Sriwijaya dan Spirit Asia
Sejarah sebagai ingatan kolektif bangsa merupakan pengalaman masa lalu, yang dianggap berharga bagi kehidupan masa kini dan depan, agaknya sudah mulai banyak dijadikan acuan lagi.
Dalam talian itu sejarah tidak sekadar untuk mengglorifikasikan masa lampau. Sebab, sejarah justru diharapkan sebagai modal untuk membangun bangsa ke depan. Dan, hanya bangsa yang pandai mempelajari sejarah secara arif, maka akan menjadi bangsa yang besar.
Bagaimana dengan masyarakat-bangsa di kepulauan, yang sesungguhnya mempunyai sejarah panjang dengan dinamika pergaulan antarbangsa sejak awal milenia pertama telah terekam jejaknya? Berada di silang budaya dan bahari dunia Timur dan Barat, kepulauan Indonesia beruntung memperoleh kekayaan sejarah yang menakjubkan.
Selat Malaka sebagai jalur pelayaran pada masa globalisasi awal peradaban menarik diamati melalui terbentuknya jaringan maritim dunia. Memanfaatkan kondisi strategis dan kemampuan mengelola jaringan maritim itulah, Sriwijaya muncul dalam abad VII sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara hingga abad XIV.
Pada awal Agustus lalu, di Palembang, baru saja diadakan ”Seminar Internasional Sriwijaya dan Poros Maritim Dunia” oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimajukannya seminar dari rencana semula, September, tentu bukan tanpa maksud. Selain bertujuan mengungkap berbagai aspek kesejarahan Sriwijaya, juga penting untuk memaknai peran besar Sriwijaya dalam panggung sejarah Asia.
Pelayaran antarbangsa
Meskipun benar wilayah kuasa perdagangan Sriwijaya hanya Asia Tenggara (sekarang), jangkauannya melibatkan para pedagang dari Asia. Memang begitulah telah berlangsung interaksi yang intensif antara ”negeri di bawah angin” (Asia Tenggara) dan ”negeri di atas angin” (Arab, India, China, Jepang dsb) dalam jaringan maritim.
Dan, sejarah mencatat, Sriwijaya-lah yang menjadi ”poros”- nya. Sumber China abad VII telah mencatat kejayaan Sriwijaya di bidang perdagangan, oleh karena itu disenangi sebagai mitra bisnis yang menguntungkan.
Dan, pada akhirnya runtuh pada abad XIV, periode antara abad VII-XI, Sriwijaya memperlihatkan kejayaan dalam menguasai dan mengendalikan pelayaran dan perdagangan antarbangsa. Periode kedua, abad XII–XIII, meskipun mulai merosot, Sriwijaya masih mampu mengendalikan perdagangan antarbangsa, terutama ke China.
Dalam periode ini, China memperluas perdagangannya ke Koryo, Jepang, Champa, Angkor di Asia Tenggara dan Sriwijaya disebut sebagai mitra terdekat dan terkuat. Sebaliknya, Sriwijaya banyak mengirim utusan pedagang kaya yang berlabuh di Guangzhou. Salah satu pedagang Sriwijaya bernama Shih No-Wei (Billy Kee-Long 2000).
Lalu, kini bagaimana membaca Sriwijaya—suatu imperium bahari terbesar (berpusat di Palembang) dengan rentang tujuh abad—bagi suatu bangsa yang kemerdekaannya baru berusia 70 tahun lebih sedikit.
Lenyapnya Sriwijaya, selain faktor geografis, ketika Palembang semakin jauh dijangkau dari pantai, juga karena komoditas produk hutan semakin langka, serangan kerajaan Cola dan Majapahit ternyata harus ditambah lagi dengan fakta penting lainnya, yakni mundurnya peran Orang Laut sebagai armada penjaga kedaulatan Sriwijaya. Ketika kemudian mulai berkurangnya jumlah personel armada laut, yang sebagian besar diisi oleh orang daratan, dan orang laut telah tersingkir, maka keruntuhan Sriwijaya tinggal menunggu waktu.
Keprihatinan pada Orang Laut di masa kini patut dikemukakan karena mereka hidup tercecer dan terpinggirkan di Kepulauan Riau. Anehnya lagi, perkampungan mereka yang justru berada di pesisir disebut sebagai hinterland dengan nada ”merendahkan”.
Refleksi sejarah
Refleksi sejarah guna membangun kesadaran untuk mempelajari Sriwijaya dilihat dari perspektif hubungan antarbangsa di Asia kini, menjadi sangat penting. Di tengah upaya Indonesia menawarkan konsep Indo-Pasifik guna menjadikan ASEAN sebuah kawasan yang damai dan makmur, makna historis Sriwijaya menjadi sangat strategis sebagai modal bersama.
Maka, tepatlah moto Asian Games 2018 di Indonesia, ”The Energy of Asia”. Apa yang kita toreh sekarang diharapkan menjadi sejarah di masa depan. Lalu, pertanyaannya, bagaimana perkembangan Palembang dan bangsa Indonesia pasca-Asian Games? Akankah sama seperti pasca-Sriwijaya, ketika anak bangsa tak mampu menangkap pesan yang sarat nilai, semangat dan energi kebaharian Sriwijaya, karena Palembang kini semakin tak menyisakan bukti-bukti kejayaan tempo dulu?
Susanto Zuhdi Sejarawan Universitas Indonesia.