Lombok kian ”babak belur” setelah diguncang dua rangkaian aktivitas gempa sejak 29 Juli lalu (M 6,4), 5 Agustus (M 7,0 ), dan 9 Agustus (M 6,2) beserta ratusan gempa susulan hingga rangkaian gempa kedua pada 19 Agustus pagi (M 6,5) dan malamnya (M 6,9) beserta susulannya.
Rangkaian gempa pertama yang berintensitas hingga VIII MMI merontokkan sekitar 32.000 bangunan rumah dan menelan korban 469 orang tewas, sebagian besar (86%) di wilayah (pedesaan) Kabupaten Lombok Utara. Beberapa desa yang dikenal sebagai pengirim buruh migran, termasuk Desa Bentek, luluh lantak. Namun, ada yang menarik, yakni desa- desa adat seperti Kampung Belek di lereng Rinjani dan Kampung Sasak Sade justru selamat dari dampak gempa.
Dari besarnya korban tewas yang hampir seluruhnya tertimpa reruntuhan bangunan ”modern” dan beberapa desa/ kampung adat yang justru selamat, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga Lombok telah melupakan kearifan lokal. Modernisasi telah dipersepsikan secara tidak tepat, yakni mengabaikan kearifan lokal yang sejatinya telah mempertimbangkan aspek keselarasan dengan alam. Rumah berdinding beton dan beratap genteng/seng dianggap sebagai simbol modernisasi dan status sosial yang lebih tinggi daripada rumah-rumah adat tradisional.
Celakanya lagi, jajaran pemerintah daerah juga cenderung berpersepsi bahwa kawasan dengan bangunan-bangunan komunitas adat merupakan kawasan kumuh dan indikator kemiskinan. Padahal, kearifan local yang termanifestasi pada arsitektur bangunan rumah adat tersebut merupakan hasil pembelajaran dari leluhur selama ratusan tahun, termasuk ketika Lombok dilanda gempa besar disertai tsunami pada 1836.
Alhasil, warga di daerah pedesaan pun seolah berlomba membangun rumah-rumah beton demi dianggap ”modern” dan ”berhasil”. Padahal, sangat mungkin tidak begitu paham atau bahkan buta sama sekali dengan kaidah-kaidah bangunan modern yang aman dan tahan gempa. Berdasarkan informasi tim peneliti Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terungkap bahwa bangunan rumah yang rusak di Lombok Utara banyak disebabkan oleh teknik konstruksi serta bahan-bahan yang di bawah standar.
Akibat mengabaikan kearifan lokal dan berpaling pada modernisasi tanpa pemahaman yang baik, kini warga Lombok khususnya warga pedesaan di Lombok Utara harus membayar mahal, yakni kehilangan anggota keluarga tercinta, sanak saudara, dan kerabat yang jadi korban tewas akibat tertimpa reruntuhan bangunan rumahnya sendiri. Rumah-rumah ”modern” hasil menabung bertahun-tahun atau mungkin puluhan tahun, termasuk dengan bekerja sebagai buruh migran, kini luluh lantak rata tanah.
Alternatif solusi
Rekonstruksi pascagempa Lombok perlu mempertimbangkan restorasi nilai-nilai kearifan lokal dan rumah adat sebagai aset budaya. Kampung adat yang masih kuat mempertahankan tradisi rumah adat dan kearifan lokal serta terbukti ampuh menghadapi gempa perlu diproteksi dan dikembangkan jadi salah satu daya tarik wisata Lombok. Pemerintah pusat/daerah/desa dapat merevitalisasi, memugar, dan memfasilitasi dengan pengembangan infrastruktur lingkungan permukiman, termasuk penyediaan air bersih, drainase, sanitasi, perbaikan jalan kampung, serta sarana pendidikan dan kesehatan.
Kearifan lokal pada bangunan rumah adat dan tata ruangnya bisa lebih indah, rapi, dan sehat dengan sentuhan inovasi dan infrastruktur lingkungan. Rumah adat dengan atap berbentuk gunungan ataupun limas, melalui sentuhan arsitektur modern, dapat menyajikan struktur kokoh dan tampilan menawan. Demikian pula penggunaan material bangunan adat memerlukan perbaikan-perbaikan sesuai tuntutan perkembangan zaman tanpa mengubah esensi dari nilai-nilai kearifan lokalnya seperti estetika, material alami tahan gempa, dan berwawasan lingkungan.
Rekonstruksi juga perlu mempertimbangkan kemampuan finansial atau stratifikasi sosial ekonomi dari para korban gempa sehingga bantuan stimulus yang dijanjikan oleh pemerintah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Untuk korban gempa dari kelompok berpenghasilan rendah, misalnya, bantuan dana stimulus dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi rumah panggung tipe kecil dengan struktur kolom dan balok yang kokoh berbahan kayu berkualitas baik, seperti kayu ”suren ritip” yang antinyamuk. Material atap ringan dapat dimodifikasi dengan ilalang/rumbia sintesis tahan api yang jauh lebih tahan lama dan ekonomis, sedangkan material dinding dari kayu atau anyaman bambu dapat dilapisi cairan tahan api. Opsi ini jauh lebih aman daripada memaksa diri membangun rumah-rumah beton tanpa dukungan pengetahuan teknis yang memadai, terlebih jika budgetnya tipis.
Tentu tak semua desa dikembangkan jadi desa wisata. Pada desa-desa basis buruh migran yang terdampak gempa hebat, misalnya, dapat dipertimbangkan opsi lainnya, seperti mendirikan rumah prafabrikasi berteknologi knockdown ”Rumah Instan Sederhana Sehat” (RISHA) hasil inovasi Kementerian PUPR, atau memodifikasi rumah antigempa ala ”Teletubbies” Yogyakarta, sesuai bentuk atap rumah adat Sasak.
Selain rekonstruksi permukiman, ruang wilayah provinsi dan kabupaten di NTB juga harus ditata ulang mengikuti peta kawasan rawan bencana geologi terbaru terbitan Badan Geologi. Hal ini penting, misalnya sebagai acuan untuk relokasi permukiman pada zona berisiko tinggi.
Pariwisata sebagai salah satu sektor andalan Lombok kita harapkan segera pulih dan dapat menyambut musim puncak turis beberapa bulan mendatang. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdampak perlu menggandeng pihak swasta, perguruan tinggi, dan LSM untuk mendampingi para korban gempa guna mempercepat pemulihan penghidupan warga Lombok.
Bambang Ismawan Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya serta Pemimpin Umum Majalah ”Trubus”