Meskipun suara yang diperoleh partai ekstrem kanan Swedia bertambah besar, lanskap politik negara berpenduduk sekitar 10 juta itu tidak berubah.
Sekitar 7,5 juta warga Swedia memberikan suaranya pada pemilu legislatif, Minggu (9/9/2018). Setelah 99 persen suara dihitung, partai berkuasa Sosial Demokrat mempertahankan dominasinya dengan memperoleh 28,4 persen suara, disusul partai tengah Moderat dengan 19,8 persen, dan partai ekstrem kanan Demokrat Swedia (SD) dengan 17,6 persen.
Lanskap politik Swedia tidak berubah secara signifikan, posisi ketiga partai ini sama dengan pada Pemilu 2014. Namun, kecenderungan pemilih berubah. Partai ekstrem kanan SD yang anti-imigran, anti-Islam, dan anti-Uni Eropa terus meningkat perolehan suaranya secara konsisten. Jika pada tahun 2010 partai ini meraih 5,7 persen, pada 2014 menjadi 12,8 persen, tahun ini naik sekitar 5 persen. Partai yang didukung anak muda ini jelas semakin kuat mengakar.
Jika dikelompokkan, kubu Sosial Demokrat dan Partai Hijau memperoleh 40,6 persen, sedangkan kubu Aliansi yang terdiri dari Moderat dan tiga partai lainnya memperoleh 40,3 persen. Kedua kubu ini sejak awal menyatakan tidak akan berkoalisi dengan SD. Namun, kenyataan politik bisa berbicara lain karena kubu mana pun yang membuka diri pada SD akan langsung bisa membentuk pemerintahan. Opsi lainnya adalah koalisi besar di antara kedua kubu, atau adanya partai yang bersedia meloncat masuk ke salah satu kubu.
Negosiasi antarparpol bisa memakan waktu beberapa pekan. Namun, yang pasti, hasil pemilu ini menjadi peringatan bagi partai-partai arus utama. Di hampir semua negara Eropa, popularitas partai-partai arus utama terus menyusut karena dinilai tidak relevan dan kurang peka dalam merespons kekhawatiran rakyat.
Meskipun tingkat pengangguran di Swedia termasuk yang paling rendah di Eropa, sementara masalah kebutuhan dasar seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan termasuk yang terbaik di Eropa, partai-partai arus utama dinilai kedodoran dalam mengelola isu imigran.
Saat ini ada sekitar 400.000 imigran yang masuk ke Swedia pascaperang Suriah 2011, dengan 165.000 di antaranya masuk pada tahun 2015 ketika Uni Eropa mengharuskan anggotanya menampung imigran berdasarkan kuota populasi. Dibandingkan populasi Swedia yang hanya 10 juta orang, negeri ini menerima imigran jauh lebih banyak daripada negara lainnya.
Sejak 2015 Swedia kembali menerapkan kebijakan pengetatan di perbatasan sehingga jumlah imigran yang masuk ke negeri itu turun drastis. Namun, persepsi bahwa imigran akan mengancam kesejahteraan Swedia telanjur diserap oleh kaum mudanya yang mengkhawatirkan masa depannya.
Tak heran jika PM Stefan Lofven menyebut pemilu 2018 sebagai ”referendum”, bukan saja bagi masa depan Swedia yang masih memegang paham negara kesejahteraan, melainkan juga bagi nilai-nilai kepatutan, toleransi, dan persamaan. Kali ini, mayoritas rakyat Swedia masih menjunjung nilai-nilai di atas.