Dua tahun lalu, tepatnya April 2016, Gabe Bullarb menerbitkan tulisan ”The World’s Newest Major Religion: No Religion”, di National Geographic. Sebagaimana tecermin dalam judulnya, tulisan ini berisi laporan tentang pesatnya peningkatan jumlah orang yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama apa pun.
Menurut Bullarb, jumlah kelompok yang disebut ”nones” ini menempati posisi kedua di wilayah Amerika Utara dan di sebagian besar negara-negara Eropa. Sebegitu pesatnya peningkatan jumlah kelompok ”nones” ini hingga Bullarb menyatakan bahwa agama masa depan adalah ”No Religion”.
Tulisan Bullarb ini seakan mengonfirmasi laporan The Telegraph tahun 2009 bahwa dua pertiga dari remaja di Inggris tidak percaya Tuhan. Dari 1.000 remaja (usia 13-18 tahun) yang disurvei, 59 persen meyakini bahwa agama memiliki pengaruh negatif terhadap dunia saat ini.
Data tersebut bagaikan membuktikan ramalan klasik kaum sekuler bahwa agama akan tersisih dari dinamika kehidupan sosial masyarakat modern. Diktum penting dari sekularisme adalah matinya agama seiring dengan dewasanya rasio manusia.
Keyakinan sekuler ini tergambar jelas dalam tulisan Wilson (1972), ”Religion in Secular Society”, bahwa dalam masyarakat modern-sekuler, ketika institusi-institusi sosial politik berkembang semakin otonom, agama kehilangan fungsinya dan lambat laun akan mati. Agama tidak lebih dari sekadar warisan keyakinan kuno yang tidak relevan bagi manusia modern.
Sekalipun data di atas menunjukkan besarnya krisis agama saat ini, dunia juga menyaksikan fenomena sebaliknya. Seakan ingin menunjukkan eksistensinya di tengah impitan sekularisme, diskursus agama justru menjadi penanda penting bagi hampir semua dinamika politik global saat ini. Munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) hingga kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dianggap banyak pakar sebagai bangkitnya agama dalam kehidupan politik modern. Bahkan, banyak yang meyakini bahwa dunia saat ini tengah menyaksikan bangkitnya sentimen agama dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern.
Di Indonesia, agama hampir tidak pernah absen dalam dinamika politik, baik di lingkup politik lokal maupun nasional. Proses demokratisasi yang menandai Indonesia pasca-Reformasi juga menyaksikan kuatnya sentimen agama dalam setiap perhelatan politik, baik dalam konotasi positif maupun negatif. Pilkada DKI Jakarta 2017 barangkali adalah wajah yang paling vulgar permainan agama dalam dikursus politik elektoral di Indonesia.
Fenomena paling baru dalam konteks kuatnya sentimen agama dalam politik adalah dinamika pemilihan calon wakil presiden, baik di kubu Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Pemilihan cawapres yang menunggu hingga detik-detik akhir diyakini banyak kalangan tak hanya karena alotnya negosiasi di antara para partai pendukung, tetapi juga terkait isu agama tentang siapa pasangan capres-cawapres yang paling merepresentasikan kepentingan umat Islam, kelompok agama terbesar di Indonesia.
Mitos modernitas dan asumsi yang keliru
Melihat pentingnya agama dalam dunia politik, bahkan di negara-negara yang selama ini mendaku sebagai pengikut sekularisme, Moqtedar Khan menilai bahwa pandangan sekularisme yang memisahkan antara agama dan politik merupakan salah satu mitos besar modernitas. Mitos ini dibangun di atas asumsi keliru tentang adanya ruang politik murni dan ruang agama murni. Padahal, tidak ada satu pun konsep diri individual maupun konstruksi diri kolektif yang sepenuhnya terbebas dari pertimbangan politik dan agama. Di negara-negara yang antiagama pun agama tetap jadi isu politik penting.
Setidaknya, ada dua alasan penting mengapa agama tidak pernah bisa diasingkan dari politik. Legitimasi politik selalu memerlukan narasi lain di luar dirinya. Bukan sesuatu yang aneh bahwa bagi politisi yang terpenting bukanlah jadi orang benar atau salah, melainkan tampak seperti orang benar atau saleh.
Dalam konteks ini, para politisi—baik dari rezim yang berkuasa maupun dari kelompok oposisi—akan memanfaatkan narasi-narasi agama untuk membangun dan memperkokoh basis legitimasinya. Narasi agama memudahkan politisi untuk mengamuflase motif politiknya. Dalam kaitan ini, upaya mengejar kekuasaan politik yang sepenuhnya bersifat duniawi bisa ditampilkan sebagai pemenuhan panggilan Tuhan.
Alasan pertama di atas semakin bisa dipahami jika kita mempertimbangkan alasan kedua, yaitu proses formasi identitas individu dan kelompok. Di masyarakat, di mana agama menjadi instrumen penting dalam pembentukan identitas individu dan sosial, agama akan memainkan peran penting dalam politik. Ketika hampir semua isu politik yang penting memengaruhi identitas individu dan agama menjadi basis identitas sosial yang penting, maka agama akan tetap memainkan peran penting dalam urusan-urusan politik.
Itulah mengapa menjadi naif jika kita berharap dunia politik steril dari narasi agama. Persoalannya bukan pada apakah agama boleh masuk ke dalam wilayah politik atau tidak. Poin pentingnya adalah narasi agama seperti apa yang memberikan pengaruh positif dalam dunia politik.
Jika kelompok agama tertentu mengejar kekuasaan politik demi melempangkan jalan bagi tindakan-tindakan diskriminatif, maka agama di sini tidak ubahnya seperti kekuatan jahat yang meraih kekuasaan dengan cara memanfaatkan mekanisme demokrasi. Akan tetapi, jika kelompok agama menceburkan dirinya ke dalam dunia politik karena hendak menegakkan keadilan dan kesetaraan, maka agama bisa menjadi berkah bagi sistem demokrasi modern.
Ahmad Zainul Hamdi Pengajar UIN Sunan Ampel, Surabaya