Seputar Vaksin Campak dan Rubela
Indonesia adalah negara nomor sembilan di dunia dengan kasus terbesar campak dan rubela.
Kedua penyakit itu akan mengancam keselamatan jiwa berjuta anak Indonesia karena belum ada obatnya. Satu-satunya pilihan adalah pemberian vaksin untuk membangun kekebalan.
WHO melalui World Health Assemby 2012 mencanangkan eliminasi campak dan rubela di seluruh dunia pada 2020. Namun, di Indonesia, penyakit campak dan rubela masih merupakan salah satu penyebab utama kematian anak balita di Indonesia.
Maka, pemerintah melaksanakan program imunisasi campak dan rubela skala luas. Pada Agustus-September 2017 dilaksanakan imunisasi campak dan rubela dengan sasaran 35 juta anak di Pulau Jawa. Pada Agustus-September 2018, sasarannya 32 juta anak di luar Pulau Jawa.
Sayang, pelaksanaan tidak berjalan mulus. Ada kontroversi terkait sertifikasi kehalalan vaksin. Sebagian masyarakat menolak karena vaksin tidak dilengkapi sertifikat halal.
Campak dan rubela
Campak adalah penyakit akut oleh virus, sangat mudah menular, terutama melalui pernapasan. Penyakit ini memiliki gejala antara lain demam, bercak kemerahan pada kulit, disertai batuk atau pilek dan mata merah. Penyakit campak dapat memicu komplikasi serius, seperti radang paru, otak, kebutaan, atau gizi buruk, yang berujung kematian.
Rubela sering menginfeksi anak dan dewasa muda, terutama yang rentan. Penyakit ini dapat menular pada ibu hamil dan memicu risiko pada janin yang dikandung. Dampaknya adalah penyakit bawaan bayi (congenital rubela syndrome, CRS).
Bayi dengan CSR kemungkinan besar akan menderita gangguan jantung, pendengaran, pengapuran otak, dan keterlambatan perkembangan. Kementerian Kesehatan memperkirakan angka kejadian (incidence rate) CRS 0,2 per kelahiran per tahun. Tahun 2015 dilaporkan 979 kasus CRS dari 4,89 juta kelahiran.
Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak. Berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium diketahui 12 persen-39 persen merupakan campak pasti (lab confirmed), sedangkan 16 persen-43 persen adalah rubela pasti. Jumlah kasus ini lebih rendah dari kondisi sebenarnya mengingat masih banyak kasus yang tak dilaporkan.
Telah terbukti bahwa kombinasi vaksin campak dan rubela (vaksin measles dan rubela, vaksin MR) signifikan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Cakupan imunisasi yang tinggi—minimal 95 persen—dapat membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) dan dapat memutus rantai penularan.
Namun, persentase kabupaten/kota di Indonesia yang menggunakan vaksin campak cenderung turun dari 45 persen tahun 2013 menjadi 28 persen tahun 2015. Penurunan cakupan imunisasi berkorelasi dengan angka insiden campak yang meningkat.
Penelitian di AS menunjukkan efektivitas penggunaan kombinasi vaksin campak, gondong, dan rubela (vaksin measles, mumps, dan rubela/MMR) dengan hasil amat signifikan. Kurun 1958-1962, sebelum vaksinasi, tingkat morbiditas (angka kesakitan) campak mencapai 503.282 kasus. Setelah vaksinasi tahun 2000, morbiditas turun menjadi 81 kasus atau tingkat penurunannya hampir 100 persen.
Untuk rubela pada kurun 1966-1968, sebelum vaksinasi morbiditas tercatat 47.745 kasus. Setelah vaksinasi tahun 2000 turun menjadi 152 atau tingkat penurunan 99,7 persen.
Untuk penyakit gondongan pada 1968, sebelum vaksinasi, morbiditasnya 152.209 kasus. Setelah vaksinasi tahun 2000, morbiditas turun jadi 323 kasus atau menurun 99,8 persen. Dengan demikian, imunisasi MMR efektif menyelamatkan anak balita.
Manufakturing vaksin
Tahun 1960-an untuk pertama kali diisolasi virus rubela dari jaringan bayi yang diaborsi karena ibu dan janin terinfeksi virus rubela liar. Virus yang diisolasi dikonfirmasi sebagai penyebab CRS. Virus itu di-passage di berbagai sel, termasuk sel ayam bertunas dan sel mamalia, tetapi yang dipilih human diploid cell (HDC) karena virus berhasil dilemahkan menjadi strain vaksin dan terbukti aman ketika diberikan kepada manusia.
Penggunaan HDC untuk bahan tumbuh virus rubela dinyatakan aman, bebas dari kontaminasi, dan stabil secara genetik. Virus diisolasi dari tempat tumbuhnya dan dipurifikasi dengan proses panjang untuk menghasilkan virus murni dan aman.
Teknologi produksi vaksin campak saat ini menggunakan teknik propagasi memanfaatkan embrio telur unggas/ayam atau menggunakan jaringan sel HDC, sedangkan vaksin rubela hanya menggunakan HDC untuk teknologi propagasinya.
Sekarang strain vaksin MR untuk seluruh dunia berasal dari WHO, yaitu rubela Wistar A 27/3 dan measles Edmonstone Zagreb. Strain ini sudah melalui proses panjang mulai passage pelemahan, pemurnian, hingga standardisasi mikrobiologi sebagai indukan atau master seed dan digunakan di seluruh dunia.
Vaksin MR yang digunakan di Indonesia diimpor dari Serum International India (SII) dengan menggunakan master seed atau indukan dari WHO. Masalahnya, saat itu vaksin MR produksi SII tersebut belum memiliki sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Memang kemudian Kemenkes dan MUI sepakat dan memutuskan bahwa pelaksanaan imunisasi MR bagi masyarakat yang mempertimbangkan aspek kehalalan diundur sampai MUI mengeluarkan fatwa imunisasi MR.
Syukurlah fatwa MUI tentang vaksin tersebut sudah keluar. Namun, ke depan, ada beberapa langkah preventif yang bisa dilakukan agar vaksin tidak menjadi kontroversi. Di antaranya dengan telaah terhadap vaksin MR produksi SII, terutama komponen kritis yang mungkin menimbulkan masalah kehalalan. Kuncinya terletak pada penggunaan bahan tripsin untuk memisahkan virus dari selnya.
Tripsin yang digunakan memproduksi vaksin MR oleh SII bisa berasal dari babi/porcine atau tripsin rekombinan bebas porcine. Dalam proses produksi vaksin, tripsin harus dilenyapkan dengan ultrafiltrasi dan kromatografi sampai tidak ada residu.
Untuk melacaknya dilakukan pengujian dengan PCR (polymerase chain reaction). Metode PCR ini memperbanyak DNA secara enzymatic tanpa menggunakan organisme. Apabila dengan teknologi PCR tidak terdapat DNA porcine yang dapat direplikasi, bisa dipastikan vaksin MR negatif dari DNA porcine.
Sisa/residu porcine harus negatif karena kalau tidak, proses produksi selanjutnya tidak bisa dilakukan terkait keamanan dan kemurnian (impurity). Berdasarkan realitas terbebasnya vaksin MR dari porcine itu, vaksin MR yang diproduksi SII digunakan di 40 negara Kerja Sama Konferensi Islam/OIC (Organization Islamic Conference).
Ke depan, dalam memutuskan kehalalan vaksin, obat, atau apa pun yang berguna bagi kemaslahatan orang banyak, seyogianya MUI tidak semata-mata merujuk pada dalil fikih, tetapi juga mengkaji perkembangan bioteknologi dan telaah para ulama di banyak negara Islam.
Sampurno Kepala Badan POM 2001-2006; Pengajar Magister Bisnis Farmasi UGM dan Universitas Pancasila