Berita tentang korporasi menjadi subyek tindak pidana memancing perbedaan pendapat ahli terkait pertanggungjawaban pidana. Untuk sampai pada pertanggungjawaban, doktrin hukum pidana mensyaratkan harus dibuktikan terlebih dulu melalui alat bukti sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adanya kesalahan. Kesalahan menurut doktrin hukum pidana bersifat individual, khusus korporasi, bisa pada pengurus atau pada korporasinya. Bagaimana pembuktian bahwa tindakan pengurus atau direksi mutatis mutandis kesalahan korporasi?
Secara historis dapat dijelaskan dari dua aspek, yaitu pengalaman pemberantasan organisasi kejahatan di AS sekitar pertengahan abad ke-19 yang merajalela yang menyulitkan kepolisian federal (FBI) karena organisasi itu sulit dihentikan sekalipun pelakunya telah banyak dijebloskan di penjara. Salah satu penyebab dan menentukan, mereka melalui korporasi berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang fantastis dari kejahatan seperti pemerasan, perjudian, pelacuran, perdagangan miras ilegal, dan narkotika.
Hasil kejahatan itu merupakan ”darah segar” organisasi untuk mengembangkan operasi ke seluruh negara bagian, bahkan melewati batas negara AS. Tokoh organisasi mafia, Al Capone, bisa dijebloskan ke penjara hanya dari penggelapan pajak korporasi yang dikuasai dan pajak pribadi.
Entah kebetulan karena dasar pengalaman itu, muncul beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi. Salah satunya, teori identifikasi dengan presumsi bahwa entitas korporasi identik dengan manusia (punya akal). Sejalan dengan perkembangan itu, merupakan konsekuensi logis bahwa korporasi sejak 1995 telah ditempatkan sebagai subyek tindak pidana dengan diberlakukan UU Drt Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pemberantasan Tindak Pidana, sekalipun latar belakang situasi berbeda dengan di AS pada 1930-an karena penyelundupan barang mewah hingga bahan sandang merajalela, terutama dari Singapura ke Indonesia.
Saat ini penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana telah ditempatkan dalam hampir berbagai UU sektoral dan bersifat khusus seperti UU Tipikor dan UU TPPU, tetapi dalam praktik tak diperkuat hukum acaranya, dan KUHP tak mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana. Artinya, dasar hukum yang dipergunakan hanya hukum pidana materiil yang menempatkan/mengakui teori identifikasi.
Hal ini dapat diketahui dari rumusan kalimat, ”korporasi dapat diwakili oleh pengurusnya”. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 Ayat 1 Perma 2016). Rumusan kalimat ini tercantum di hampir semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dilengkapi ketentuan pidana, bahkan dalam praktik telah terjadi penyimpangan, yaitu dalam perkara PT AAG telah menggunakan teori vicarious liability di mana korporasi dianggap bertanggung jawab atas tindak pidana penggelapan yang dilakukan terdakwa Suwir Laut yang hanya seorang petugas bagian pajak korporasi tersebut.
UHAP korporasi
Yang lebih ganjil lagi, tak ada satu pun direksi PT AAG yang ditetapkan sebagai terdakwa. Putusan Mahkamah Agung (MA) itu telah merupakan yurisprudensi. Bagaimana dengan Perma 2016? Ketua MA Hatta Ali mengemukakan, lahirnya perma ini ”berdarah-darah” memakan waktu setahun dan perma terlama dalam proses penyusunannya karena ada banyak kepentingan.
Bagaimanapun kita harus mengapresiasi inisiatif MA untuk segara mengisi kekosongan hukum dalam praktik hukum acara pidana korporasi. Hanya perma ini perlu dilanjutkan dengan membentuk UU Hukum Acara Pidana Korporasi agar terdapat kepastian hukum dan keadilan, terutama bagi para pengusaha nasional dan asing. Mengapa? Hal ini karena terkait kepentingan bukan hanya iklim bisnis nasional dan investasi, melainkan juga dampaknya terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Bunyi bagian menimbang huruf a bahwa ” …adakalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat”; belum didukung hasil penelitian akurat, sekalipun ada beberapa perkara korupsi yang melibatkan korporasi dan nilai kerugian keuangan negara—kecuali perkara AAG—itu pun hanya sektor korporasi swasta. Pengaturan penempatan korporasi sebagai subyek tindak pidana suatu perjalanan panjang yang harus terus-menerus diamati praktiknya, tak boleh sekali-kali hanya pertimbangan sesaat yang akan berdampak pada ekonomi nasional. Dalam kasus PLN yang kini ditangani KPK, misalnya, apakah Perma 2016 efektif?
Romli Atmasasmita Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjadjaran