Semua pihak menyadari, salah satu kunci untuk memajukan mutu pendidikan terletak pada kualitas guru. Namun, justru di titik inilah masalahnya terjadi.
Hasil uji kompetensi guru secara nasional rata-rata hanya mencapai 53,02. Angka ini masih belum mencapai angka standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yakni 55,0.
Dari 34 provinsi di Tanah Air, sebagian besar atau 27 provinsi memiliki rata-rata nilai uji kompetensi guru di bawah standar kompetensi minimal. Hanya tujuh provinsi yang berada di atas standar yang ditetapkan, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Sejumlah langkah sudah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain mengalokasikan dana untuk sektor pendidikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya sekitar Rp 444 triliun pada tahun 2018.
Dari alokasi dana tersebut, lebih dari 60 persen anggaran ditransfer ke daerah. Artinya, pemerintah daerah mempunyai kewenangan sekaligus tanggung jawab yang sangat luas mengelola anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Masalahnya, tidak semua pemerintah daerah mempunyai komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan mutu guru. Masih banyak pemerintah daerah yang memprioritaskan anggaran pendidikan untuk membangun infrastruktur pendidikan dan berbagai fasilitas penunjangnya.
Kebijakan ini tentu saja tidak salah. Namun, alangkah bijaknya jika fasilitas tambahan yang tidak berkaitan langsung dengan kualitas pendidikan dinomorduakan. Lebih baik jika anggaran yang tersedia dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas guru. Apalagi berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masih ada 208.158 guru sekolah dasar (SD) atau sekitar 14,1 persen dari total 1.485.602 guru SD yang belum berpendidikan S-1.
Selain melalui pendidikan profesi guru, peningkatan kualitas guru juga bisa dilakukan melalui pelatihan guru dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG). Keluhan yang sering kita dengar adalah guru selalu diminta untuk meningkatkan kualitas dirinya, tetapi tidak pernah diberikan pelatihan secara rutin. Kurikulum berganti, buku-buku pelajaran diperbarui, tetapi pelatihan guru tak pernah dilakukan. Kalaupun dilakukan, jam pelatihannya sangat tidak memadai.
Langkah yang dilakukan Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, sudah sepantasnya diapresiasi dan layak menjadi contoh. Pemerintah kabupaten ini membangun sekolah sekadarnya, bahkan lantai sekolah terbuat dari semen, tetapi guru-gurunya rutin diberikan pelatihan. Guru yang mangkir dari pelatihan MGMP dan KKG akan dipotong tunjangannya.
Langkah tegas ini tentu bukan untuk menyengsarakan guru, melainkan untuk meningkatkan mutu guru. Langkah serupa, dengan sejumlah modifikasi, tentu bisa dilakukan pemerintah daerah lainnya dengan tujuan yang sama: meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kualitas guru.