Prakarsa China membangun infrastruktur menghubungkan China dengan Asia, Eropa, dan Afrika menimbulkan pertanyaan tentang manfaatnya.
Pertanyaan dari negara-negara yang berada di jalur Prakarsa Sabuk dan Jalan (PSJ) tentang manfaat jalur tersebut terus muncul setelah melihat pengalaman Sri Lanka, Pakistan, Maladewa, dan Malaysia. Tahun ini, PSJ memasuki tahun kelima setelah dicetuskan Presiden Xi Jinping pada 2013.
Sri Lanka tahun lalu terpaksa merelakan pelabuhan pentingnya disewakan kepada China selama 99 tahun karena tidak mampu membayar pinjaman 1,4 miliar dollar AS untuk membiayai pembangunan pelabuhan tersebut.
Prakarsa tersebut menjadi isu politik di Malaysia, Pakistan, dan Maladewa karena beban pinjaman kepada China yang dianggap memberatkan ekonomi negara bersangkutan.
Kajian oleh Center for Global Development menyebut delapan negara berada dalam risiko serius tidak dapat membayar utang akibat ikut dalam PSJ, yaitu Djibouti, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan. Selain itu, kritik juga mengkhawatirkan China menggunakan PSJ sebagai ”diplomasi jebakan-utang” untuk mendapatkan konsesi strategis, seperti saat ada perselisihan wilayah.
PSJ bertujuan memperkuat infrastruktur, perdagangan, dan investasi, menghubungkan China dengan sekitar 65 negara, serta mencakup 30 persen nilai ekonomi dunia, 62 persen penduduk Bumi, dan 75 persen cadangan energi yang sudah diketahui. Banyak yang menyebut prakarsa ini sebagai Jalan Sutra masa kini dan menyamakannya dengan Marshall Plan—proyek bantuan ekonomi oleh AS untuk Eropa Barat dan Selatan yang hancur akibat Perang Dunia II—sebagai cara meningkatkan dominasi ekonomi dan politik.
Prakarsa ini meliputi infrastruktur darat dan maritim. Infrastruktur laut menghubungkan China dengan negara-negara Asia Tenggara, kawasan Teluk, Afrika Utara, hingga Eropa.
Di tengah berbagai sorotan tajam mengenai pelaksanaan prakarsa tersebut, apabila PSJ terlaksana akan terjadi peningkatan perdagangan antarnegara dengan biaya lebih murah. Meskipun, PSJ juga untuk kepentingan China, yaitu memudahkan pengiriman produk industri ke negara-negara di dalam jalur dan sebaliknya memudahkan jalur bahan baku ke China.
Membangun infrastruktur menjadi dilema banyak negara berkembang sebab membutuhkan biaya besar, manfaatnya pada pertumbuhan ekonomi tidak instan.
Banyak negara mengundang swasta membangun infrastruktur dan pemerintah menjadi penjamin untuk pinjaman. Kemampuan mengembalikan pinjaman dalam mata uang asing akan menjadi masalah apabila negara tidak memiliki cukup devisa dari ekspor barang dan jasa, terjadi korupsi, atau salah dalam merencanakan pembiayaan.
Di sini pentingnya peran perancangan perekonomian dari negara-negara yang ingin membangun infrastruktur, termasuk memastikan terjadi kerja sama saling menguntungkan di antara negara yang terlibat untuk mencegah pembangunan infrastruktur berubah menjadi isu politik dalam negeri.