Indonesia, Kerja, Pencerahan
Indonesia memang bukan sekadar sebuah wilayah yang terbentang dari Aceh hingga Papua, dari Miangas sampai Rote.
Indonesia adalah sebuah kerja: rangkaian tindakan bersama untuk memberi arti pada penghabluran segugus gagasan luhur untuk mewujudkan sebuah bentuk kehidupan. Dan, kehidupan yang layak diperjuangkan memang hanya kehidupan yang punya narasi tentang masa lampau dan tujuan masa depan.
Frase ”kehidupan yang memiliki narasi tentang masa lampau dan tujuan masa depan” tertera di buku Steven Pinker, Enlightenment Now (2018). Frase itu ia gunakan untuk membela gerak maju nalar manusia dan pengetahuan ilmiah yang dijunjung oleh pencerahan sekaligus untuk mempertegas keutamaan hidup yang bermakna ketimbang hidup yang sekadar puas berbahagia tanpa kepedulian pada liyan.
Kalimat Pinker tentang narasi masa silam dan agenda masa depan itu gampang mengingatkan kita pada unsur pembentuk bangsa yang dirumuskan Ernest Renan. Kita tahu, bagi Renan, bangsa adalah sebuah asas spiritual, yang terjalin dari dua hal. Yang pertama, masa lalu. Yang kedua, masa kini. Yang pertama dicerminkan oleh perasaan ikut memiliki suatu peninggalan yang kaya, berupa suatu kenangan kolektif, tempat kita bersama-sama meneruskan sebuah warisan agung dan berbagai sesal yang membekas. Yang kedua adalah kesepakatan hari ini, hasrat untuk hidup bersama, membentuk kehidupan baru pada masa depan yang mungkin bukan sekadar kelanjutan dari masa silam.
Rumusan Renan itu menjadi salah satu landasan pemikiran Bung Karno yang selalu gandrung pada persatuan, yang membantu pikiran visionernya membayangkan Indonesia merdeka. Di risalah yang dihimpun di bagian paling depan Di Bawah Bendera Revolusi, dan dimuat pertama kali di Suluh Indonesia Muda, 1926, Bung Karno berusaha menunjukkan esensi bangsa dan keharusan persatuan berbagai elemen progresif yang bergerak untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Materi dan narasi
Kini, setelah 73 tahun kita merdeka, persatuan memang masih harus terus dikukuhkan. Itu sebabnya, dengan segala cara, pemerintah harus tetap didukung memperkuat persatuan Indonesia Raya, termasuk membangun infrastruktur yang dapat menyatukan seluruh Tanah Air, memperlancar pergerakan materi dan narasi ke seantero negeri. Pembangunan infrastruktur masif tentu harus seiring dengan langkah-langkah sistematis mendukung kemudahan berusaha dan mengangkat diri sendiri keluar dari kemiskinan, kebebasan bekerja sampai tandas, untuk mengaktualkan potensi diri.
Kerja, dalam berbagai bentuknya, memang tindakan manusia yang paling dasar, yang membuat dirinya menjadi nyata. Sebagai suatu proses untuk menghasilkan nilai, kerja adalah sebentuk ”kutukan” yang hanya bisa terhapus oleh keringat dan devosi. Dalam kerja, manusia terdera desakan untuk merdeka dari eksploitasi dan gerusan arus yang rutin, tetapi justru lewat kerja itu, lewat tempaan dan bantingannya, manusia melihat dari tangannya lahir sesuatu yang punya harga. Ringkasnya, Indonesia memang gelanggang untuk memuliakan diri dan sesama.
Indonesia tentu masih ditempeli banyak hal, yang bisa merisaukan. Sebagian dari masalah itu mungkin berasal dari diri kita, dari tipisnya keterampilan dan timpangnya penyebaran pengetahuan kita—dengan kata lain, dari kekurangan kita sendiri. Sementara sebagian dari masalah itu justru berasal dari kebesaran kita, keluasan wilayah kita, keanekaragaman kita—kebesaran yang hanya bisa berubah dari masalah menjadi berkah jika kita punya cukup kekuatan dan pengetahuan untuk mengolahnya.
Yang berharga dari Gerakan Pencerahan adalah penemuan bahwa semua masalah di dunia ini sebenarnya bisa dipecahkan, cepat atau lambat, asalkan kita punya cukup ilmu pengetahuan. Alam semesta dan segenap isinya ini memang tidak terbentuk secara sembarangan dan senantiasa membuka diri pada penalaran manusia. Nalar manusia yang dipercanggih metode kerjanya dalam bentuk pengetahuan ilmiah telah menghasilkan banyak kemajuan besar. Tumpukan big data menunjukkan bahwa dalam banyak segi, dunia benar-benar makin membaik saat ini.
Pencapaian-pencapaian besar pengetahuan ilmiah manusia tentu masih menyisakan banyak hal yang membutuhkan perasan pemikiran kita. Angka kemiskinan kita menurun, pengangguran berkurang, dan jurang kesenjangan juga menyempit, tetapi kerja kita masih panjang. Itu hal yang patut kita syukuri. Kerja untuk memberi nilai kepada Indonesia masih terbentang luas dan tak harus diwujudkan di dunia politik meski politik memang punya keunggulannya sendiri. Juga tak harus dengan jabatan resmi di puncak struktur.
Ezra F Vogel dengan bagus menunjukkan bagaimana Deng Xiaoping mentransformasikan China meski ia tak pernah menduduki jabatan kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin tertinggi partai. Dedikasi dan kegigihannyalah yang telah mengangkat ratusan juta rakyat China dari kemelaratan, mengintegrasikan negeri besar itu ke pasar global, dan menjadikannya negara dengan laju perkembangan ekonomi tercepat di dunia.
Indonesia memang tak seberuntung China yang punya partai tunggal dan ampuh melakukan mobilisasi untuk tujuan-tujuan nasional. Namun, Indonesia juga punya kekuatan luar biasa, yakni partisipasi warga yang spontan. Ada banyak partisipasi warga Indonesia yang bergerak untuk ikut membentuk hari depan Indonesia, salah satunya gerakan pengerahan pengetahuan dalam bentuk pengiriman buku gratis ke berbagai penjuru.
Lautan pustaka
Pengiriman buku gratis ini telah mengguncang dua mitos kolonial yang cukup dalam menjajah kesadaran kita. Pertama, bahwa minat baca masyarakat Indonesia itu rendah. Sebanyak apa pun buku yang sudah dikirim, tak juga bisa meredakan permintaan buku dari warga, terutama anak-anak yang selalu ingin membaca buku bermutu. Mitos kedua yang dirontokkan adalah bahwa tanpa mobilisasi pemerintah, masyarakat akan lumpuh dan mustahil mampu bergerak memecahkan masalahnya sendiri. Nyatanya, para sukarelawan bergerak sebelum bantuan dari pemerintah itu datang.
Peran serta pemerintah, yang diwakili PT Pos Indonesia, memang kemudian kian mengobarkan partisipasi warga. Sejak dimulainya gerakan pengiriman buku gratis pada 20 Mei 2017, telah terkirim lebih dari 200 ton buku hingga 17 Juli 2018. Buku-buku beterbangan di langit khatulistiwa, bergerak ke berbagai penjuru, dan ikut mempererat ikatan kebangsaan antarsemua pihak yang terlibat. Kini para sukarelawan tengah membangun kerja sama dengan semua penerbit untuk menurunkan harga buku serentak setiap menjelang hari pengiriman buku gratis. Gerakan serentak ini akan mempermudah warga, khususnya perangkat desa yang ingin membangun pustaka desa, untuk dapat buku-buku bermutu dengan harga terjangkau.
Gerakan ini juga akan menguntungkan penerbit dan penulis serta bisa membuat Indonesia jadi lautan pustaka. Partisipasi warga yang luar biasa itu mekar antara lain karena ada kekuatan narasi masa silam dan harapan masa depan. Para tenaga kerja wanita (TKW) urunan mengumpulkan uang dan buku karena mereka punya masa silam yang pahit dan tak ingin kepahitan itu menurun ke anak-anak mereka.
Sukarelawan di perbatasan terus bergerak karena mereka percaya pada narasi tentang Indonesia dan harapan akan tumbuhnya generasi yang bisa ikut memberi warna pada Indonesia dan dunia masa depan. Para aktivis dan kaum terdidik ikut mendorong gerakan ini karena percaya bahwa semua manusia berhak mendapatkan pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan diri seluas-luasnya.
Narasi masa silam memang bisa mengukuhkan solidaritas dan kepercayaan diri. Penggalian sejarah yang tertimbun pada masa lampau itu telah meletakkan Nusantara ini tidak sekadar bagian dari dunia pinggiran, tetapi juga pusat munculnya kecerdasan artistik umat manusia.
Merajut narasi masa silam memang harus terkait dengan menata harapan hari depan agar masa depan tak bergerak sempoyongan dan jatuh menjadi peristiwa acak yang serba tak terduga. Sembilan puluh dua tahun silam, Bung Karno sudah menandaskan keharusan persatuan berbagai elemen pergerakan progresif untuk menghasilkan bangsa yang merdeka dari penjajahan. Kini kita juga merasakan keharusan mengintegrasikan berbagai limpahan informasi, aneka pandangan dunia, yang sekilas tampak saling bertentangan, untuk menjadi narasi agung, pegangan untuk masa kini dan esok.
Terima kasih kosmis
Semangat pencerahan dengan pengetahuan ilmiahnya sudah memberi kita metode untuk menapis informasi yang berisi. Pencerahan juga memberi kita sejumlah kerangka untuk mengintegrasikan berbagai informasi yang tampak berbeda, bahkan bertentangan itu menjadi sebuah pandangan dunia yang bermakna dan koheren. Dalam kerangka semesta yang didasari perkembangan pengetahuan ilmiah itu, kita semua menemukan diri kita sebagai buah dari proses panjang yang dibenihkan di perut bintang-bintang, dan bahwa akal kita sesungguhnya sanggup memahami semesta yang melahirkan kita semua ini, dan bahwa tindakan kita ikut memengaruhi lingkungan kita, dunia kita, semesta kita.
Semangat yang menghargai kerja dan akal budi itulah yang perlu disusupkan ke buku-buku yang akan disebar dalam gerakan Indonesia Lautan Pustaka.
Wawasan semesta yang dihamparkan oleh revolusi kognisi manusia membuat kita sadar bahwa kerja kita, perasan keringat kita, untuk memperbaiki keadaan, itu tidaklah sekadar proses untuk bermartabat, tetapi juga untuk menunjukkan terima kasih kita pada sejarah dan kehidupan. Bekerja sebaik-baiknya untuk Indonesia, untuk dunia, adalah ekspresi terima kasih kepada yang memungkinkan kehadiran Indonesia dan dunia. Rasa terima kasih itu mempermudah kita merumuskan dan mengerjakan tujuan-tujuan besar tidak hanya untuk diri kita sendiri, generasi kita, bahkan tidak hanya untuk bangsa kita sendiri.
Nirwan Ahmad Arsuka Pendiri Pustaka Bergerak