Qatar, negara kecil di kawasan panas Timur Tengah, lama dikenal dengan kekuatan mediasinya. Namun, terkait konflik AS-Turki, peran mediasi itu sulit dijalankan.
Dalam kebijakan luar negeri Qatar, peran mediasi itu disebutkan secara eksplisit dan tegas. Hal ini tidak terlepas dari Konstitusi Qatar (Artikel 7) yang menggarisbawahi prinsip kebijakan luar negeri itu atas dasar ”memperluas perdamaian dan keamanan internasional, melalui upaya mendorong resolusi konflik internasional, dengan cara-cara damai”.
Sepanjang hampir delapan tahun dalam kurun 2008-2016, Qatar memediasi hampir 10 konflik dan sengketa. Mulai dari konflik Darfur melalui Kesepakatan Damai Doha, pembebasan tawanan perang asal Djibouti di Eritrea, pembebasan sandera di Suriah, konflik di Yaman, krisis politik di Lebanon, hingga rekonsiliasi faksi-faksi di Palestina, termasuk Hamas dan Fatah.
Peran mediasi Qatar mulai menonjol sejak 2006 ketika negara itu menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Dengan peran mediasi yang dipilih Qatar, tak mengherankan negara itu membuka pintu bagi berbagai pihak atau kelompok dengan spektrum dan corak kepentingan yang juga beragam.
Qatar menyediakan pangkalan udara militer bagi Amerika Serikat di Al Udeid, sekitar 31 kilometer barat daya Doha. Pada saat bersamaan negara itu juga mengizinkan milisi Taliban dan kelompok Hamas membuka kantor perwakilannya di Doha.
Tentu, selain didasarkan pada prinsip dalam konstitusinya, ada sejumlah alasan mengapa Qatar memilih mediasi sebagai salah satu prioritas kebijakan strategisnya. Seperti pernah diuraikan dalam laporan analisis lembaga Brookings Doha Center (2014), dengan kebijakan itu, Doha berharap—misalnya—bisa mengurangi ancaman terorisme atau menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif bagi investasi di negaranya.
Sebelum 2017, peran mediasi relatif mudah dijalankan Qatar. Adanya persepsi bahwa negara itu tidak memiliki bagasi kepentingan dan beban sejarah, seperti dialami beberapa mediator yang mapan di kawasan, seperti Arab Saudi atau Mesir, ikut mempermudah peran itu. Dan, memang, waktu itu Qatar berusaha menjaga kesan agar tak dianggap pesaing Arab Saudi.
Situasinya agak berubah setelah meletus krisis diplomatik antara Qatar dan empat negara Arab (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir), Juni 2017. Tak lagi seperti sebelumnya, Qatar kini masuk di pusaran konflik. Apalagi, dalam krisis diplomatik melawan Arab Saudi dan sekutunya, Qatar didukung Iran—rival Arab Saudi—dan Turki. Status honest broker yang sebelumnya mereka sandang itu mungkin mulai dipertanyakan.
Dalam konteks itu, kegagalan diplomasi Qatar sebagai penengah konflik AS dan Turki bisa terbaca. Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani membantah anggapan bahwa misinya ke Washington DC, Selasa (21/8/2018), adalah untuk menengahi konflik AS-Turki.
Dengan situasi seperti sekarang, konflik AS-Turki—yang dipicu soal penahanan Pendeta Andrew Brunson oleh Turki—kemungkinan belum akan terselesaikan dalam waktu dekat.