Kewajaran Utang Negara
Debat sengit terjadi belakangan ini antara Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati perihal kewajaran utang negara. Silang pendapat berawal dari pidato ketua MPR pada sidang tahunan MPR (Kamis, 16/8/2018) yang menyindir bahwa utang RI sudah di luar batas ”kewajaran”.
Lebih spesifik lagi, ketua MPR menyoroti pembayaran beban cicilan pokok utang pemerintah pada 2018 yang sudah mencapai Rp 396 triliun lebih dan Rp 409 triliun di 2019. Dalam pandangan ketua MPR, angka tersebut sudah terlalu tinggi. Rujukan yang dipakainya adalah alokasi dana desa dan belanja kesehatan.
Penggunaan dana desa dan anggaran kesehatan sebagai rujukan untuk menilai ”kewajaran” utang negara beserta pembayaran beban pokok utang yang jatuh tempo tampaknya tak terlalu pas. Tak ada keterkaitan langsung antara beban utang dengan belanja dana desa dan kesehatan. Besaran dana desa dan anggaran kesehatan ditetapkan berdasarkan amanah UU No 6/2014 dan UU No 9/2009, masing-masing 10 dan 5 persen dari APBN. Dalam konteks yuridis-formal inilah, belanja dana desa dan kesehatan masuk kualifikasi ”wajar”.
Sementara, tak ada rambu-rambu regulasi yang membatasi besaran pos belanja ini. Praktik terbaik di beberapa negara secara normatif menyarankan beban pembayaran cicilan pokok utang paling tinggi 30 persen dari belanja APBN. Kalaupun norma ini yang dipegang, porsi pembayaran cicilan pokok utang pun masih ”wajar”.
Perlu dicatat pula, beban pokok utang merupakan akibat dari akumulasi utang masa lalu. Bahwa beban utang yang jatuh tempo menjadi tinggi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi pada tahun berjalan, seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan peringkat kredit. Artinya, aspek situasional jadi penentu. Lagi pula, pembayaran cicilan pokok utang adalah jenis belanja yang tak bisa dihindari (kecuali ada pemotongan utang) sebagai bentuk komitmen negara debitor. Indonesia tak hendak dicap sebagai negara pengemplang utang meski kepada kreditor dalam negeri, apalagi terhadap kreditor luar negeri.
Dalam cakupan lebih luas, membandingkan antarpos belanja—sebagaimana diungkap ketua MPR—sejatinya memberikan informasi mengenai skala prioritas. Kesan yang ditangkap ketua MPR, pemerintah seakan mengesampingkan belanja dana desa dan kesehatan yang langsung dinikmati rakyat daripada bayar utang. Sementara komparasi lintas tahun—sebagaimana diargumenkan Menkeu—menawarkan informasi arah kecenderungannya. Informasi semacam ini diperlukan sebagai bahan evaluasi berbagai kekurangan dan kendala yang dihadapi. Hasil evaluasi sangat vital untuk merevisi kebijakan di masa datang.
Dengan alur logika di atas, debat ”kewajaran” utang niscaya tak akan tuntas mengingat dasar acuannya berbeda sehingga kesimpulannya pun akan berbeda. Kesimpulan yang berbeda memberikan implikasi kebijakan yang berbeda pula. Pada gilirannya, kebijakan yang berbeda menyodorkan kriteria keberhasilan yang berlainan. Oleh karena itu, agar terhindar dari jebakan terminologi ”wajar”, indikator lain perlu diidentifikasi untuk menggambarkan profil utang pemerintah secara utuh. Total utang negara sampai Juli 2018 sebesar Rp 4.200 triliun atau ekuivalen dengan 29,57 persen dari produk domestik bruto (PDB). PDB dijadikan rujukan lantaran ada relasi langsung di antara keduanya.
Ukuran kewajaran
Volume PDB menunjukkan kinerja perekonomian suatu negara. Semakin tinggi level PDB semakin tinggi prestasi ekonomi sehingga kemampuan finansial untuk menutup utang juga kian besar. Rasio utang terhadap PDB yang semakin kecil bisa dibaca pula sebagai peningkatan efisiensi pemanfaatan utang.
Hanya, kelemahan utama rasio utang sebagai indikator ”kewajaran” baru sebatas potensi awal dalam membayar kembali utangnya, alih-alih kemampuan efektifnya. DSR (debt service ratio) sering diajukan sebagai indikator tambahannya. DSR adalah perimbangan antara perolehan nilai ekspor dan beban bunga utang.
Sayangnya, DSR lebih merepresentasikan kemampuan membayar bunga utang alih-alih melunasi pokok utang. Faktanya, perolehan ekspor tak seluruhnya masuk sebagai penerimaan negara. Polemik pemulangan devisa hasil ekspor guna meredam gejolak nilai tukar belakangan ini seolah menjadi justifikasinya.
Dari internal keuangan negara, kemampuan pembayaran utang bisa disidik dari keseimbangan primer, yakni selisih antara belanja di luar pembayaran bunga utang dengan total penerimaan. Defisit keseimbangan primer berarti pemerintah membayar bunga utang dari utangan baru. Istilahnya ”gali lubang tutup lubang”. Data menunjukkan defisit keseimbangan primer terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kalkulasi pemerintah, keseimbangan primer bisa mendekati surplus jika defisit APBN ada di posisi 1 persen dari PDB. Upaya untuk menekan defisit APBN memerlukan ekstra penerimaan pemerintah.
Alhasil, indikator yang sejatinya lebih tepat sebagai pedoman ”kewajaran” adalah rasio utang dengan penerimaan dalam negeri (pajak, bea dan cukai, dan penerimaan negara bukan pajak) terutama pajak. Pajak adalah sumber utama penerimaan negara yang secara yuridis ada dalam jangkauan pemerintah sehingga lebih dapat diandalkan.
Peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan tak selalu harus diikuti kenaikan tarif pajak jika suku bunga utang lebih rendah daripada angka pertumbuhan PDB nominal. Artinya, beban utang dengan sendirinya akan tertutup oleh pertumbuhan alami penerimaan pajak.
Dengan skema problematika di atas, selama APBN defisit, keseimbangan primer minus, shortfall perpajakan, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi lambat, selama itu pula pembayaran cicilan pokok utang tidak ”wajar” dalam arti yang sesungguhnya. Kalau acuan ini disepakati, debat ”kewajaran” utang akan lebih produktif, alih-alih mempermasalahkan jumlah tanpa ada solusi yang konkret.
Haryo Kuncoro Direktur Riset SEEBI (The Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Dosen FE Universitas Negeri Jakarta