Setelah Lomba Kritik DPR
”Seperti murid nakal pada umumnya: bolos, tidur di kelas, korupsi duit SPP. Setelah lulus, aku ikut lomba kritik DPR, disuruh kritik diri sendiri. Ya, gimana gitu? Aku sama dengan DPR. Kita ini satu passion, Pak, satu lifestyle. Pokoknya, kalian itu panutankulah.”
Begitulah kalimat pembuka Aji Pratama pada Lomba Stand Up Comedy yang diselenggarakan baru-baru ini untuk merayakan HUT Ke-73 DPR. Kalimat pembuka Aji itu bikin penonton—termasuk anggota DPR—terbahak-bahak. Sudah rahasia umum bahwa perilaku sebagian anggota DPR seperti yang disampaikan Aji: bolos atau tidur dalam sidang, dan korupsi.
Produk legislasi? Undang-undang (UU) yang dihasilkan dalam kurun 2015-2018 masih sangat jauh dari target Prolegnas yang ditetapkan. Dari 50 RUU di Prolegnas 2018, hanya empat yang diselesaikan. Masih 46 RUU yang ditargetkan selesai hingga 2019.
Kinerja DPR pada 2018 tak menunjukkan perbaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2017, DPR mengesahkan lima UU dari 53 RUU yang ditargetkan; pada 2016 hanya 10 UU dari target 51 RUU; dan pada 2015 tiga UU dari 40 RUU. Wajar jika 58 persen warga masyarakat pada jajak pendapat Kompas menilai citra DPR buruk.
Pertanyaannya, setelah lomba kritik DPR, apa selanjutnya? Bagaimana DPR menanggapi kritik yang disampaikan? Apa tanggapan DPR terhadap jajak pendapat tentang citra DPR? Semoga tak berhenti pada sebatas terbahak-bahak. Juga, tidak abai dan membela diri dengan beragam alasan.
Puansari Siregar
Jalan TD Pardede, Gang Sadar, Hutatoruan VII,
Tarutung, Sumatera Utara
Beban Berat di Punggung Murid
Beratnya buku yang harus dibawa anak-anak kita ke sekolah menjadi masalah yang terus-menerus dihadapi orangtua. Sebagai orangtua, saya mengkhawatirkan perkembangan tulang anak-anak kita akibat beban berat membawa buku, apalagi mereka masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Keluhan ini perlu serius dipikirkan secara serius oleh dinas pendidikan dan penerbit. Hal yang bisa dilakukan, misalnya membuat buku elektronik, mencetak buku per bab sehingga lebih tipis, guru membuat modul pembelajaran, atau penggunaan buku-buku perpustakaan secara maksimal.
FX SISWO MURDWIYONO
Madrid, Kota Wisata,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Jihadis atau Mujahid?
Kompas (29/8/2018) memuat opini Said Aqil Siraj berjudul ”Jihadis Literasi”. Pemilihan diksi jihadis sedikit mengusik nalar linguistik saya.
Dalam bahasa Inggris penambahan sufiks -ist pada nomina merupakan salah satu cara menunjukkan orang yang melakukan sesuatu: art, extreme, dan terror berubah menjadi artist, extremist, dan terrorist. Itu kemudian diserap dan ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi artis, ekstremis, dan teroris.
Demikian pula dalam bahasa Arab yang memiliki pola tersendiri dalam pembentukan kata, tashrif. Kata jihad adalah bahasa Arab (kesungguhan, perang, perjuangan) dalam bentuk ism masdar (nomina). Ketika diubah menjadi nomina pelaku, pola yang digunakan adalah ism fa’il, yakni menjadi mujahid (yang bersungguh-sungguh, yang berperang, pejuang). Contoh lainnya, untuk menyebut orang Islam, kita tidak menyebut islamis (islamist), melainkan menggunakan muslim (moslem) sebab jihad dan Islam bukanlah kosakata dalam bahasa Inggris.
Terlepas dari dalil-dalil di atas, pada akhirnya kita harus menyerah pada pasar. Lema jihadis (sebagaimana juga jihad dan mujahid) ternyata sudah tersua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring (https://kemdikbud.go.id).
Inda Suhendra
Perum Lido Permai D3, Cigombong,
Bogor, Jawa Barat
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas masukan Anda.