Tekfin Rentan Risiko
Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan menemukan 227 aplikasi pinjam- meminjam berbasis teknologi informasi tak terdaftar. Mayoritas di antaranya buatan asing dan dari China (Kompas, 28 Juli 2018).
Temuan itu merupakan puncak gunung es. Artinya, masih banyak potensi risiko yang tersimpan di bisnis perusahaan teknologi finansial (tekfin). Bagaimana menepis potensi risiko itu?
Sejauh mana perkembangan perusahaan tekfin dari sisi pemberi pinjaman, jumlah peminjam, dan jumlah pinjaman? Jumlah akumulasi pemberi pinjaman mencapai 123.633 entitas atau meningkat 22,48 persen per Juni 2018 dari awal tahun 2018. Sementara itu, jumlah akumulasi peminjam mencapai 1.099.306 entitas atau terbang tinggi 319,94 persen, sedangkan jumlah akumulasi pinjaman mencapai Rp 7,64 triliun atau melesat 197,80 persen pada periode yang sama (ibid).
Jika dibandingkan dengan kredit perbankan yang mencapai Rp 4.784,44 triliun per Juni 2018, tentu jumlah pinjaman perusahaan tekfin itu masih sangat kecil.
Namun, menurut prediksi penulis, jumlah pinjaman perusahaan tekfin akan melaju makin kencang ke depan.
Lantaran Indonesia dengan penduduk sekitar 262 juta orang per akhir 2017 merupakan ajang bisnis yang mahaluas bagi investor apa pun. Maka tidak mengherankan ketika perusahaan tekfin asing mengembangkan sayap bisnis ke Nusantara. Celakanya, banyak dari mereka tidak terdaftar di OJK sebagai regulator sektor jasa keuangan.
Aneka langkah strategis
Lantas, potensi risiko apa saja yang melekat di bisnis perusahaan tekfin? Untuk itu, langkah strategis apa saja yang perlu diambil dalam menepis potensi risiko tersebut?
Pertama, pertanyaannya, mengapa perusahaan tekfin begitu laris manis di mata para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)? Karena perusahaan tekfin menyajikan layanan lebih cepat dan mudah mengingat tidak memerlukan pertemuan dan bahkan agunan (collateral). Praktis. Sebaliknya, proses pengajuan kredit perbankan dianggap lebih lama dan rumit serta membutuhkan agunan.
Tak hanya itu. UMKM menemukan akses permodalan yang selama ini tidak diperoleh di perbankan nasional. Sebaliknya, perusahaan tekfin menemukan ladang yang hijau untuk mengembangkan bisnis mereka. Bagaimana tidak? Indonesia memiliki 58 juta unit UMKM yang mampu menyerap 100 juta tenaga kerja per akhir 2013 (data terakhir Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah/UKM). Bukan main.
Oleh karena itu, boleh dikatakan lahirnya perusahaan tekfin itu bagai tumbu ketemu tutup yang berarti satu kepentingan bertemu dengan kepentingan lain yang sesuai. Dengan bahasa lebih bening, perusahaan tekfin menjadi oase bagi sebagian besar pelaku UMKM yang belum memiliki akses pembiayaan perbankan.
Kedua, perusahaan tekfin juga membidik pelaku usaha generasi milenial. Sejatinya, siapa mereka? Generasi milenial yang juga disebut sebagai generasi Y merupakan mereka yang lahir setelah generasi X, yakni mereka yang lahir 1980-2000-an. Tegasnya, generasi milenial adalah mereka yang berusia 17-38 tahun.
Generasi ini dianggap amat berbeda dari generasi sebelumnya karena ketika mereka lahir, teknologi dan informasi sudah begitu maju seperti internet, telepon seluler dan media sosial. Indonesia punya sekitar 80 juta generasi milenial. Jumlah generasi milenial sebesar itu tentu saja magnet tersendiri bagi perusahaan tekfin.
Ketika tawaran pinjam-meminjam itu semakin mengasyikkan, maka kewaspadaan bisa hilang sehingga muncullah perusahaan tekfin tanpa izin.
Ketiga, selama ini, bisnis perusahaan tekfin yang mencorong adalah peer to peer lending dan crowdfunding. Peer to peer lending adalah layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang butuh pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman.
Crowdfunding ialah pembiayaan lewat mekanisme gotong royong atau patungan modal dana untuk investasi.
Munculnya begitu banyak perusahaan tekfin tanpa izin atau abal-abal itu pasti membawa potensi risiko.
Katakanlah, pemberi pinjaman (investor) bisa menghadapi risiko gagal bayar (default risk). Alhasil, investor bukannya meraup keuntungan, tetapi malah buntung. Dengan bahasa lebih lugas, potensi pendanaan yang begitu besar untuk mengembangkan bisnis justru bisa melayang tak berbekas.
Keempat, sekarang ini siapa yang berani menjamin bahwa dalam bisnis pinjam-meminjam itu tak mengandung aroma pencucian uang? Tidak ada. Terkait dengan itu, sebagaimana bank umum, sudah selayaknya perusahaan tekfin perlu juga diwajibkan untuk melaporkan transaksi-transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) secara berkala. Hal itu bertujuan untuk mencegah perusahaan tekfin menjadi wadah pencucian uang dan kejahatan ekonomi lainnya serta pendanaan terorisme.
Apalagi, hingga kini, OJK belum mengatur tingkat suku bunga kredit bisnis pinjam-meminjam itu. Mari kita telisik dulu seberapa tinggi suku bunga kredit bank umum sebagai representasi semua bank umum kelompok usaha (BUKU). Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 16 Agustus 2018 menunjukkan bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum (dalam rupiah) telah turun dari 11,14 persen per Juni 2017 menjadi 10,53 persen per Juni 2018 untuk kredit modal kerja. Untuk kredit investasi, suku bunga rata-rata kredit bank umum juga turun dari 10,98 persen menjadi 10,35 persen, sedangkan kredit konsumsi turun dari 13,21 persen menjadi 12,30 persen. Sarinya, suku bunga rata-rata kredit bank umum berkisar 10,35 persen dan 12,30 persen per Juni 2018.
Coba bandingkan pula dengan suku bunga rata-rata kredit bank perkreditan rakyat (BPR) 26,25 persen untuk kredit modal kerja. Sementara suku bunga rata-rata kredit BPR 23,84 persen dan 23,61 persen masing-masing untuk kredit investasi dan kredit konsumsi pada periode yang sama.. Nah, ketika tingkat suku bunga kredit perusahaan tekfin jauh melebihi suku bunga kredit bank umum dan bahkan BPR, konsumen mereka bisa menjadi ”korban”. Memang segmen UMKM dapat dikatakan tidak sensitif terhadap suku bunga kredit. Intinya, berapa pun tinggi suku bunga kredit akan diambil.
Hal inilah yang membuat banyak bank makin girang dan rajin dalam menggarap kredit segmen UMKM yang basah itu. Buahnya, margin pendapatan bersih (net interest margin/NIM) makin perkasa. Lirik saja, NIM BRI sebagai pemimpin pasar segmen UMKM memiliki NIM tertinggi 7,64 persen per Juni 2018 jauh di atas pesaingnya, Bank Danamon 6,38 persen, BCA 6 persen, Bank Mandiri 5,51 persen, BNI 5,40 persen, dan BTN 4,17 persen.
Kelima, oleh karena itu, OJK perlu menetapkan batas atas (capping) suku bunga kredit perusahaan tekfin. Dengan demikian, pelaku UMKM tidak menjadi sapi perah (cash cow).
Pengaturan lebih lanjut
Selain itu, ada beberapa hal yang wajib diatur OJK lebih lanjut. Para investor perlu memahami sepenuhnya bahwa dana yang dipinjamkan ke perusahaan tekfin tak memperoleh jaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana simpanan nasabah di bank. Karena itu, perusahaan tekfin sudah sepatutnya diwajibkan bekerja sama dengan Perusahaan Perum Jaminan Kredit (Jamkrindo) untuk menjamin potensi risiko kredit. Selama ini, hal itu belum menjadi kewajiban, tetapi masih bersifat anjuran belaka.
Keenam, lebih dari itu, perusahaan tekfin mestinya berbentuk perseroan terbatas sehingga pemerintah mendapatkan pemasukan dari pajak. Ini sejalan dengan tekad pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara dari pajak. Dengan demikian, perusahaan tekfin kelak juga wajib tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Ketujuh, OJK hendaknya membatasi mayoritas kepemilikan saham perusahaan tekfin dalam negeri oleh investor asing maksimal 40 persen. Dengan demikian, pemerintah masih memegang kendali utama perusahaan tekfin yang bakal terus melaju untuk menjamin kestabilan sektor jasa keuangan nasional.
Kedelapan, pastilah kehadiran perusahaan tekfin menjadi tantangan tersendiri bagi bank umum. Untuk itu, bank harus tiada henti menggali aneka layanan berbasis digital sebagai strategi utama dalam menghadapi disrupsi teknologi.
Dalam menambah kantor, bank umum hendaknya lebih menambah jaringan layanan secara daring (online) daripada kantor cabang fisik. Hal itu merupakan salah satu upaya dalam menaikkan tingkat efisiensi. Sejauh mana tingkat efisiensi bank umum? Data SPI mencatat tingkat efisiensi bank umum yang tersurat di rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) kini sedikit memburuk (naik) dari 79,00 menjadi 79,46 persen. Meski rasio itu berada di tengah ambang batas 70-80 persen, angka itu masih lebih tinggi daripada BOPO bank-bank di negara ASEAN 40-60 persen.
Bagaimana alternatif solusinya? OJK perlu menetapkan ambang batas BOPO dari 70-80 persen menjadi lebih rendah lagi. Katakanlah, menjadi 60-70 persen pada semester I-2019 dan 50-60 persen pada semester II-2019.
Hal itu dapat mendorong bank untuk terus menaikkan tingkat efisiensi dalam menghadapi kelesuan ekonomi global ini. Jangan alpa bahwa efisiensi yang tinggi merupakan kunci sukses dalam memenangi persaingan yang semakin sengit di tengah era perbankan digital.
Berbekal langkah strategis ini, perusahaan tekfin menjadi sumber pembiayaan di luar bank dan pasar modal yang lebih profesional. Perlindungan konsumen pun lebih terjamin.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI