Ajun Komisaris Besar Erick Hermawan ditangkap Tim Saber Pungli karena diduga menerima pungutan liar pembuatan surat izin mengemudi.
Mengutip penjelasan Kepala Divisi Propam Brigjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Erick terbukti melakukan praktik pungutan liar. Dari praktik pengurusan SIM di Polres Kediri, Erick yang menjabat Kapolres Kediri menerima setoran Rp 40 juta hingga Rp 50 juta tiap pekan (Kompas, 23 Agustus 2018).
Penangkapan Erick tidaklah membuat kita terkejut. Fenomena suap, komisi, dan pungutan liar adalah hal yang biasa dan lumrah saja. Seperti pernah ditulis di kolom ini, Senin 16 Juli 2018, suap adalah ”korupsi purba”. Sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), praktik suap atau upeti atau uang sogok sudah lama terjadi. Pejabat kaya raya karena menerima uang sogok itu. VOC bangkrut karena korupsi yang akut.
Praktik seperti itu sudah terjadi lama dan hampir di semua lini kehidupan dan bukan hanya di kepolisian. Pertanyaannya adalah mengapa praktik seperti itu terus terjadi dan sepertinya dibiarkan terjadi, termasuk pada era Presiden Joko Widodo yang menjadi presiden ke-7 dengan jargon Revolusi Mental?
Mental para birokrat itu ternyata tak kunjung berubah. Fenomena penangkapan Erick ini kita harapkan menjadi momentum pembersihan suap dengan segala istilah turunan lainnya. Pemberantasan korupsi harus dipusatkan pada satu isu: suap! Arsip harian Indonesia Raya, 4 Oktober 1955, memberitakan Mr Djody Gondokusumo (mantan Menteri Kehakiman) dihukum Mahkamah Agung karena pada saat menjadi menteri menerima uang suap atas penerbitan visa kepada orang yang tidak berhak.
Sebuah survei menyebutkan, model korupsi yang paling banyak terjadi adalah suap (76 persen). Fokus pembenahan mental birokrat adalah bagaimana mengelola mereka agar tidak lagi menerima suap. Saat ini pemberantasan korupsi terlalu mengedepankan pada aspek ada atau tidaknya kerugian negara atau perekonomian negara. Sementara praktik suap kadang luput dalam penindakan. Langkah Mabes Polri menindak Ajun Komisaris Besar Erick patut didukung, terlepas ada atau tidaknya kerugian negara, termasuk melacak ke mana saja uang itu mengalir.
Audit investigasi harus dilakukan untuk membersihkan suap dari sisi pemberi. Melalui audit forensik dari sisi pemberi, sebenarnya akan bisa ditelusuri sampai mana uang mengalir atau dialirkan.
Indonesia sebenarnya telah memberlakukan Sistem Manajemen Antipenyuapan pada 8 Juni 2017 oleh Badan Standardisasi Nasional. Standar ini sebenarnya menguraikan dengan tegas dan jelas bagaimana pencegahan suap. Pertanyaannya adalah apakah sistem manajemen itu sudah diimplementasikan di semua lini.
Perlu ada fokus dan peta jalan bagaimana membersihkan suap di semua lini kehidupan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Bagaimana sistem dibangun untuk menghindari terjadinya suap. Dalam sistem ekonomi digital seperti sekarang ini, praktik suap bisa dihindari sejauh memang ada kemauan untuk itu.