Tiga bulan berlalu sejak Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Namun, upaya denuklirisasi masih belum jelas.
Trump dan Kim melakukan pertemuan bersejarah pada 12 Juni di Singapura. Untuk pertama kalinya, Presiden AS bertemu dengan Pemimpin Korut. Apa yang terjadi di Singapura itu bisa dikatakan sekaligus mengakhiri kebekuan lebih dari enam dekade antara Korut dan AS setelah Perang Korea 1950-1953.
Namun, hingga September, belum ada kemajuan yang berarti dalam denuklirisasi yang telah disepakati oleh kedua pemimpin. Bahkan, pada Agustus lalu, rencana perjalanan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Pyongyang dibatalkan oleh Trump.
Sejumlah laporan menyebutkan, pembatalan dilakukan Trump sebagai respons terhadap surat dari pejabat tinggi Korut yang dekat dengan Kim. Surat ini berisikan kemarahan Korut karena AS dinilai tidak menunjukkan kesungguhan niat untuk menandatangani perjanjian perdamaian.
Perang Korea yang tembak-menembaknya berakhir pada 1953 memang belum tuntas secara resmi. Konflik berhenti hanya karena kesepakatan gencatan senjata, bukan karena perjanjian damai yang kokoh. Korut menginginkan ada perjanjian perdamaian di antara pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Korea. Hanya dengan cara ini Korut bisa merasa aman, tidak terancam diserang secara tiba-tiba oleh kubu AS.
Akan tetapi, Korut kecewa karena sejauh ini AS tidak memperlihatkan itikad untuk menghasilkan perjanjian damai. Washington hanya selalu mendesak Korut agar segera menyerahkan seluruh senjata nuklir terlebih dahulu sebelum pembahasan perjanjian damai berlangsung.
Kebuntuan akibat perbedaan pandangan antara AS dan Korut ini tidak bisa dibiarkan. Jika tak segera diatasi, bukan tidak mungkin, pertemuan di Singapura hanya akan dikenang sebagai peristiwa bersejarah mempertemukan pertama kalinya Presiden AS dengan Pemimpin Korut, tetapi tak menghasilkan kontribusi konkret apa pun bagi perdamaian di Semenanjung Korea.
Karena itu, rencana pertemuan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dengan Kim pada 18 September 2018 di Pyongyang, sebagaimana diberitakan harian ini, patut disambut gembira. Hal itu menjadi sinyal bahwa Kim ingin menunjukkan dirinya serius untuk mewujudkan denuklirisasi.
Jika terwujud, pertemuan di Pyongyang akan menjadi yang ketiga di antara Kim dan Moon. Selama ini, dalam perkembangan positif di Semenanjung Korea, peran Seoul cukup besar. Sebelum Trump bertemu Kim, Presiden Korsel mengawalinya lewat pertemuan dengan Pemimpin Korut. Bisa dikatakan, Korsel menunjukkan itikad kuat untuk mewujudkan perdamaian abadi di Semenanjung Korea. Hal ini sejalan dengan pernyataan Moon dalam wawancara tertulis dengan Kompas, Jumat (7/9/2018), bahwa negaranya ingin mempercepat proses denuklirisasi sampai akhir tahun 2018 agar tak kembali ke situasi sebelumnya.
Sebagian besar warga dunia juga menginginkan momentum positif yang sedang terjadi di Semenanjung Korea ini dijaga.