Politik Alter Ego
Those who think sport has nothing to do with politics are living in a dream world. (Lord Carrington, 1980, Menteri Luar Negeri Inggris dalam pemerintahan PM Margaret Thatcher)
Atmosfer Indonesia beberapa waktu terakhir tidak selalu cerah. Langitnya diwarnai noktah kerekatan masyarakat yang meregang diterpa isu-isu SARA. Awannya disisipi mendung kekhawatiran aksi teror bom bunuh diri.
Pelanginya kadang diburamkan oleh adu sinis dunia virtual yang terpolarisasi dukungan politik. Semua itu sirna dalam dua pekan, sejak 18 Agustus hingga 2 September.
Selama Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang itu, di langit hanya ada Merah-Putih. Senyum emas pewushu Lindswell Kwok, aksi telanjang dada pebulu tangkis Jonatan Christie tidak hanya menjadi gestur keberhasilan mereka sendiri menjadi juara.
Kita mengambil medali emas mereka sebagai sukses bersama. Sebagai sukses sebuah bangsa.
Puncaknya, pelukan erat pesilat Hanifan Yudani terhadap Presiden Jokowi sekaligus terhadap politikus Prabowo Subianto tak lagi dilihat sebagai ungkapan kelegaan dan kebahagiaan pribadi Hanifan dalam menuntaskan tugas.
Ratusan juta orang melihatnya sebagai rangkulan yang menyatukan kepulauan ini, seperti yang dilakukan Soekarno, Hatta, dan bapak bangsa yang lain, 73 tahun lampau.
Lewat berbagai aksi para atlet dalam ajang olahraga akbar (sport mega-event, SME) tersebut, para penonton bisa mengidentifikasi diri mereka kembali: kita adalah Indonesia.
Asian Games (AG) 2018 adalah contoh kekuatan olahraga sebagai agen perubahan sosial, pengubah perilaku masyarakat. Walau pertanyaan yang kerap timbul adalah, seberapa lama?
Hebatnya, tidak hanya sebuah kemenangan yang bisa menumbuhkan perasaan nyaman, bangga, dan optimistis. Para sosiolog dan psikolog olahraga menyebut rasa itu feel good factor. Kenyataannya, kekalahan pun tetap bisa meluapkan perasaan itu.
Mereka yang menyaksikan langsung beberapa pertandingan tim hoki Indonesia sangat mungkin tak memedulikan kekalahan. Indonesia memang gagal meraih medali.
Namun, aksi para pemain dalam beberapa pertandingan tetap menumbuhkan feel good factor tersebut. Sejumlah atlet jatuh berkali-kali, tetapi bangkit dan berlari lagi; kepala sobek akibat benturan, lalu ditangani tim medis, kemudian kembali bertanding bak singa terluka; kebobolan sekian gol, tetapi tak surut menyerang.
Bagi penonton, epik pehoki Merah Putih itu adalah sendratari dari kidung romantisisme olahraga yang dilantunkan Pierre de Coubertin, lebih dari 100 tahun lampau.
Kata Coubertin, ”hal yang penting dalam hidup bukanlah kejayaan, tetapi perjuangan”. Hal yang mendasar (dalam hidup) bukanlah apakah kita mampu menaklukkan, tetapi apakah kita bisa bertarung dengan gagah berani.
Melalui puncaknya yang berupa pertandingan dan perlombaan, olahraga tidak lagi sekadar tontonan.
Dalam pertandingan yang kita tonton, kita dengar atau baca beritanya, kita menitipkan kebutuhan akan pentingnya rasa dihormati, perlunya berprestasi, pentingnya harapan, dan berbagai human needs lainnya yang panjang lebar dijabarkan psikolog sosial Abraham Maslow.
Dalam diri atlet yang bertarung, kita tumpangkan ”diri kita yang lain”: gambaran diri kita yang ideal, yang dalam alam bawah sadar ingin sekali kita capai. Yang, bisa jadi, mungkin saja kita mampu menjadi demikian.
Atlet adalah diri kita yang sebagai Superman, sebagai Diponegoro, sebagai Natty Bumppo si mata elang dalam The Last of the Mohicans. Dalam olahraga dan pertandingannya, atlet menjadi alter ego bagi penontonnya secara individu dan secara komunal.
Kekuatan olahraga tersebut telah lama dilihat banyak pemimpin negara, pemerintah, dan politikus. Gerakan Olimpiade (IOC) dengan segala organisasi olahraga yang dipayungi memang terus berusaha menjauhkan olahraga dari politik. Sia-sia.
Olahraga sejak dulu tetap menjadi alat mumpuni yang digunakan penguasa untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan—bahkan banyak dari tujuan tersebut tak terkait langsung dengan olahraga itu sendiri.
Nelson Mandela, pejuang antirasialisme yang kemudian menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan pascapolitik apartheid, termasuk yang menggunakan olahraga untuk tujuan politiknya, yaitu menyatukan ras kulit hitam dan putih di negerinya. Dialah tokoh sekaligus politikus pertama yang menerima penghargaan olahraga dunia Laureus pada 2000.
Laureus, yang didukung industri raksasa seperti Mercedes-Benz, Allianz, MUFG, dan sebagainya, adalah gerakan global yang punya misi menggunakan kekuatan olahraga untuk menyatukan masyarakat. Dalam pidatonya di Monako saat menerima penghargaan itu, Mandela tak habis-habisnya memuji olahraga.
”Olahraga punya kekuatan untuk mengubah dunia. Dia punya daya untuk menginspirasi, untuk menyatukan masyarakat, sesuatu yang sulit dilakukan oleh bidang lain. Olahraga berbicara kepada kaum muda dengan bahasa yang mereka pahami. Olahraga mampu menciptakan harapan ketika yang kita punya hanya keputusasaan. Olahraga jauh lebih adidaya dibandingkan pemerintah dalam merobohkan tembok-tembok rasialisme (SARA). Olahraga menertawakan segala bentuk diskriminasi,” kata Mandela.
Banyak negara menggunakan olahraga dalam membangun prestise internasional, seperti menjadi tuan rumah SME semacam Olimpiade. Olahraga juga digunakan untuk membentuk identitas nasional seperti yang dilakukan Mandela.
Pada tahun 1962, Soekarno agaknya menggunakan AG untuk dua tujuan tersebut. Untuk identitas nasional sekaligus prestise internasional yang amat dibutuhkan.
Olahraga juga merupakan alat politik untuk tujuan pembangunan domestik. Menjelang Olimpiade London 2012, misalnya, Perdana Menteri Inggris ketika itu, Tony Blair, memuji, olahraga (di Inggris) adalah wujud kebijakan yang propendidikan, prokesehatan, antikejahatan, dan antinarkoba.
Pendek kata, bagi banyak politikus dan para pemimpin negara dan pemerintahan, olahraga adalah alat politik untuk mencapai tujuan perubahan: secara kesan ataupun peningkatan riil kualitas manusia dan pembangunan fisik yang menyertainya: kesehatan, ekonomi, pertahanan, dan sebagainya. Olahraga adalah alat politik alter ego.
Olahraga untuk perubahan
Kini, kita menanti perubahan pascasukses dan sukacita di AG 2018. Masyarakat Indonesia pernah merasakan feel good factor seperti ini, tujuh tahun lampau, saat sukses penyelenggaraan dan prestasi di SEA Games (SEAG) 2011.
SEAG 2011, yang juga digelar di Jakarta-Palembang, didahului cuaca suram. Indonesia selalu terpuruk di ajang itu sebelum-sebelumnya. Pembangunan venue tersendat dan selalu dihadang masalah hingga pekan-pekan terakhir. Persiapan atlet jauh dari mulus. Uang saku atlet tak kunjung diterima, dana uji coba tanding tersendat, dan segala macam hambatan lainnya.
Sukses prestasi yang ditunjukkan para atlet yang berlaga—bak tak ada lagi hari esok—mengubah suasana batin semua orang. Seorang eksekutif di Jakarta menjelaskan, kejayaan di SME itu membuat rasa optimistis memenuhi jiwanya. Menjadikannya riang dalam bekerja. Puluhan dan mungkin ratusan juta orang merasakan hal yang sama.
Hari dan pekan berlalu. Lalu, Indonesia kembali pada geliatnya yang sama. Jalanan tetap saja macet dengan pengemudi yang cekatan mengambil peluang melanggar aturan. Produktivitas kita tetap ditandai oleh impor yang melebihi ekspor. Puskesmas dan rumah sakit selalu penuh dengan keluhan pasien yang beragam. Jumlah anak stunting tetap tinggi.
Tidak ada yang salah jika secara politis ada banyak pihak, termasuk para petinggi, yang ingin menggelar Olimpiade di negeri ini pada 2032. Ini adalah highest profiled SME yang tidak lagi cuma diincar negara-negara maju dan kaya, juga oleh banyak negara berpendapatan menengah.
Namun, patut dikritisi, dampak jangka panjang apa yang bisa diberikan oleh ajang selama kurang dari tiga pekan tersebut dengan prediksi biaya sekian triliun rupiah bagi pembangunan riil sebuah negeri?
London 2012 adalah ajang sukses yang mengukuhkan prestise internasional Inggris, meneguhkan dan memperkokoh posisi bangsa itu sebagai pionir sekaligus melting pot peradaban.
Sebaliknya, Piala Dunia dan Olimpiade di Brasil tampaknya tetap menyisakan persoalan ekonomi dan sosial—tingkat kejahatan, kesenjangan—yang harus terus diselesaikan.
Adalah sebuah keharusan bagi setiap negara menumbuhkan olahraga prestasi tinggi, high performance sports, dengan para atlet elitenya. Memeliharanya tidak bisa dinomorduakan.
Atlet adalah agen penginspirasi perubahan. Kejuaraan adalah medianya, sekaligus lahan penyemainya.
Gerakan Olimpiade dibangun tidak dengan maksud mendirikan sebuah menara gading. Ujar Presiden IOC kala itu, Jacques Rogge, dalam pembukaan Olimpiade 2012, olahraga prestasi yang melibatkan para atlet elite itu digelar untuk merayakan kemanusiaan. Olahraga prestasi adalah cermin sekaligus penginspirasi pembangunan manusia.
Artinya, olahraga prestasi dibangun bukan untuk olahraga prestasi itu sendiri. Atlet elite pun ada bukan untuk menjadikan mereka berada dalam dunia yang terpisah dari masyarakatnya.
Alangkah ketinggalannya sebuah negeri jika mengerahkan sedemikian besar sumber daya untuk berhenti hanya pada pembentukan dan pemeliharaan atlet elite.
Sudah menjadi suratan alam bahwa atlet elite adalah jenis manusia yang istimewa, special breed, yang jumlahnya tidak akan pernah banyak, seberapa pun keras kita berusaha. Contohnya, atlet Indonesia dalam kontingen AG berjumlah 900-an orang. Itu hanya 0,00036 persen dari populasi penduduk Indonesia.
China, satu-satunya negara yang berani melakukan ”pemaksaan” dalam pembinaan olahraga prestasi sejak dini lewat program Juguo Tizhi, pun tak membuat persentase populasi atlet elite negeri itu besar terhadap total populasi negeri.
Juguo Tizhi adalah program masif, dimulai dari pencarian anak-anak berbakat olahraga yang langsung wajib dimasukkan ke pemusatan pelatihan selama bertahun-tahun untuk mencetak atlet kelas dunia. Tak ada kesukarelaan, tak ada tawar-menawar.
Hasilnya, jumlah atlet elite China berprestasi dunia ada di kisaran 3.200-an orang. Itu cuma 0,00023 persen populasi. Jumlah atlet profesionalnya—yang kerjanya hanya berlatih dan bertanding—ada 46.700-an atlet atau 0,0034 persen populasi.
Karena itulah, para pemimpin banyak negara maju sadar: olahraga prestasi tinggi, atlet elite, dan SME—yang hanya bisa dibentuk dengan syarat mutlak biaya besar—harus dimanfaatkan sebagai alat politik alter ego untuk tujuan yang lebih besar. Mereka menjadi stimulan feel good factor agar masyarakat dapat lebih mudah didorong dan diubah—juga lewat olahraga sebagai alat—untuk mencapai tujuan domestik.
Sejarah memperlihatkan, Uni Soviet, China, dan negara-negara sosialis lainnya menggunakan olahraga yang diterapkan secara massal—olahraga masyarakat, pendidikan jasmani, dan kegiatan aktivitas fisik dalam lingkungan—untuk membangun masyarakat yang bugar. Tujuannya adalah agar produktivitas mereka tinggi.
Dengan industri yang lebih unggul, ambisi utopis bahwa paham komunis lebih bagus dibanding kapitalisme bakal terbukti.
Negara-negara kapitalisme pun setali tiga uang. Awal 1950-an, Presiden AS Dwight D Eisenhower tak terlalu risau akan fakta AS tak lagi juara umum untuk pertama kalinya di Olimpiade 1952. Yang dia khawatirkan adalah fakta buruknya kualitas kebugaran calon taruna dan prajurit angkatan bersenjata AS. Kualitas kebugaran fisik remaja-remaja AS ternyata juga kalah dibandingkan para remaja di Eropa Barat.
Eisenhower mengalkulasi, keadaan itu bakal mengancam masa depan AS. Jika pecah perang melawan Uni Soviet, prajurit AS akan kedodoran. AS kalah dan tamat.
Kalaupun tak ada perang, masyarakat ekonomi dan industri AS juga bakal kalah produktif dibandingkan Eropa Barat. Itu bisa membuat pendulum kendali ekonomi global berpindah ke Eropa. Maka, penguasa AS pun meluncurkan berbagai program untuk mendongkrak aktivitas fisik dan olahraga dalam masyarakat.
Penguasa AS pun meluncurkan berbagai program untuk mendongkrak aktivitas fisik dan olahraga dalam masyarakat.
Pengalaman negara-negara itu membuat dampak inspiratif SME dan kebijakan politik olahraga domestik menjadi siklus yang saling menunjang. SME menginspirasi bergeraknya masyarakat dalam beraktivitas fisik dan olahraga. Ada trickle down effect di sana.
Lalu, bergeraknya olahraga pendidikan, olahraga masyarakat, aktivitas fisik, membentuk fondasi yang kokoh, yang memungkinkan bibit-bibit atlet prestasi muncul ke permukaan dengan sendirinya.
Selain itu, tujuan politik pemerintah—yang tak terkait dengan olahraga—juga tercapai: apakah itu terkait dengan semakin kokohnya potensi pertahanan militer, produktivitas ekonomi, dan sebagainya.
Perhatikanlah kontingen Iran dalam AG yang lalu. Negeri Teluk Persia itu memperoleh 20 emas, 20 perak, dan 22 perunggu.
Mayoritas medali Iran diperoleh dari cabang-cabang olahraga bela diri, yaitu 14 emas (70 persen), 13 perak (65 persen), dan 13 perunggu (60 persen). Iran mengandalkan gulat (5-0-3), wushu (2-4-0), karate (2-3-3), taekwondo (2-3-2), kabaddi (2-0-0), kurash (1-1-2), anggar (0-1-1), judo (0-1-1), dan bahkan bela diri negeri-negeri Melayu yang baru kali ini dipentaskan: pencak silat (1 perunggu).
Sejak digulingkannya rezim monarki Persia oleh pelajar, mahasiswa, dan ulama pada 1979, Iran adalah negara yang senantiasa harus bersiap perang.
Israel pernah mengebom fasilitas riset nuklirnya, Irak mengajaknya berperang selama delapan tahun. Kemudian, pascateror Menara Kembar WTC di New York, 2001, Iran harus siap menghadapi ancaman berkelanjutan dari AS yang menyebutnya sebagai salah satu poros kejahatan, Axis of Evil.
Merujuk hal-hal tersebut, agaknya bukanlah sebuah kebetulan jika cabang-cabang bela diri sangat berkembang dan maju di Iran. Prestasi cabang itu di tingkat Asia dan global juga pasti tidak serta-merta mewujud. Patut diduga, Pemerintah Iran amat mendukung perkembangan olahraga bela diri secara luas untuk tujuan keamanan negeri, bukan hanya prestasi.
Tantangan Indonesia
Bagaimana Indonesia pasca-AG 2018? Apakah tidak ada tantangan jangka panjang yang bisa menggunakan olahraga sebagai alat politik? Apakah feel good factor hasil sukses AG akan berlalu begitu saja?
Indonesia punya banyak persoalan yang dapat dibenahi oleh pemerintah dengan olahraga sebagai alat politiknya. Presiden Jokowi adalah sosok pragmatis yang yakin, kemajuan negeri hanya bisa dicapai dengan bekerja. ”Kerja, kerja, kerja”, begitu sering dia berucap.
Semua visi itu benar. Hanya dengan bekerja Indonesia tak lagi bergantung pada impor beras, garam, kedelai, dan bahan pangan lain. Hanya dengan bekerja, masyarakat Indonesia dapat membuat barang ekonomi untuk ekspor yang menghasilkan devisa.
Namun, kerja yang produktif dan kompetitif perlu satu syarat mendasar: manusia produktif adalah yang bugar, tidak mudah sakit, punya gaya hidup sehat, memiliki etos positif, patuh pada aturan main, kreatif, dan terampil.
Pemerintah sekarang pun punya program bela negara. Ini bukan kebijakan politik yang baru. Banyak negara memilikinya. Dari Korea Selatan hingga Singapura. Dari Kanada hingga Jepang.
Manusia produktif adalah yang bugar, tidak mudah sakit, punya gaya hidup sehat, memiliki etos positif, patuh pada aturan main, kreatif, dan terampil.
Lagi-lagi, seperti yang dilakukan AS sejak 1950-an, kebijakan ini tak harus menunggu warga negara berangkat dewasa karena jasmani dan karakter yang kuat sudah dibentuk secara sistematis sejak kecil lewat pendidikan jasmani dan kegiatan olahraga dalam masyarakat.
Indonesia juga punya banyak pekerjaan rumah di bidang kesehatan. Dalam halaman Facebook-nya, seorang kawan yang baru mengikuti seminar kesehatan memuat foto yang merekam diagram presentasi pembicara.
Diagram itu memaparkan hasil penelitian yang menunjukkan, 47,7 persen anak di Indonesia mengasup sarapan yang belum memenuhi kebutuhan energi minimal dan 66,8 persen lainnya mengasup sarapan dengan mutu gizi yang rendah.
Jika merujuk pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang digelar Badan Statistik Nasional, asupan rata-rata orang Indonesia juga belum menggembirakan. Mengulik data dalam hasil survei itu, bisa dikatakan, dalam sepekan rata-rata orang mengonsumsi tak sampai dua butir telur, daging sapi 8 gram, dan daging ayam 98 gram.
Padahal, Indonesia punya target menghapus segala bentuk kekurangan gizi pada 2030. Apakah kemiskinan yang menjadi akar permasalahan gizi ini?
Nanti dulu. Lihat saja lebih dalam hasil Susenas itu. Untuk sejumput pangan protein di atas, rata-rata orang Indonesia mengonsumsi 16 batang rokok dalam kurun yang sama.
Fakta selanjutnya, pengeluaran terbesar rata-rata orang Indonesia untuk pangan adalah membeli makanan dan minuman jadi. Ini tentu termasuk minuman berkarbonasi dalam botol, penganan-penganan kecil ber-MSG di dalam kantong-kantong plastik atau kertas aluminium, dan jajan di rumah makan cepat saji.
Pengeluaran kedua terbesar adalah untuk beras, dan ketiga—peraih medali perunggu jika dilombakan dalam olahraga—adalah rokok.
Oleh karena itu, persoalan ketercukupan gizi di Indonesia amat sangat mungkin bukan didasarkan pada kemiskinan, tetapi kebiasaan dan gaya hidup. Mengapa tidak menggunakan olahraga sebagai alat politik dalam mengubah kebiasaan masyarakat seperti itu? Tanyakan saja kepada anak-anak yang aktif dalam klub olahraga, bagaimana pola makan mereka.
Anda bakal dapat jawaban: orangtua membiasakan mereka meminum susu, telur rebus, dan sarapan berkarbohidrat seusai latihan. Mereka dibiasakan menghindari minuman berkarbonasi, makanan gorengan, dan mi instan.
Jawaban yang sama sangat mungkin Anda peroleh dari para pehobi joging dan lari jarak jauh.
Kata para ahli dan dokter, olahraga adalah cara murah untuk menjaga kesehatan. Lalu, mengapa tak menggunakan instrumen ini untuk menekan terus membengkaknya biaya klaim dalam jaminan kesehatan nasional akibat terus membeludaknya orang yang datang berobat ke puskesmas dan rumah sakit.
Sepatutnya, tujuan-tujuan nasional inilah yang juga dibidik dengan mengambil momentum sukses AG 2018.
Bukankah yang namanya olahraga tak terbatas pada olahraga prestasi? Sukses olahraga prestasi haruslah menginspirasi aktivitas olahraga pada jenjang di bawahnya: olahraga masyarakat dan olahraga di tataran dasar masyarakat (grass root).
Selanjutnya, dua jenjang olahraga di lapisan bawah yang kokoh bakal menyuplai calon-calon olahragawan berprestasi yang jauh lebih baik karena tidak hanya lebih banyak, juga telah memiliki modal kebugaran dan kedisiplinan yang lebih baik.
Di sisi lain, tujuan-tujuan politik pemerintah untuk menghasilkan masyarakat yang lebih berkualitas, kemampuan ekonomi yang lebih kompetitif, dan pertahanan negara yang lebih kuat juga tercapai. Bukankah ini ibarat sekali dayung banyak pulau terlampaui.
Obat ajaib
Jika Pemerintah Indonesia berniat menggunakan olahraga sebagai alat politik alter ego—merekayasa masyarakat untuk tujuan politik, seperti bela negara, menekan pengeluaran BPJS, mencapai target ketercukupan gizi—momentum sukses AG 2018 patut dimanfaatkan.
Hasil riset memperlihatkan, SME tidak hanya menerbitkan feel good factor bagi masyarakat, tapi juga menginspirasi mereka untuk lebih sering berolahraga. Itu kabar baiknya. Kabar yang tak terlalu menggembirakan, faktor rasa nyaman itu tak bertahan lama. Hanya seumur jagung.
Trio ilmuwan dari Sheffield Hallam University, Inggris, Girish Ramchandani, Themis Kokolakakis, dan Richard Coleman, misalnya, menemukan bahwa 57,3 persen responden sangat terdorong untuk lebih giat berolahraga seusai menonton ajang olahraga, termasuk Olimpiade 2012.
Walau riset mereka sayangnya tak menggali, seberapa lama inspirasi itu dapat bertahan.
Namun, pada riset yang lain terhadap lomba massal balap sepeda dan triatlon di Eropa dan Amerika Utara, inspirasi untuk lebih banyak berolahraga itu dapat bertahan selama satu hingga tiga bulan pada para pemula yang ikut mencicipi kejuaraan tersebut.
Hal lain yang harus juga diingat, olahraga ”sekadar” alat. Dia bukan obat ajaib yang serta-merta menyembuhkan segala penyakit. Olahraga bukanlah panacea of all ills, ungkap akademisi Jonathan Brix dalam bukunya, Sport Politics: An Introduction.
Artinya, olahraga dapat dijadikan alat politik dalam mencapai tujuan jika langkah yang diambil tak berhenti pada penerbitan peraturan, pemberian bantuan dana dan alat, atau membuat kebijakan penghargaan jalur prestasi olahraga ke sekolah atau perguruan tinggi negeri.
Aktivitas olahraga dalam masyarakat itu sendiri harus terus dibimbing dari waktu ke waktu lewat penyuluhan, bengkel kerja, peningkatan kompetensi dan ilmu pada pelatih, guru, dan orangtua.
Evaluasi dan pemantauan dengan berbagai survei dan kajian juga perlu digelar dari waktu ke waktu. Jika tidak, bisa jadi tujuan tak tercapai dan olahraga justru menerbitkan persoalan baru.
Mereka mendahulukan dan mengutamakan konsumsi suplemen vitamin, mineral, dan sebagainya dibandingkan berdisiplin pada pola makan bergizi seimbang.
Jika itu terus dibiarkan, mungkin saja yang dihasilkan adalah masyarakat yang ”kecanduan” produk-produk suplemen, bukan masyarakat yang gandrung akan pola makan sehat.
Di atas kertas, aktivitas olahraga mempererat daya rekat sosial—baik dalam keluarga maupun antarkelompok. Namun, dukungan dan harapan dari orangtua atau kelompok sosial terhadap atletnya bisa berubah menjadi glorifikasi kelompok tak terkendali.
Yang muncul adalah karakter atlet, orangtua, pelatih, kelompok yang tidak mau kalah, iri, dan curang. Yang diperoleh bukan lagi nilai-nilai sportivitas.
Indonesia sesungguhnya sudah punya banyak modal. Undang-undang tentang sistem keolahragaan nasional sudah ada, kebijakan yang merangsang generasi muda berolahraga juga punya: seperti program jalur prestasi untuk masuk ke sekolah negeri di mana pun.
Kita punya kementerian yang khusus berfokus pada olahraga. Sarjana dan akademisi ilmu olahraga cukup banyak dihasilkan negeri ini. Dokter olahraga dan ahli gizi olahraga ada meski jumlahnya harus ditambah.
Kini, dengan mengambil momentum AG 2018, alangkah indahnya jika olahraga dapat dimanfaatkan untuk tujuan lebih luas. Tak hanya menyentuh komunitas olahraga prestasi, tetapi juga menjangkau sebanyak mungkin masyarakat.
Alangkah indahnya jika olahraga dapat dimanfaatkan untuk tujuan lebih luas.
Syaratnya, langkah politik alter ego itu haruslah dijalankan secara berkesinambungan, melibatkan sebanyak mungkin pihak, evaluasi yang terus-menerus, dengan orkestrasi yang jelas.
Jika sekadar menjadi proyek atau crash program, politik alter ego tersebut tidak bakal mengubah Clark Kent menjadi Superman, tetapi mengubah dr Jekyll yang pintar menjadi Mr Hyde yang bengis, buas, tak berwelas asih. Ngeri, kan.