logo Kompas.id
OpiniOtonomi Dokter di Era JKN
Iklan

Otonomi Dokter di Era JKN

Oleh
Muhammad Hatta
· 4 menit baca

Tahun ini Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan diperkirakan defisit Rp 16,5 triliun. Untuk mengatasinya, mereka mengeluarkan tiga peraturan direktur jaminan pelayanan kesehatan atau perdirjampelkes tahun 2018, masing-masing untuk layanan persalinan, katarak, dan fisioterapi. BPJSK berharap dapat menghemat anggaran Rp 360 miliar.

Sayangnya, langkah tersebut  menuai kontroversi dan kritik keras dari pelbagai kalangan. Tak kurang Menteri Kesehatan meminta Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) untuk menunda pelaksanaannya. Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggap Perdirjampelkes 2018 mencederai UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional serta salah satu prinsip otonomi profesi kedokteran, yaitu memberikan pelayanan terbaik dan sesuai standar profesi bagi pasien.

Schultz dan Harrison (1986) membagi otonomi dokter ke dalam tiga kategori: otonomi politik, ekonomi, dan klinis. Otonomi politik seorang klinisi ialah hak seorang dokter untuk menentukan kebijakan terkait implementasi profesinya, semisal hak menentukan kondisi tempat ia berpraktik. Kemampuan untuk menilai kualitas dan kuantitas keekonomian  dokter itu, termasuk hak menentukan jasa layanan, disebut otonomi ekonomi. Sementara  otonomi klinis merupakan kebebasan mendiagnosis dan memberikan terapi terbaik menggunakan pertimbangan- pertimbangan medis selaras keilmuannya (Horner, 2000).

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000