Menunggu Moratorium Sawit
Perkebunan sawit tidak ubahnya seperti madu dan racun. Dalam 15 tahun terakhir, keberadaannya sangat spektakuler karena telah memberi manfaat nyata bagi perekonomian nasional dan daerah. Sawit merupakan penyumbang devisa negara terbesar (23 miliar dollar AS) pada tahun 2017.
Sebagai produsen terbesar sawit di dunia, ekspor minyak sawit dan produk turunannya tahun 2017 mencapai 22,97 miliar dollar AS atau naik 26 persen dibandingkan dengan tahun 2016 (BPS, 2017). Bahkan, bagi sebagian pemerintah daerah, komoditas kelapa sawit memegang peran penting dalam menggerakkan ekonomi, baik sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja, maupun kegiatan produktif lainnya.
Namun, pada sisi lain, dengan luas 14,3 juta hektar dan sebagian besar merupakan konversi dari hutan alam, keberadaan perkebunan sawit dianggap berperan signifikan terhadap deforestasi di Indonesia, yaitu sekitar 16 persen. Nature Climate Change dalam studinya menyebutkan bahwa sejak tahun 1990 hingga 2010, hampir 90 persen lahan yang dikonversikan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan adalah wilayah hutan. Keyakinan terhadap dampaknya pada deforestasi inilah yang mendorong negara Uni Eropa mengancam menghentikan impor produk sawit dari Indonesia.
Urgensi
Selain isu deforestasi, perkebunan sawit juga dihadapkan pada masalah statusnya yang dipandang ilegal. Terdapat tiga kategori ilegal, yaitu (1) proses pelepasan atau alih fungsi hutan ke kebun maupun izin pinjam pakai kawasan hutan untuk perkebunan ataupun pertambangan; (2) pemberian izin HGU yang proses pelepasannya belum selesai; (3) penanaman sawit (biasanya oleh rakyat) pada kawasan hutan, melalui proses pembersihan dan pembakaran lahan.
Jumlah perkebunan sawit kategori ilegal sebesar 41 persen atau 4,3 juta hektar dan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat dan swasta (Kementan, 2017). Namun, sawit rakyat yang menggunakan lahan hutan sering kemudian dijual atau diambil alih pemilikannya oleh pengusaha. Sementara di areal dengan penggunaan lain (APL) di luar kawasan hutan, banyak menggunakan tanah semak belukar dan konversi dari kebun karet.
Pemerintah sebenarnya berupaya melakukan penataan terhadap tata kelola sawit, terutama dalam mengatasi masalah deforestasi dan sawit rakyat yang ilegal. Beberapa langkah yang direncanakan meliputi Perpres ISPO, replanting sawit rakyat seluas 185.000 hektar; penguatan sawit rakyat melalui dan penyelesaian status sawit rakyat di lahan hutan negara seluas 2,6 juta hektar.
Hanya saja, langkah ini dikhawatirkan melegalisasi praktik ilegal dalam pengusahaan kebun rakyat dan tidak berdampak positif terhadap pengurangan laju perluasan kebun (deforestasi) di lahan hutan negara. Terlebih, kawasan hutan alam produksi eks HPH (yang secara de facto tidak ada pengelolaannya) dan kawasan hutan tanaman industri seluas 3,6 juta hektar juga berpotensi menjadi open akses dan didayagunakan sebagai perkebunan sawit. Potensi ini semakin terbuka seiring dengan tahun politik, di mana politisi akan berjanji membantu legalisasi perluasan sawit di lahan hutan dalam rangka menangguk dukungan elektoral.
Banyak pihak berpendapat, kebijakan paling efektif untuk menghentikan laju perluasan kebun sawit adalah dengan moratorium sawit. Karena itu, Presiden Joko Widodo pada April 2016 mengumumkan rencana moratorium sawit dan pertambangan. Bahkan, diikuti dengan rencana penerbitan Inpres Penundaan dan Evaluasi Perizinan dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit pada Desember 2016.
Dengan kebijakan ini diharapkan dapat memberikan bentuk baru pengelolaan dan perbaikan pengelolaan sawit serta mendukung kelestarian ekologi dengan mengembalikan kawasan hutan yang telanjur menjadi perkebunan sawit.
Moratorium diyakini sebagai instrumen pokok (silver bullet) dalam menekan pengusaha dan rakyat untuk meningkatkan produktivitas sawit melalui intensifikasi pengelolaan dan bukan perluasan lahan mengingat tingkat produktivitas lahan yang dikelola perusahaan negara ataupun swasta hanya sekitar 4-5 ton per hektar.
Bahkan, pengusahaan sawit oleh rakyat lebih rendah, yaitu 2-3 ton per hektar. Ini jauh ketimbang Malaysia yang mencapai 10 ton per hektar.
Moratorium dan penegakan hukum juga sangat membantu pelestarian lingkungan, khususnya dalam mengurangi deforestasi di lahan gambut. Hal ini mengingat sekitar 20 persen lahan kelapa sawit Indonesia berada di lahan gambut, dan terhitung sebagai kontributor untuk dua pertiga emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.
Tonggak penting
Sesudah hampir dua tahun berjalan, status inpres moratorium sawit tidak kunjung diterbitkan oleh Presiden. Penundaan inpres ini bisa dipahami manakala belum ada kesepahaman antara kelompok yang pro dan kontra moratorium.
Namun, menjadi masalah jika penundaan moratorium lebih bertujuan mengakomodasi kepentingan pengusaha yang dekat penguasa agar lahan perkebunannya tetap terjaga. Ini berarti, pengelolaan sawit masih sarat dan terkait dengan kepemimpinan politik yang koruptif.
Perilaku elite politik (politisi) koruptif menjadi penyebab dari tidak berjalannya sistem ekonomi dalam memacu pertumbuhan. Ironisnya, sistem politik koruptif dalam industri sawit mendapat dukungan pengusaha itu sendiri dan sebagian elite masyarakat. Moratorium sawit adalah tonggak penting dalam mewujudkan perkebunan sawit yang produktif dan berkelanjutan, di samping dapat memastikan bahwa Indonesia siap mengambil keuntungan sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia.
Namun, tanpa moratorium yang cepat dan tepat, pasti, dan bebas dari unsur kepentingan politik ekonomi, keinginan mewujudkan produktivitas sawit yang berkelanjutan hanya ilusi belaka. Bahkan, yang dikhawatirkan adalah publik akan menilai bahwa pemerintah sebagai pengelola negara lebih memihak kepentingan oligarki ketimbang kelangsungan lingkungan. Tragis nasib negeri ini.
Suhardi Suryadi Pengurus LP3ES Tahun 2018-2022