Anonim
Koran New York Times belum lama ini menurunkan tulisan opini yang membuat heboh.
Kehebohan bukan saja pada isi tulisannya, melainkan terutama karena New York Times (NYT) menurunkan tulisan opini itu dan memberikan perlindungan kepada penulisnya dengan tak menyebutkan namanya. Tulisan dimuat 5 September 2018 dengan judul ”I am Part of the Resistance Inside the Trump Administration”, dan keterangan atas penulisnya disebutkan ”penulis adalah pejabat senior dalam pemerintahan Trump”.
Segera setelah opini keluar, Trump menyerang balik NYT, sementara tulisan opini yang anonim itu sendiri diterima baik secara positif maupun negatif oleh para pembaca NYT. Trump sendiri menuntut atas nama keamanan nasional agar NYT menyerahkan nama penulisnya.
Tulisan itu memang menjelaskan bagaimana amburadulnya pemerintahan Trump yang dalam banyak isu kedodoran.
Tulisan ini akan menggiring orang sampai pada suatu kesimpulan bahwa Trump memang bukan orang yang tepat dalam memimpin negara adidaya itu. Tak berlebihan jika disimpulkan AS mengalami kemunduran dalam banyak hal saat dipimpin pengusaha asal Partai Republik ini.
Dalam pengantar tulisan opini itu, NYT menulis: ”Times mengambil langkah yang sangat jarang dengan memberikan anonimitas kepada penulis opini, dan Times melakukan itu karena permintaan dari penulisnya, dan jika identitas penulisnya dibuka, akan merugikan jabatannya.”
Ditambahkan: ”Kami percaya bahwa memublikasikan esai ini secara anonim adalah cara satu-satunya untuk menyampaikan perspektif yang penting untuk para pembaca kami. Kami mengundang Anda untuk menyampaikan pertanyaan tentang esai ini.”
Jurnal ”Indonesia” dan ”Samuel Moore”
Akan menarik kita bahas di sini, di mana anonimitas bisa kita terima, dan dalam kondisi apa anonimitas diberikan oleh media? Jika anonimitas diberikan oleh media, maka tanggung jawab atas tulisan itu ada pada media yang memublikasikannya. Kita bisa membandingkan dengan dua kasus soal anonimitas lain: kasus yang dilakukan jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell di AS, dan kemudian kasus sumber anonim yang paling terkenal dalam sejarah AS: ”Deep Throat” dalam skandal Watergate.
Di bawah kendali Program Studi Asia Tenggara di Universitas Cornell, ada sebuah jurnal ilmiah bernama Indonesia yang sudah terbit sejak 1966. Jurnal berusia 52 tahun ini adalah jurnal prestisius yang didirikan Benedict Anderson, bersama Ruth McVey, George Kahin, dan lain-lain. Jurnal ini sangat prestisius dan menjadi kiblat berbagai penelitian soal Indonesia.
Jurnal ini memuat hasil penelitian para ahli Indonesia dari berbagai benua dan mendedikasikan isi jurnal untuk kemajuan studi tentang Indonesia. Jurnal ini terbit setahun dua kali, setiap April dan Oktober. Pada Oktober 2001, ada sebuah tulisan menarik dimuat jurnal ini, berjudul ”The Indonesian Military’s Last Year in East Timor: An Analysis of Its Secret Documents”. Tertulis sebagai penulisnya ”Samuel Moore”. Yang menarik, keterangan redaksi atas diri Moore ini. ”Samuel Moore adalah nama pena—nama alias, bukan nama sesungguhnya—dari seorang sejarawan Amerika dalam bidang penelitian area Asia Tenggara”.
Tulisan ini berjarak tak kurang dari dua tahun setelah Timor Timur (nama lama Timor Leste) keluar dari Indonesia, menyusul referendum di wilayah itu. Kemunculan analisis atas dokumen rahasia militer Indonesia di Timor Timur tentulah sesuatu yang sangat sensitif dalam ukuran zaman itu. Redaksi tak pernah menyampaikan secara resmi mengapa ia mengambil kebijakan untuk memberikan nama lain kepada penulis aslinya. Saya menduga itu karena situasi dan kondisi seperti saya sebut di atas.
Dalam artikel itu, penulisnya menjelaskan bagaimana ia bisa sampai memiliki dokumen-dokumen itu. Dokumen itu seperti ”hadiah yang jatuh dari langit” karena ditemukan di berbagai bekas kantor militer Indonesia di Timor Timur yang saat itu dilanda kebakaran hebat.
Rasanya tak pernah jurnal ini memberikan ruang anonim kepada penulisnya walaupun di masa lalu ada juga beberapa tulisan yang juga dianggap sensitif untuk situasi waktu itu, seperti artikel yang ditulis Ben Anderson berjudul ”How Did The Generals Die?” (Indonesia, No 43, April 1987), yang mengupas hasil visum para dokter atas kematian tujuh jenderal pada peristiwa penculikan 1 Oktober 1965 pagi hari. Artikel ini akan sangat sensitif jika dipublikasikan di Indonesia karena akan menjungkirbalikkan berbagai mitos yang ada selama ini dan artikel ini hadir di tahun-tahun ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya.
Watergate dan ”Deep Throat”
Salah satu kasus anonimitas terkait narasumber berita yang paling terkenal adalah kasus ”Deep Throat” dalam liputan dua wartawan The Washington Post era 1970-an menyangkut skandal Watergate. Liputan inilah yang membuat Presiden Richard Nixon mengundurkan diri, tak lama setelah terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden AS.
Tudingan yang diajukan Carl Bernstein dan Bob Woodward (sampai sekarang masih menulis buku) sangat serius: Nixon-lah yang memerintahkan upaya penyadapan di kantor Partai Demokrat kala itu. Tudingan ini mendapatkan konfirmasi dari sumber rahasia Woodward yang kemudian dikenal dengan nama ”Deep Throat”. Setelah lebih dari 30 tahun kasus terjadi, barulah Bernstein membuka cerita, siapa ”Deep Throat” sesungguhnya. Dia Mark Felt, Deputi Direktur FBI, yang mengenal Woodward sebelum ia menjadi wartawan.
Woodward sendiri pada 2005 menerbitkan buku The Secret Man: The Story of Watergate’s Deep Throat, dan menceritakan detail siapa Felt. Belum lama ini kisah hidup Felt pun dibawa ke layar lebar: Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House (2017), besutan sutradara Peter Landesman, yang diangkat dari otobiografi Felt sendiri.
Dalam Film All The President’s Men (1976) kita melihat bagaimana ketika informasi yang digali Bernstein dan Woodward makin merujuk pada puncak kekuasaan, Woodward bertemu dengan ”Deep Throat” di tempat parkir sebuah gedung menjelang dini hari. Dari pertemuan-pertemuan itulah dua wartawan ini makin yakin bahwa sumber keonaran politik saat itu adalah orang nomor satu di AS. Jika saja anonimitas tidak diberikan pada sumber ini, kasus ini mungkin saja tak pernah terbongkar.
Pemimpin Redaksi The Post kala itu, Ben Bradlee, menyetujui pemberian status anonim pada narasumber ini, sementara banyak media lain menyindir The Post sedang berilusi dengan liputan-liputannya. Keteguhan sikap seorang pemimpin redaksi dan kegigihan reportase dua wartawan ini menghasilkan sejarah besar bagi mereka, selain juga hadiah Pulitzer untuk liputan Kepentingan Publik yang mereka raih pada tahun 1973.
Anonimitas di jurnalisme
Penafsiran Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 Huruf h menyebutkan, ”penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik”, dan hal ini yang bisa melandasi penggunaan sumber anonim, ataupun penulisan anonim. Tentu saja Kode Etik Jurnalistik di AS mungkin memiliki sumber lain, dan NYT sendiri memiliki kode etik khusus yang sangat rigid.
Pada 25 Februari 2004 New York Times Company menuliskan khusus panduan terkait narasumber berita yang dirahasiakan (confidential news sources). Disebutkan: ”Penggunaan narasumber yang dirahasiakan bisa dilakukan dalam situasi di mana surat kabar (NYT) yakin bahwa informasi tersebut dapat dipercaya dan layak jadi berita. Jika kami menggunakan narasumber yang demikian, kami menerima kewajiban tidak hanya untuk meyakinkan para pembaca atas kredibilitas sumber kami, tetapi juga untuk bisa mengetahui apa motivasi/alasan sumber tersebut menyampaikan pandangannya secara anonim.”
Lebih lanjut diungkapkan, ”Dalam wawancara rutin, anonimitas tidak langsung ditawarkan kepada narasumber.
Pengecualian dilakukan dalam liputan dari peristiwa yang sangat sensitif, dan bisa jadi sumber tersebut akan mendapatkan tuntutan hukum atau kehilangan nyawa karena berbicara dengan wartawan kami. Hal yang sama terjadi jika kami berbicara dengan pejabat pemerintah yang, karena terkait kebijakan pemerintah, tak mau disebutkan identitasnya.”
Louis Alvin Day (Ethics in Media Communications: Cases and Controversies, 2006) pun memasukkan masalah kerahasiaan narasumber ini sebagai salah satu isu penting dalam kajian etika media komunikasi pada abad ke-20 dan ke-21 ini. Day setuju anonimitas hanya diberikan kepada sumber yang mau membuka informasi terkait dengan kepentingan publik.
Jadi, penggunaan narasumber anonim atau memberi ruang kepada penulis yang anonim bukanlah hal istimewa karena kode etik di mana pun memberikan ruang kepada penulis atau narasumber demikian, dengan patokan utama: terkait kepentingan publik.
Kembali pada kasus opini di NYT yang anonim, kita mungkin hanya bisa berserah pada waktu, kapan identitas itu kemudian akhirnya terkuak. Tapi, lebih penting dari persoalan siapa sumbernya adalah apa isi yang disampaikan, apakah betul isinya? Apa isinya berguna untuk kepentingan publik atau tidak? Tanpa kriteria ini, anonimitas akan kehilangan esensinya.
Ignatius Haryanto Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Serpong