Tantangan yang dihadapi bangsa ini bukan cuma angka buta aksara yang masih tinggi, melainkan juga rendahnya minat baca masyarakat di berbagai lapisan.
Kita mengapresiasi keberhasilan sejumlah pihak untuk menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara pada usia 15-59 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2004 masih ada 15,4 juta penduduk yang buta aksara atau 10,2 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada 2010 jumlahnya turun menjadi 7,54 juta jiwa atau 5,02 persen dari jumlah penduduk. Pada tahun 2017, jumlah ini turun lagi menjadi 3,4 juta jiwa atau 2,07 persen dari jumlah penduduk.
Penurunan ini menggembirakan, tetapi belum memuaskan karena 3,4 juta penduduk yang buta aksara masih sangat besar untuk negara seperti Indonesia yang sedang berkembang. Selain itu, kemampuan membaca saja tidaklah cukup, tetapi juga harus disertai dengan kegemaran membaca di masyarakat.
Di sinilah masalahnya. Hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia hanya 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari hanya 30-59 menit. Tidak sampai satu jam. Waktu membaca ini jauh di bawah standar UNESCO, yakni 4-6 jam per hari. Adapun jumlah buku yang ditamatkan masyarakat Indonesia hanya 5-9 buku per tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia masih di atas Botswana (61), tetapi berada di bawah negara tetangga, Thailand (59).
Peringkat ini ironis karena jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia masih cukup baik. Pada tahun 2014, misalnya, ada 67.731 judul buku yang diterbitkan, kemudian tahun 2015 meningkat menjadi 70.836 judul buku baru dan tahun 2016 naik lagi menjadi 81.374 judul buku baru.
Dari angka-angka ini terlihat ada kesenjangan antara jumlah buku yang diterbitkan dan jumlah buku yang dibaca serta waktu untuk membaca buku. Banyak faktor yang memengaruhi, termasuk mahalnya harga buku, akses terhadap buku yang sulit, dan distribusi buku yang tidak murah.
Untunglah kesadaran terhadap pentingnya membaca mulai tumbuh di masyarakat. Selain Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional juga menyediakan 12.000 judul buku digital yang bisa diakses secara gratis lewat aplikasi iPusnas. Tumbuh pula sekitar 6.000 taman bacaan masyarakat di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Ada lagi Pustaka Bergerak dan anakbertanya.com yang dimotori para aktivis, termasuk perempuan pekerja migran, yang membagikan lebih dari 90 ton buku ke sejumlah wilayah dengan bantuan gratis dari PT Pos Indonesia.
Kita berharap gerakan semacam ini bisa terus berkembang di masyarakat karena kesadaran bersama, kualitas sumber daya manusia mustahil bisa meningkat tanpa disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan dan literasi. Kita mengingatkan pula agar sekolah dan orangtua lebih berperan menumbuhkan kegemaran membaca pada anak.