Surat Kepada Redaksi
Saran untuk KPU
Berdasarkan pengalaman pribadi selaku mahasiswa pada Pemilu 2014, mengurus formulir A5 itu bertele-tele: pergi ke kelurahan terlebih dahulu, lalu ke rumah petugas yang mengurusi syarat formulir A5, terakhir ke kantor Komisi Pemilihan Umum kota untuk mendapatkan formulir A5.
Saya menyarani KPU agar bekerja sama dengan kampus-kampus atau badan eksekutif mahasiswa (BEM) di setiap kampus. Tujuannya ialah mempermudah mahasiswa perantauan mendapatkan formulir A5.
Cukup sekali datang dan menyerahkan semua syarat administratif, seorang mahasiswa bisa langsung mendapatkan formulir A5 seketika itu juga.
Untuk Pemilu 2019, jangan sampai bertele-tele lagi urusan formulir A5 ini. Jangan pula minim sosialisasi untuk mendapatkannya.
Untuk Pemilu 2019, jangan sampai bertele-tele lagi urusan formulir A5 ini. Jangan pula minim sosialisasi untuk mendapatkannya. Terlebih lagi, April 2019 sebagai bulan pelaksanaan Pemilu 2019 merupakan musim kuliah semester genap tahun akademik 2018/2019.
Demikian saran saya untuk KPU. Atas kemauan KPU mendengarkan saran ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.
CHANDRA ADIPUTRA Jl Pagarsih, Gang Maskardi, RT 001 RW 001 Kelurahan Babakan Tarogong, Kecamatan Bojongloa Kaler, Bandung
Asian Games, Ilham Kaum Muda
Saat Asian Games (AG) IV berlangsung di Jakarta pada 1962, saya baru 17 tahun. Saya menyaksikan sendiri ketika sprinter kita, Moh Sarengat, membuka zaman emas olahraga Indonesia dengan merebut medali emas lari 100 meter dan 110 meter gawang.
Ikut berdiri di pinggir garis akhir lomba balap sepeda TTT (team time trial), saya menyaksikan pebalap Indonesia satu per satu masuk garis akhir—terdiri dari Hendrik Brocks, Hamsyin Rusli, Wahyu Wahdini, dan Frans Tupang—yang berujung pada medali emas. Tak tertahankan mengharu biru hati ini dan, sebagai anak muda, menjadi tergugah rasa nasionalisme di samping rasa penghargaan tinggi kepada Presiden Sukarno yang menginisiasi Indonesia menjadi tuan rumah AG.
Dalam AG XVIII-2018, meski sebagian besar saya tonton melalui pesawat TV, saya melihat perjuangan atlet-atlet Indonesia dan juga para penontonnya.
Suasana hati saya terkenang kembali seperti pada AG IV-1962. Saya selalu ikut meneteskan air mata ketika lagu ”Indonesia Raya” berkumandang sebagai penghormatan pemenang. Arena ini melahirkan pesona, sensasi, bangga, haru, sekaligus memberi inspirasi.
Asian Games patut digarisbawahi bagi generasi muda bahwa suatu prestasi itu tak dicapai secara instan, tetapi harus melalui loro lopo terlebih dahulu. Apalagi tanpa reputasi apa-apa langsung ingin menjadi capres, ibaratnya.
Suasana di dalam arena pertandingan ketika saya ikut terlibat di dalamnya begitu menggugah perasaan. Di sana hanya ada atlet dan para pendukungnya tanpa mempersoalkan asal-usul, etnisitas, ataupun elemen lain. Para atlet berkerudung maupun berkalung salib saling mendukung, jatuh bangun bersama, menyerang bersama. Demi Indonesia Raya.
Dalam era digital yang kebablasan ini suasana yang saya gambarkan di atas itu, kok, tak bisa menggugah perasaan minimal menghargai jerih payah orang lain.
Patut disayangkan kesan nyinyir itu justru datang dari seseorang yang pernah memegang kekuasaan di bidang olahraga dan pemuda.
Komentarnya tak memberi semangat, terutama kepada generasi muda, malah meremehkan pencapaian bangsa ini. Kok, ya nggak ndelok gitok, becermin diri. Ketika ia terlibat mempersiapkan diri di pesta SEA Games saja, hasilnya amburadul (sisa utang, pembelian alat olahraga tak beres, dan seterusnya). Di setiap penampilan—anehnya stasiun TV sudah pada lupa; kasih kesempatan ia tampil—ia bukan mencerahkan, malah menimbulkan kesan: apakah presenternya itu profesional?
Prabowo Subianto saja, sebagai lawan kandidat presiden 2019, di depan TV melantangkan, ”Kalau sudah untuk kepentingan Indonesia, Kita ini adalah satu!” Jangan lupa: Siapa kita ini? INDONESIA!
IGN SUNITO Bintaro, Tangsel, Banten