Cincin Kawin

”Aku menyematkan cincin ini sebagai bukti bahwa aku akan setia sampai maut memisahkan kita.” Demikian kira-kira ucapan pengantin wanita kepada pasangannya di depan altar gereja. Saya yang menyaksikan upacara pemberkatan nikah di pagi hari itu bergumul dengan berjuta-juta pertanyaan di dalam hati.

Geleng kepala

Saya menggelengkan kepala karena tak bisa mengerti, kok, masih ada manusia berniat setia kepada sesamanya yang belum tentu bisa setia itu. Saya geleng kepala mengapa mereka berani-beraninya berjanji di hadapan Tuhan bahwa mereka akan setia sampai akhir menutup mata, lha wong, bakat untuk menjadi tidak setia saja ada di dalam diri mereka.

Saya juga geleng kepala karena tak mengerti mengapa benda mati bernama cincin dipakai sebagai alat untuk mengikat janji yang belum tentu dapat dipenuhi itu? Mengapa bukan hati atau mulut masing-masing pasangan yang dijadikan alat mengikat janji setia sampai mati?

Apakah hati tak bisa digunakan karena selain tak kasatmata, hati itu mampu berubah setiap saat tanpa diduga? Apakah mulut tak bisa digunakan meski ia kasatmata karena mulut manusia itu seperti hati tak bisa dipegang? Begitu? Belum lagi kalau mengingat ungkapan macam lidah itu tak bertulang.

Apakah cincin dijadikan simbol kesetiaan karena ia kasatmata dan benda mati? Dan, karena ia adalah benda mati yang tak bernyawa dan tak bisa berubah, ia dapat lebih dipercaya ketimbang mulut dan hati manusia yang sering berubah-ubah?

Ataukah karena cincin itu bentuknya bulat utuh tak ada bagian yang terputus, ia digunakan sebagai simbol bahwa sebuah perkawinan dan janji setia mati itu tak akan terputus? Sebab, kalau hati dan mulut, apalagi lidah, bentuknya saja memang sangat jauh dari bulat.

Saya juga geleng kepala pada pagi hari itu mendengar kata setia yang diucapkan kedua mempelai. Apa maksud dari kata itu? Apakah janji kesetiaan yang diucapkan oleh kedua mempelai di depan altar dan di hadapan Tuhan itu dilakukan dalam keadaan perasaan sukacita yang sangat?

Sehingga saking bersukacitanya, mereka tak berpikir panjang bahwa kehidupan itu tak hanya seperti ayunan, tetapi juga seperti gempa bumi berskala tujuh koma sekian Richter. Ataukah sejatinya mereka justru bersukacita karena berpikir bahwa ayunan dan gempa buminya akan ditanggung berdua dan tidak sendiri lagi?

Senang dan terkejut

Melihat kejadian di depan altar gereja itu membuat saya bertanya. Sejauh mana kesetiaan dalam pernikahan memiliki batasnya? Apakah kesetiaan tidak memiliki batas seperti bentuk cincin bulat utuh itu? Tak ada yang tahu di mana letak bagian awalnya dan di mana letak bagian akhirnya. Apakah cincin digunakan sebagai simbol karena ia tak berubah?

Sementara bukankah kehidupan perkawinan banyak sekali gejolak dan perubahannya? Manusia dapat berubah setiap saat. Bisa jadi mereka bersukacita di depan altar, tetapi setelah beberapa waktu sukacita berubah. Berubah tak hanya menjadi dukacita, tetapi juga berubah dalam kadar sukacitanya.

Tak bisa punya anak setelah sekian tahun usia pernikahan berlalu, punya anak tetapi kesehatannya kurang prima, mengalami gangguan finansial, gerah tinggal bersama mertua, salah satu pasangan terserang kelumpuhan menahun, mata biru dan lengan yang patah karena kekerasan rumah tangga yang tak pernah diduga sebelumnya, seperti tak pernah diduganya kalau salah satu pasangan mempunyai simpanan entah sesama jenis atau berbeda jenis.

Terus kalau begitu, bagaimana cara menilai kesetiaan? Apakah kesetiaan dalam pernikahan tak bisa menggunakan penilaian seperti menilai kinerja sebuah perusahaan atau karyawan? Apakah kesetiaan yang dianggap luar biasa adalah punya mata biru sampai akhirnya maut benar-benar memisahkan mereka dan maut itu datang dari tangan pasangannya?

Apakah kesetiaan itu seperti seorang wanita yang mengetahui bahwa suaminya memiliki simpanan dan ia tetap merelakan suaminya melakukan itu di hadapan matanya? Apakah kesetiaan itu adalah kemampuan memanipulasi kesakitan hati dengan pura-pura berbahagia?

Apakah kesetiaan dalam pernikahan adalah pengorbanan terhadap anak-anak meski perasaan di dalam hati sudah begitu berkecamuk menjalani pernikahan? Apakah kesetiaan yang terbaik itu adalah menanggung kesakitan fisik dan batin sampai akhir menutup mata?

Setelah menghadiri acara itu, saya makan siang bersama seorang teman yang sekarang berstatus janda karena perceraian. Saya tak pernah menanyakan mengapa teman saya bercerai. Itu tak penting buat saya.

Siang itu, di rumah makan, saya melahap makanan seperti tiada hari esok. Di saat itu saya berpikir, mungkin seperti hidup yang penuh kesenangan dan keterkejutan, pernikahan dijalankan sebagaimana mestinya saja. Mesti senang dan mesti terkejut. Mungkin.

Karena saya ini tak pernah menikah, saya hanya melihat mereka yang melakoni pernikahan itu. Dan, saya berjanji untuk tak perlu lagi menggelengkan kepala kalau menghadiri acara pemberkatan nikah dan mengajukan sejuta pertanyaan seperti di atas, termasuk mempertanyakan mengapa cincin bulat utuh dijadikan simbol sebuah kesetiaan manusia yang masih diragukan keutuhannya.