Surat Kepada Redaksi
Pengawasan
Korupsi itu menyengsarakan”, demikian saya kutip dari Kompas (7/7/2018) halaman 2. Setiap ada berita korupsi, saya sedih. Timbul tanyaan, apakah tidak ada pengawasan yang dapat menghindarkan perbuatan itu?
Saya ada pengalaman masa lalu. Tahun 1935-1937, ibu saya kepala Sekolah Dasar Putri Negeri di Banyumas (gedungnya masih ada). Sering kali ibu bercerita kepada ayah bahwa ada pemeriksaan uang sekolah dan hasilnya baik. Itu hanya contoh kecil tentang pengawasan rutin mengenai keuangan pada lembaga kedinasan masa lalu.
Bagaimana jika di NKRI digiatkan pengawasan rutin mengenai tata kelola keuangan di lembaga kedinasan misalnya oleh aparatur pengawasan pemerintahan atau inspektorat? Mudah-mudahan cara ini mengurangi tindak korupsi. Tak perlu ada yang tertangkap dan terpidana.
Contoh pejabat yang pensiun dengan nama tetap bersih dan hidup sederhana adalah Yoyok Sudibyo, pensiunan Bupati Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Beliau berusaha mendisiplinkan diri. Alangkah sejahtera negara kita jika program kerja tidak terganggu oleh perbuatan koruptif. Pengawasan rutin adalah salah satu upaya pencegahan.
Titi Supratignyo
Pondok Kacang Barat, Pondok Aren,
Tangsel, Banten
Kapan Rakyat Bisa Pecat DPR?
Hasil jajak pendapat yang dimuat pada Senin (3/9/2018) di halaman 4 Kompas sungguh menyedihkan. Kinerja lembaga perwakilan rakyat kita sangat buruk.
Padahal, pada Pemilu 2019 setidaknya 511 dari 560 anggota DPR 2014-2019 disebutkan akan kembali mencalonkan diri pada Pemilu Legislatif 2019. Jika demikian, sulit memperkirakan kinerja para wakil rakyat mendatang itu bisa lebih baik dari kondisi buruk ini.
Penilaian kinerja DPR buruk itu setelah melihat hasil jajak pendapat, responden yang menyatakan ”baik” hanya 35,7%. Sebesar 6% lebih tidak tahu dan tidak jawab. Jadi sebesar 58% menyatakan kinerja DPR kita buruk. Demikian pula capaian target membuat undang-undang, cuma 37,9% menyatakan puas, sedangkan tak puas 56,2%. Undang-undang yang dihasilkan dalam kurun 2015-2018 hanya empat dari target Program Legislasi Nasional sebanyak 50 RUU yang ditetapkan.
Bukti itu gamblang memperlihatkan sungguh mereka tak bakal mencapai target mengingat sisa waktu tugas secara efektif tinggal setahun lagi.
Kondisi memprihatinkan ini seharusnya jadi perhatian bersama untuk mencari pola dan cara apa serta bagaimana yang terbaik agar anggota DPR tak hanya makan gaji buta hasil keringat rakyat. Untuk peraturan yang mengikat melalui UU MD3 tentang sanksi tentu sudah dibuat. Hanya saja, adagium ”peraturan dibuat untuk dilanggar” sulit untuk tak diterima. Artinya, adagium itu masih bisa dibenarkan saat ini.
Atau, apakah tak sebaiknya kita usulkan sanksi dan penilaian publik yang bisa langsung menjerat atau menggugurkan keanggotaan DPR? Jadi atas usul publik dengan kriteria yang jelas tentang kehadiran dalam rapat, misalnya, kita bisa menjatuhkan sanksi keanggotaan DPR. Pelaksanaannya bisa dilakukan sekretariat jenderal dengan membuat daftar presensi setiap kegiatan di parlemen.
Tak hadir dalam rapat paripurna mendapat sanksi ”minus” 10 poin, rapat kerja (-5), rapat dengar pendapat (-3). Setiap absen ke Senayan dalam hari kerja dapat sanksi poin minus 1. Sanksi minus poin kemudian diakumulasi dan diumumkan dalam setiap akhir masa persidangan.
Yang masuk tiga besar memperoleh minus poin harus dikenai sanksi penarikan (pemecatan) dari keanggotaan; masuk lima besar dikenai sanksi peringatan.
Jika pada masa persidangan berikut masih tidak berubah dan tetap peringkat lima besar, ia bisa langsung dipecat. Penggantinya otomatis ditunjuk calon legislatif dengan suara terbanyak yang berada dalam nomor urut berikutnya.
Sementara itu, penilaian kinerja anggota DPR ”baik”, maaf, kayaknya belum ada. Mereka hanya masuk kategori sekadar mendapat sebutan terhormat dan tampaknya mereka syur sendiri menikmati ”kehormatan” artifisial.
A RISTANTO
Agape, Sinar Kasih, Jatimakmur,
Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat