Uni Eropa mengungkapkan keinginannya menjadi aktor global dengan kebijakan luar negeri yang kokoh sesuai dengan kekuatan ekonomi kawasan itu.
Keinginan ini disampaikan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di hadapan sidang Parlemen Eropa di Strasbourg, Perancis, Rabu (12/9/2018) silam. Pernyataan Juncker sangat menarik karena diungkapkan dalam konteks situasi dunia yang menghadapi perang dagang serta aksi sepihak Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dan Perjanjian Iklim Paris.
Dalam struktur Uni Eropa (UE), organ yang dipimpin Juncker itu, Komisi Eropa, adalah lembaga eksekutif atau pelaksana. Adapun Parlemen Eropa merupakan lembaga legislatif yang anggotanya dipilih langsung lewat pemilu.
Guna mendukung gagasan UE yang sanggup mengeluarkan kebijakan luar negeri tegas dan responsif, Juncker mengumumkan rencana menghapus keharusan bagi Eropa memiliki suara bulat dalam sejumlah isu luar negeri. Usulan ini menunjukkan bahwa Juncker, sebagaimana banyak kalangan lainnya, menyadari bahwa perbedaan pandangan di antara anggota organisasi itu sering menjadi kendala bagi terwujudnya UE yang kokoh dan tampil sebagai pemain global.
Isu utama yang menjadi sumber perbedaan di antara anggota UE ialah keimigrasian. Diawali dengan gelombang migrasi besar-besaran pada tahun 2015 yang kebanyakan berasal dari Suriah, UE kini menghadapi kenyataan menguatnya kelompok kanan nasionalis yang anti-imigran dan skeptis terhadap Eropa.
Terbentuknya pemerintahan kanan, seperti di Italia dan Austria, dapat dilihat sebagai respons atas membanjirnya imigran beberapa tahun lalu ke Eropa. Kemenangan kelompok pro-Brexit di Inggris dalam referendum tahun 2016 juga tak bisa dilepaskan dari rangkaian kebangkitan kelompok kanan di penjuru Eropa setelah membanjirnya migran tahun 2015. Di Jerman, meski kelompok tengah masih unggul, tetap terjadi kebangkitan kelompok kanan yang mengejutkan sekaligus mencemaskan.
Perbedaan sikap terhadap imigran di antara anggotanya membuat UE sulit berlaku adil dalam isu migran. Beberapa negara menolak sama sekali alokasi pengungsi. Sebagian lagi menerima begitu banyak pengungsi karena menjadi tempat mendarat pertama ribuan migran yang melintasi Laut Tengah.
Dalam situasi itu, tak mengherankan, Kanselir Jerman Angela Merkel mengingatkan, tantangan besar UE ialah kekompakan antar-anggota dalam keimigrasian ketimbang isu mata uang.
Apalagi, dalam menghadapi kebijakan luar negeri AS di bawah Presiden Donald Trump yang tak bisa lagi diandalkan oleh Eropa, UE dituntut segera berbenah diri. Seperti disampaikan pula oleh Juncker, UE harus lebih independen dalam sejumlah bidang, antara lain militer. Peran AS yang terlalu besar dalam NATO terbukti kini membuat Eropa harus menentukan sikap baru.
Namun, perubahan apa pun yang dikehendaki UE, masalah krusial yang dihadapi sekarang adalah kekompakan yang membutuhkan solusi segera.