pengelolaannya kepada Perum Perhutani, seluas 1,12 juta ha dialokasikan untuk program Perhutanan Sosial (PS). Angka itu saya peroleh dari KLHK, Ditjen PS dan Kemitraan Lingkungan dalam sosialisasi IPHPS di wilayah kerja Perum Perhutani (Daryanto, 2017).
Ketiga dan keempat, lebih dari separuh (51,86 persen) luas lahan hutan di Jawa ”dibagi-bagi” kepada petani dalam program PS adalah pengutipan dari pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah terus membagikan SK pengelolaan hutan untuk PS.
Pernyataan itu juga dapat dipahami sebagai lahan hutannya ”dibagi-bagi” kepada petani. Pada bagian lain juga disebutkan hak kelola lahan 35 tahun (Kompas, 6/8/2018). Dengan PS, masyarakat menjadi legal dalam kawasan hutan.
Mohammad Adib, Dosen Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan IImu Politik Universitas Airlangga