Berebut Milenial
Pemilu 2019 akan menjadi ajang perebutan suara pemilih milenial. Jumlah mereka mayoritas sehingga menjadi salah satu segmen penentu kemenangan kandidat pemilihan presiden dan partai politik peserta pemilu legislatif.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik hasil sensus 2010, diproyeksikan jumlah pemilih milenial tahun 2019 berkisar 55-58 persen. Data riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam kurun waktu setahun terakhir menunjukkan kecenderungan pemilih Joko Widodo (Jokowi) lebih kuat di kalangan milenial perdesaan. Di sini, Jokowi untuk sementara unggul cukup jauh. Sebaliknya, Prabowo Subianto cenderung memiliki dukungan yang lebih kuat di kalangan milenial perkotaan. Akibatnya, dukungan kepada Jokowi dan Prabowo cenderung berimbang di kalangan milenial perkotaan.
English Version: Battle for Millennial Votes
Tantangan kedua kandidat adalah bagaimana memperluas dukungan di wilayah yang masih lemah dan mempertahankan di daerah yang sudah kuat. Dengan kata lain, Jokowi harus bekerja lebih keras di daerah perkotaan, sedangkan Prabowo harus lebih agresif di daerah perdesaan agar suara kalangan milenial dapat mereka peroleh lebih banyak. Perebutan suara pemilih milenial, dengan demikian, akan cukup sengit.
Siapakah milenial dan ke mana dukungan politiknya?
Ada sejumlah versi mengenai konsep milenial. Namun, secara umum, milenial adalah generasi yang mulai dewasa pada era milenium alias abad ke-21. Maka, milenial adalah generasi yang lahir sekitar awal 1980-an hingga awal 2000-an. Dalam Pemilu 2019, milenial adalah pemilih yang berusia 17- 38 tahun. Dengan proyeksi data BPS di atas, pemilih generasi ini akan berjumlah lebih dari 100 juta orang karena diperkirakan jumlah pemilih nanti pada kisaran 190 juta orang.
Usia bukanlah satu-satunya kriteria milenial. Yang dianggap paling membedakan mereka dari generasi yang lebih tua (generasi X dan baby boomers) adalah keakraban dan kefasihan mereka dengan teknologi berbasis digital dan internet. Hampir semua anggota generasi ini, terutama yang berusia di bawah 30 tahun, adalah pengguna aktif internet.
Keakraban dan kefasihan dalam teknologi internet inilah yang selanjutnya menjadi penentu karakteristik generasi ini. Karakteristik dasar internet, seperti serba cepat, serba instan, selalu baru, dan serba terhubung, membuat generasi ini adalah generasi yang sangat menghargai kebaruan, kreativitas, informalitas dan fleksibilitas, serta kemampuan beradaptasi. Siapa pun yang ingin memperoleh simpati generasi ini, apalagi menginginkan dukungan politik dari mereka, haruslah benar-benar memperhatikan karakteristik tersebut.
Penelitian di sejumlah negara, yang dipublikasi oleh majalah Time, USA Today, dan Pew Research Center dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir, menunjuk pada sejumlah aspek negatif sekaligus positif yang berkembang di kalangan milenial. Secara negatif, generasi ini digambarkan sebagai generasi yang cenderung narsistik, self-centered, atau the Me Me Me Generation. Generasi yang hanya peduli pada dirinya sendiri.
Yang lebih netral dan positif menggambarkan generasi milenial sebagai generasi yang lebih cocok dengan jadwal kerja yang fleksibel dan informal, dan sangat suka dengan umpan balik (feedback) yang berkelanjutan, terutama dari atasannya atau orang yang mereka hormati. Fokus hidup mereka lebih banyak pada nilai-nilai material dan ekstrinsik, seperti uang (kaya), fisik yang menawan, ketenaran, dan citra.
Tidak mengherankan kalau generasi ini akan lebih mengidolakan orang-orang yang secara fisik dan material (kekayaan atau well being) terlihat sukses. Nilai-nilai yang lebih komunal, seperti sikap dan penerimaan masyarakat, tidak begitu penting bagi mereka.
Milenial juga digambarkan sebagai generasi yang cenderung berpikiran terbuka (open-minded), lebih toleran terhadap hak-hak minoritas, sangat percaya diri, cenderung liberal, dan sangat tertarik dengan gagasan ataupun cara hidup yang baru. Intinya, ini adalah generasi yang terbiasa hidup dengan perubahan yang cepat dan baru bisa didekati dengan berbagai pendekatan sekaligus. Dari segi politik, generasi ini cenderung berjarak (civically and politically disengaged)sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok politik yang hendak mendekati.
Salah satu cara untuk memetakan generasi ini di Indonesia adalah dengan cara membagi mereka ke dalam milenial yang tinggal di perdesaan dan di perkotaan. Menurut BPS, penduduk yang berada di perdesaan dan perkotaan proporsinya lebih kurang terbagi dua: separuh di perkotaan dan separuh di perdesaan. Secara kasar, kita dapat memperkirakan bahwa milenial pun kira-kira separuh ada di perdesaan dan separuhnya di perkotaan.
Penggunaan internet di perdesaan, menurut data SMRC (2018), berada pada proporsi sekitar 27 persen. Dengan demikian, milenial di perdesaan diperkirakan masih banyak yang belum akrab dengan internet. Riset menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dukungan politik terhadap Prabowo di kalangan pengguna internet dan milenial cenderung lebih kuat. Ini menjadi salah satu alasan mengapa, di perdesaan, elektabilitas Jokowi unggul cukup jauh dibandingkan dengan Prabowo.
Di perkotaan, penggunaan internet sudah lebih dari 50 persen atau setidaknya pada kisaran 50 persen. Ini jadi salah satu alasan mengapa di perkotaan dukungan terhadap Jokowi dan Prabowo di kalangan pengguna internet dan milenial cenderung berimbang dibandingkan dengan di perdesaan.
Mengapa dukungan terhadap Prabowo cenderung lebih kuat di kalangan pengguna internet dan milenial? Terhadap pertanyaan ini, pasti ada banyak jawaban. Setidaknya ada dua kemungkinan yang menonjol yang dapat dikemukakan.
Pertama, pembicaraan tentang politik kemungkinan lebih banyak dibicarakan secara negatif di dunia internet, terutama media sosial. Karena Jokowi adalah petahana, logis kalau pembicaraan tentang Jokowi dan segala hal terkait kinerja ataupun personalnya akan lebih banyak muncul. Pihak oposisi juga akan lebih mudah mengunggah hal-hal negatif tentang petahana karena memang tugas mereka mengkritik dan membuat petahana tampak negatif. Kemungkinan besar ini membuat citra petahana menjadi lebih negatif di dunia maya, apalagi apabila pasukan dunia maya pihak oposisi cukup kuat.
Hal negatif ini beresonansi dengan kecenderungan milenial yang kurang suka politik. Data hasil survei beberapa tahun belakangan juga menunjukkan citra negatif para politisi. Misalnya, survei Indikator Politik Indonesia tahun 2013 menunjukkan persepsi negatif terhadap politisi di kalangan pengguna internet. Politisi dipersepsi sebagai orang yang hanya peduli dengan kepentingan pribadinya, tidak akan menepati janji kampanyenya, dan hanya membangun pencitraan (membagus-baguskan diri).
Kedua, kemungkinan persoalan ekonomi menjadi alasan mengapa di kalangan milenial dukungan terhadap Jokowi cenderung lebih lemah. Sulitnya lapangan kerja dan pengangguran adalah hal yang secara umum masih dikeluhkan masyarakat selama tiga tahun terakhir. Data BPS tahun 2018 menunjukkan angka pengangguran yang tinggi sekali di kalangan milenial, terutama yang berusia di bawah 30 tahun.
Jumlah angkatan kerja—menurut BPS pada Februari 2018—yang berusia di bawah 30 tahun sekitar 38 juta orang. Yang menganggur ada sekitar 4,8 juta. Artinya, pengangguran di kalangan milenial berusia di bawah 30 tahun adalah sekitar 12,6 persen. Di kalangan yang lebih muda lagi (di bawah 25 tahun), angka pengangguran lebih tinggi. Dari sekitar 22 juta angkatan kerja berusia di bawah 25 tahun ada sekitar 3,6 juta (16,4 persen) yang menganggur. Pemilih berusia di bawah 25 tahun umumnya adalah pemilih pemula atau pemilih yang baru satu kali memilih.
Banyak di antara mereka yang masih kuliah atau baru selesai kuliah dan sedang sangat galau tentang masa depan, terutama soal pekerjaan dan perjodohan. Angka pengangguran di kalangan milenial muda ini jauh di atas angka pengangguran nasional yang menurut BPS pada Februari 2018 adalah 5,13 persen.
Pemilih yang merasa ekonomi, terutama pekerjaan, sulit baginya, biasanya akan menyalahkan petahana. Inilah salah satu alasan mengapa di kalangan milenial, terutama di perkotaan, dukungan terhadap petahana cenderung melemah dan dukungan terhadap penantang, dalam hal ini Prabowo, cenderung menguat. Ada banyak faktor lain, tetapi dua hal itu dapat menjadi jawaban sementara atas fenomena dukungan politik generasi milenial.
Strategi triangulasi
Pertanyaan menarik berikutnya, setelah cawapres yang mendampingi Jokowi dan Prabowo terpilih, bagaimana arah dukungan generasi milenial? Jawaban lebih pasti soal ini harus melalui penelitian alias survei opini publik. Ini akan segera kita dapati karena saya yakin sejumlah lembaga survei sedang dan akan mengecek elektabilitas pasangan peserta pilpres. Juga tergantung bagaimana kampanye yang akan dilakukan oleh setiap pasangan selama sekitar delapan bulan ke depan.
Yang pasti, start awal pasangan petahana tampak kurang kuat (shaky). Yang diperlukan Jokowi adalah penguatan di milenial perkotaan, tetapi calon wakil presiden yang dipilih diperkirakan hanya akan mampu membantu Jokowi di perdesaan, wilayah di mana Jokowi sudah kuat. Penguatan juga kemungkinan bukan di kalangan milenial. Sebaliknya, calon wapres Prabowo membuat kubunya menjadi double down (memperkuat dua kali) kekuatannya di milenial perkotaan mengingat Sandiaga Uno adalah figur yang lebih dekat dengan milenial dibandingkan dengan Ma’ruf Amin. Akibatnya, Jokowi harus membagi kekuatannya sebagai pribadi di perdesaan dan perkotaan, sedangkan Prabowo dan Sandi akan lebih mudah berbagi tugas saling silang di antara perdesaan dan perkotaan.
Tantangan lain bagi petahana adalah bagaimana mengembalikan antusiasme yang cenderung menurun (reaksi negatif) setelah terpilihnya cawapres, yang diperkirakan juga banyak di kalangan milenial. Reaksi negatif terhadap pilihan Jokowi bersumber pada tiga hal: proses dan perlakuan terhadap Mahfud MD; kesan bahwa Jokowi menyerah dengan kontrol partai, padahal dia petahana yang cukup kuat; dan figur cawapres yang kontroversial bagi sejumlah pemilih Jokowi.
Kedua kubu, dengan demikian, punya lebih dari cukup alasan untuk menjadikan milenial sebagai salah satu fokus utama delapan bulan ke depan. Karakteristik milenial mengharuskan kedua kubu menggunakan strategi triangulasi (menggabungkan sejumlah pendekatan dan strategi) untuk memikat pemilih milenial. Ada banyak pilihan strategi yang bisa digabungkan, seperti strategi demografi, strategi sosiologis, strategi rasional-psikologis, dan strategi geopolitik. Makin unik dan individual racikan strategi yang dirumuskan dan dijalankan, akan makin menjamin kemampuan menarik milenial.
Tiga hal pasti harus menjadi kerangka dasar. Pertama, medium menjangkau milenial harus yang akrab dengan mereka. Internet dan media sosial salah satu yang penting. Kedua, konten harus cocok, yang bukan conventional politics. Bolehlah disebut, the politics of non-politics. Ketiga, tim atau pelakunya harus cocok dengan milenial. Peribahasa Melayu mengatakan: ”memikat balam dengan balam”. Untuk memikat burung balam haruslah dengan burung balam, jangan dengan ketitir. Balam dengan ketitir akan berkelahi.
Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina