Utang Vs Anggaran Kesehatan
Pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Parlemen, 16 Agustus 2018, ditanggapi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Topik pidato Zulkifli yang direspons adalah soal rasio utang Indonesia yang dinilai tak aman dibandingkan dengan dana desa dan anggaran kesehatan.
Respons Sri Mulyani secara khusus diungkapkan melalui akun Facebook resminya. Dalam penjelasannya, Sri Mulyani mengungkapkan jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp 117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan Rp 25,6 triliun. Jadi, perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan 4,57 kali lipat. Pada 2018, pembayaran pokok utang Rp 396 triliun, sedangkan anggaran kesehatan Rp 107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya, rasio yang baru ini sudah menurun dalam sembilan tahun sebesar 19,4 persen.
Bahkan, tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp 122 triliun atau 4,77 kali anggaran 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tetapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Kesehatan dan Keluarga Berencana.
Pada tahun politik, pernyataan ketua MPR bernada kritik di atas dianggap hal yang wajar sebagai narasi politik kontestasi menjelang Pilpres 2019. Namun, membandingkan pembayaran utang dengan anggaran kesehatan bisa menimbulkan bias dan cenderung menyesatkan jika tak dilihat dalam perspektif lebih luas, mengacu pada best practice di negara lain dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi.
Membandingkan pembayaran utang dengan anggaran kesehatan menyesatkan dalam dua dimensi, yakni seolah bahwa kita berutang hanya untuk membiayai anggaran kesehatan dan utang kita meningkat melebihi kenaikan anggaran kesehatan.
Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB ) dan tingkat per kapita tahun 2016, Indonesia menjadi salah satu negara paling rendah nilainya. Utang pemerintah memang meningkat. Namun, jika dilihat perbandingannya dengan PDB, utang Indonesia masih tetap terkendali. Rasio utang Indonesia terhadap PDB pada 2016 tercatat 28 persen, Thailand 42 persen, Filipina 29 persen, Malaysia 56 persen, Vietnam 62 persen, Jepang 239 persen, dan AS 107 persen. Utang per kapita pada tahun yang sama , Indonesia 1.004 dollar AS, Thailand (2.460 dollar AS), Filipina (984), Malaysia (5.272), Vietnam (2.459), Jepang (93.095), dan AS (61.658). PDB per kapita pada 2016 setiap negara: Indonesia 3.604 dollar AS, Thailand (5.899), Filipina (2.924), Malaysia (9.360), Vietnam (2.173), Jepang (38.917), dan AS (57.436). Indonesia dengan defisit fiskal yang rendah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi. Dengan kata lain, tambahan utang jadi lebih kecil jika dibandingkan tambahan manfaat yang diperoleh. Saat ini lima lembaga pemeringkat kredit internasional (Fitch, Moody’s, R & I, JCRA, dan Standard & Poor’s) telah menggolongkan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade). Hal ini berarti Indonesia dianggap punya kemampuan bayar yang tinggi dengan risiko gagal bayar sangat rendah.
Paradoks kemiskinan
Prof Rhenald Kasali menulis di Kompas.com (31/8/2018, ”Orang-orang Kaya yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit”) soal bagaimana kaum superkaya memaknai arti kemiskinan. Sama seperti politisi-politisi kaya Indonesia yang menjual kemelaratan dan ”penderitaan rakyat” sewaktu kampanye. Mengutip buku Homo Deus yang ditulis Profesor Yuval Noah Harari—A Brief History of Tomorrow, yang mengingatkan saat negara-negara terfokus menanggulangi kemiskinan, kita menemukan pembunuh terbesar umat manusia. Bukan lagi kurang gizi, penyakit menular, atau terorisme, melainkan gula.
Ada paradoks antara kurang makan yang mengakibatkan kurang gizi dan makan terlalu banyak yang mengakibatkan diabetes dan obesitas. Di Indonesia, dengan program dana desa, kita menyaksikan telah ada lebih dari 100.000 kilometer jalan desa. Penyakit-penyakit menular pun cepat diberantas. Namun, tiga pembunuh terbesar manusia Indonesia menurut survei Balitbang Kementerian Kesehatan adalah diabetes, stroke, dan penyakit jantung. Ketiganya konon banyak diderita kelompok kaya. Bukan kaum miskin.
Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya.
Data BPJS Kesehatan 2014-2016 menunjukkan, kasus rawat inap peserta non-PBI (Penerima Bantuan Iuran) jauh lebih tinggi dibandingkan peserta PBI. Hal ini berdampak pada pengeluaran biaya pelayanan kesehatan peserta non-PBI juga jauh lebih tinggi ketimbang PBI. Pengeluaran biaya penyakit katastropik juga menunjukkan pola yang sama, yaitu peserta non-PBI menggunakan biaya katastropik jauh lebih tinggi dibandingkan peserta PBI.
Data menunjukkan bahwa kategori peserta non-PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) merupakan bagian terbesar dari peserta BPJS Kesehatan (90 persen), terutama yang berasal dari peserta PBI sebesar 106.956.525 jiwa per 13 Januari 2017 dan juga memberikan kontribusi iuran terbesar (89 persen) per tahun 2016. Di lain pihak, rasio klaim yang dihasilkan oleh PBPU, yaitu beban jaminan kesehatan Rp 16,67 triliun dibandingkan iuran Rp 5,918 triliun (281,5 persen) atau menghasilkan defisit Rp 10,75 triliun. Ini jauh lebih besar dibandingkan rasio klaim pada non-PBPU, yaitu beban jaminan kesehatan Rp 40,40 triliun dibandingkan pendapatan iuran non-PBPU Rp 48,10 triliun (83,9 persen) atau menghasilkan surplus sebesar Rp 7,70 triliun.
Permasalahan yang menjadi ciri khas peserta kategori PBPU atau peserta mandiri adalah kecenderungan bahwa peserta hanya mendaftar menjadi peserta JKN pada saat merasa sakit dan memerlukan layanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik untuk keperluan rawat inap, melahirkan, maupun penyakit katastropik lainnya. Kondisi ini tergolong sebagai adverse selection yang merupakan bentuk moral hazard dalam kepesertaan program JKN dari kategori peserta PBPU.
Para pejabat tinggi negara memiliki jaminan kesehatan tambahan yang iurannya jauh lebih besar. Pada 2014, peraturan presiden yang mengatur soal jaminan kesehatan pejabat tinggi—yang ketika itu didanai dengan iuran Rp 1,7 juta per pejabat per bulan—dicabut presiden karena protes publik. Akan tetapi, jaminan masih diteruskan dengan peraturan menteri keuangan. Bandingkan dengan besar iuran untuk penduduk miskin dalam bentuk PBI Rp 23.000 per orang per bulan untuk 92,4 juta orang.
Di negara lain ada cost sharing dari peserta berupa skema iuran tambahan selain iuran wajib. Iuran tambahan wajib dibayar oleh masyarakat apabila mereka melakukan kunjungan ke dokter, rawat inap, dan menebus obat. Di Jerman, iuran tambahan berlaku 10 euro per kuartal kunjungan dokter, 10 euro tiap rawat inap per hari dengan maksimal 280 euro per tahun dan maksimal 10 euro untuk resep (Hasbullah Thabrany, 2015).
Komitmen dana kesehatan
Data menunjukkan pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik tahun 2014 berjumlah 7.055.226 kasus dengan pembiayaan Rp 10,637 triliun (37,32 persen) terhadap total biaya pelayanan kesehatan rujukan. Tahun 2015 sejumlah 10.304.232 kasus dengan pembiayaan Rp 13,887 triliun. Tahun 2016 sejumlah 9.861.378 kasus dengan Rp 12.758 triliun (24,81 persen) terhadap total biaya pelayanan kesehatan rujukan. Besarnya jumlah kasus penyakit katastropik yang ditanggung program JKN-KIS memberi sumbangan yang tidak sedikit pada pencegahan terjadinya kemiskinan baru.
Perkembangan cakupan kepesertaan UHC (Universal Health Coverage) BPJS Kesehatan menunjukkan angka 133,4 juta jiwa pada 2014, 156,7 juta tahun 2015, 171,9 juta tahun 2016, dan posisi terakhir berdasarkan data BPJS per 1 September 2018 jumlah peserta sebesar 201,6 juta.
Cakupan kepesertaan sejumlah tersebut dicapai dalam waktu empat tahun sejak awal beroperasinya BPJS Kesehatan dalam rangka menuju UHC 2014-2019 untuk seluruh penduduk Indonesia yang kini 254,9 juta jiwa (Susenas BPS 2015). Jerman dengan jumlah penduduk 80,6 juta jiwa mencapai 85 persen UHC selama 127 tahun, Belgia berpenduduk 11,4 juta jiwa mencapai 100 persen UHC dalam waktu 118 tahun, Austria 8,7 juta jiwa mencapai 99 persen UHC dalam waktu 79 tahun. Luksemburg mencapai UHC dalam 72 tahun, Kosta Rika 48 tahun, Jepang 36 tahun, dan Korea Selatan mencapai UHC 26 tahun untuk 97,25 persen jumlah penduduk sebesar 50,9 juta jiwa.
Untuk memahami komitmen UHC, data Bank Dunia 2018 dapat memberikan gambaran obyektif. Komitmen pemerintah dapat diukur dengan persentase dana kesehatan yang bersumber publik. Pada tahun 2015, kontribusi dana publik Indonesia hanya 3,35 persen PDB. China 5,32 persen, Malaysia 4 persen, Thailand 3,77 persen, dan India 3,89 persen.
Ukuran yang paling penting adalah proporsi belanja kesehatan yang jadi beban rumah tangga (out of pocket expenditure) terhadap keseluruhan biaya kesehatan. Tahun 2015, beban rumah tangga Indonesia menempati urutan kedua (48,30 persen) setelah India (65,66 persen), Vietnam (43,48 persen), Malaysia (36,67 persen), China (32,39 persen), dan terendah Thailand (11,77 persen).
Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan anggaran kesehatan 5 persen sesuai amanat undang-undang untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan serta penguatan penanganan stunting.
Perbaikan yang dilakukan antara lain peningkatan kualitas dan ketersediaan tenaga kesehatan; peningkatan efektivitas bantuan operasional kesehatan dan bantuan operasional Keluarga Berencana; penguatan program promotif dan preventif kesehatan. Perbaikan akses berupa perluasan PBI menjadi 96,8 juta jiwa pada tahun 2019, diikuti peningkatan ketepatan sasaran, perbaikan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan penguatan upaya penanganan stunting.
Mengatasi defisit JKN yang semakin besar dapat dilakukan dengan bauran kebijakan. Di antaranya menaikkan iuran JKN-KIS pada kategori non-PBI dengan perhitungan aktuarial dan bersifat progresif agar sesuai dengan keekonomian biaya pelayanan kesehatan (Pasal 19 UU No 40/2004 tentang SJSN). Juga cost sharing dengan peserta, khususnya penyakit katastropik, pada kelompok masyarakat mampu atau PBPU. Urun biaya tidak diterapkan pada PBI yang memiliki karakteristik rasio klaim rendah. Urun biaya bisa menekan moral hazard pada PBPU. Urun biaya berfungsi sebagai iuran tambahan bagi peserta (Pasal 22 Ayat 2 UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Selain itu, pembagian beban biaya pelayanan kesehatan yang beririsan dengan program BPJS Ketenagakerjaan (akibat kecelakaan kerja), dengan PT Jasa Raharja (akibat kecelakaan angkutan umum), dan dengan Asuransi Jasindo (bagi program asuransi nelayan Kementerian Kelautan dan Perikanan). Tak kalah penting, meningkatkan edukasi dan penegakan hukum disiplin pembayaran iuran sebagaimana diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dari usul tersebut, biaya manfaat pelayanan kesehatan peserta JKN akan sesuai dengan Pasal 19 hingga Pasal 23 UU No 40/2004 tentang SJSN, dan turun sedikitnya Rp 5 triliun setahun.
Gagasan menutup defisit dari cukai rokok dan peningkatan kontribusi pemerintah daerah juga perlu dipertimbangkan. Juga mendorong langkah-langkah imperatif dalam jangka pendek agar 30 juta karyawan yang tergolong PPU mendaftar dan jadi peserta aktif agar kualitas bauran peserta JKN-KIS menjadi lebih baik.
Irvan Rahardjo Pengamat Kebijakan Perasuransian dan Jaminan Sosial