Cuaca ekstrem bukan semata wacana tentang kekeringan, melainkan juga buntutnya yang panjang dan berlingkup ekonomi serta sosial politik.
Laporan PBB tentang cuaca ekstrem dan meningkatnya kelaparan di dunia yang terbit Selasa (11/9/2018) menegaskan apa yang sudah kita khawatirkan selama satu-dua dekade terakhir. Seperti kita baca di harian ini, Rabu (12/9), dalam laporan bertajuk ”Keadaan Ketahanan Pangan dan Gizi Dunia”, jumlah penderita kekurangan gizi di dunia tahun 2017 menjadi 821 juta orang. Ini berarti satu di antara sembilan orang di dunia menderita kekurangan gizi. Angka ini naik dari angka tahun 2016 yang berjumlah 804 juta orang.
Perempuan, bayi, dan orang lanjut usia merupakan kalangan yang rentan terhadap tren yang memburuk ini. Disebut memburuk karena gejala ini semakin kuat diamati dalam tiga tahun terakhir. Tingkat kelaparan dunia seolah berbalik ke level satu dekade silam, menafikan kemajuan yang dicapai selama satu dekade terakhir.
Melihat wilayah yang paling menderita, kita seperti tak asing lagi, yakni Afrika, di mana ada 59 juta orang kekurangan gizi dan tersebar di 24 negara. Selain Afrika, sejumlah negara di Amerika Selatan mengalami nasib serupa. Laporan seperti dikutip The Guardian menyebutkan, lebih dari setengah miliar orang yang kelaparan tinggal di Asia.
Padahal, menurut program Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG), dunia ingin dibebaskan dari kelaparan dan kekurangan gizi dalam segala bentuknya pada tahun 2030. Dalam konteks ini jelas harus ada tindakan cepat untuk memperkuat ketahanan—lebih jelasnya ketersediaan—pangan. Selain itu, yang dibutuhkan adalah program untuk membuat masyarakat adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem ini. Ini pekerjaan rumah yang besar karena tergolong baru dan intensitasnya terus meningkat.
Dalam situasi yang rumit ini, konflik bisa memperparah situasi, seperti di Suriah. Hal serupa dihadapi Yaman, di mana 35 persen penduduknya kurang gizi, membuat negara ini disebut sebagai ”rumah krisis pangan paling akut saat ini”.
Melihat kecenderungan itu, kondisi ke depan diperkirakan akan lebih buruk lagi mengingat pada tahun 2018 ini gelombang panas banyak melanda wilayah belahan bumi utara. Pola yang ada adalah sementara kekeringan parah juga terjadi di satu bagian dunia, banjir besar terjadi di wilayah dunia yang lain.
Kondisi yang berubah ini, di mana musim hujan datang lebih dini atau terlambat, jelas memengaruhi produksi pangan. Tanaman gandum, padi, dan jagung termasuk yang ikut terancam. Kalau ini tidak segera ditangani dengan tepat, berarti produksi pangan menurun sehingga penduduk dunia tidak memiliki cukup sediaan bahan makanan.
Indonesia juga perlu bergegas mengambil langkah untuk mengatasi dampak cuaca ekstrem. Di era pilpres jangan sampai perhatian dalam bidang ini menurun. Selama ini kita terbiasa menempuh solusi impor beras manakala produksi dalam negeri kurang. Sekarang kebijakan itu tak bisa lagi taken for granted karena sediaan dunia juga akan makin langka.