Serangan pasukan Suriah dibantu Rusia dan sekutunya ke Idlib, provinsi yang masih dikuasai kelompok oposisi, kian menyulitkan upaya perdamaian di Suriah.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura meminta Rusia dan Turki mencari ”solusi lunak” untuk mencegah berlanjutnya serangan tersebut. Namun, Presiden Suriah Bashar al-Assad justru bertekad akan merebut kembali Idlib, bahkan meraih kembali kendali atas seluruh wilayah negeri yang tercabik perang saudara sejak 2011 itu.
Serangan ke provinsi yang dikenal sebagai basis kelompok pemberontak, termasuk jihadis yang terkait dengan Al Qaeda, dilakukan Selasa (4/9/2018) dan menewaskan setidaknya delapan orang. Suriah, Rusia, dan Iran beralasan, mereka harus menyingkirkan kelompok teroris itu dari Idlib.
Sekutu Rusia di Timur Tengah, Turki, belum mengambil sikap terkait serangan ini. Namun, seperti diketahui, Turki pernah membiayai dan mengorganisasi kelompok pemberontak di Idlib. Turki juga pernah menyerang kota Afrin, kota di perbatasan Turki-Suriah, awal tahun 2017 dengan alasan memburu kelompok teroris.
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley mengatakan, Dewan Keamanan (DK) akan membahas situasi di Idlib terkini pada Jumat besok. Meskipun AS saat ini menjadi Presiden DK, tidak berarti Rusia tak bisa memveto keputusan DK.
Sekitar tiga juta orang tinggal di Provinsi Idlib, termasuk lebih dari satu juta orang yang mengungsi dari tempat lain di Suriah ke Idlib. Ratusan ribu orang meninggal selama perang saudara berkecamuk sejak 2011. Dan, Idlib menjadi medan terakhir pertempuran loyalis Assad dan kelompok pemberontak.
Pada 9 Agustus 2018, pasukan pemerintah menyebarkan pamflet di Provinsi Idlib. Dalam selebaran itu, pemerintah meminta agar kelompok pemberontak menyerah.
Kelompok jihadis aliansi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dalam beberapa tahun terakhir menguasai Provinsi Idlib. Pada 22 Agustus 2018, pemimpin HTS, Abu Mohamed al-Jolani, memperingatkan faksi pemberontak saingan di Idlib untuk tidak ambil bagian dalam pembicaraan apa pun tentang penyerahan.
Pada 24 Agustus, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu memperingatkan bahwa menggunakan solusi militer di Idlib ”akan menyebabkan bencana”. Namun, Menlu Rusia Sergei Lavrov mendesak Barat untuk tidak menghalangi ”operasi antiteror” di Idlib.
Hubungan yang merenggang dengan AS, serta melemahnya perekonomian Turki, dimanfaatkan oleh Rusia agar Turki tidak menghalangi serangan ini. Namun, Cavusoglu berbicara dengan Menlu AS Mike Pompeo dan sepakat menyatakan bahwa serangan militer di Idlib akan menjadi ”eskalasi yang tidak dapat diterima dan sembrono”.
Serangan ini menegaskan dukungan sepenuh hati Rusia kepada Presiden Assad, yang bertekad mengendalikan seluruh wilayah negara. Untuk itu, tak ada cara lain kecuali memberantas habis seluruh kelompok oposisi dan pemberontak.