Belajar dari Kasus SNP Finance
Polisi mengungkap pembobolan 14 bank oleh perusahaan pembiayaan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) dengan modus penjaminan piutang fiktif. Kerugian ditaksir mencapai Rp 14 triliun (Kompas, 26/9/2018).
Lantas, pelajaran berharga apa saja yang dapat dipetik dari kasus yang menjadi buah bibir di kalangan perbankan dan perusahaan pembiayaan (multifinance) itu? Kini saatnya semua pihak terkait berbenah diri. Bagaimana kinerja perusahaan pembiayaan?
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan total pembiayaan hanya tumbuh 5,53 persen dari Rp 406,52 triliun per Juli 2017 menjadi Rp 429,02 triliun per Juli 2018. Inilah rinciannya. Pembiayaan investasi naik cukup tajam 14,45 persen dari Rp 111,45 triliun menjadi Rp 127,55 triliun dengan kontribusi 29,73 persen dari total pembiayaan Rp 429,02 triliun.
Pembiayaan multiguna juga naik 7,06 persen dari Rp 237,83 triliun menjadi Rp 254,61 triliun dengan kontribusi tertinggi 59,35 persen. Sayangnya, pertumbuhan pembiayaan modal kerja justru turun 0,42 persen dari Rp 23,79 triliun ke Rp 23,69 triliun dengan kontribusi 5,52 persen.
Sementara itu, pembiayaan lainnya berdasarkan persetujuan OJK melesat 25,69 persen dari Rp 109 miliar menjadi Rp 137 miliar dengan kontribusi tipis 0,03 persen. Sebaliknya, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah justru turun signifikan 30,89 persen dari Rp 33,34 triliun menjadi Rp 23,04 triliun dengan kontribusi 5,37 persen. Itulah rapor perusahaan pembiayaan yang kurang menggigit hingga Juli 2018.
Terkait kasus itu, bank apa saja yang berpotensi merugi? Ada 14 bank yang menjadi kreditor SNP Finance, yakni Bank Mandiri dengan kredit Rp 1,4 triliun, BCA Rp 210 miliar, Bank Panin Rp 141 miliar, Bank Resona Perdania Rp 74 miliar, Bank J-Trust Rp 55 miliar, Bank Nusantara Parahyangan Rp 46 miliar, Bank Victoria Rp 55 miliar, Bank China Trust Rp 50 miliar, Bank Internasional Nobu Rp 33 miliar, Bank Woori Saudara Rp 16 miliar, Bank BJB Rp 25 miliar, Bank Sinarmas Rp 9 miliar, Bank Capital Rp 30 miliar, dan Bank Ganesha Rp 77 miliar.
Aneka pelajaran
Sekali lagi, pelajaran berharga apa saja yang dapat dipetik? Pertama, perusahaan pembiayaan wajib berbenah diri. Dikabarkan bahwa SNP Finance melakukan penjaminan berupa piutang fiktif. Dalam praktik penyaluran kredit bank kepada perusahaan pembiayaan minimal terdapat tiga tipe dalam pembiayaan konsumen, yakni pembiayaan bersama (joint financing), pelaksana langsung (executing), dan penyaluran (channelling).
Pembiayaan bersama adalah penyaluran kredit oleh bank kepada konsumen (debitor) melalui perusahaan pembiayaan. Namun, ketika ada pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF), NPF itu akan tercatat di perusahaan pembiayaan dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK yang menggantikan Sistem Informasi Debitor (SID) Bank Indonesia efektif 2 Januari 2018. Sebaliknya, pembiayaan pelaksana langsung adalah penyaluran kredit oleh bank kepada konsumen melalui perusahaan pembiayaan. Ketika ada NPF, maka NPF itu akan tercatat di bank dalam SLIK.
Tipe penyaluran kredit yang ketiga adalah penyaluran yang merupakan penyaluran kredit oleh bank kepada konsumen melalui perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan akan memperoleh margin dari selisih bunga antara suku bunga kredit dari bank, misalnya 10 persen, dan suku bunga kredit yang dikenakan perusahaan pembiayaan kepada konsumen, misalnya 12 persen. Jadi, selisih 2 persen itu akan dinikmati perusahaan pembiayaan (Paul Sutaryono, Infobank, 3/2/2018).
Nah, dalam penyaluran kredit ini, perusahaan pembiayaan akan menyerahkan sejumlah piutang usaha (assets recievable) kepada bank. Piutang usaha merupakan pencatatan dan pemrosesan transaksi keuangan terkait penjualan dan konsumen. Dalam pembiayaan konsumen otomotif (mobil dan sepeda motor), perusahaan pembiayaan akan menyerahkan buku pemilikan kendaraan bermotor (BPKB) sebagai jaminan atau agunan (kolateral).
Penjaminan fiktif akan mencuat di permukaan ketika BPKB yang kreditnya sudah lunas dan belum dikembalikan kepada konsumen, tetapi justru dijaminkan ke bank.
Padahal, sesungguhnya perusahaan pembiayaan tak lagi memiliki piutang kepada konsumen mereka. Celaka tiga belas, manakala perusahaan pembiayaan hanya menyerahkan daftar nama konsumen kepada bank sebagai jaminan.
Kedua, itu berarti perusahaan pembiayaan juga wajib membenahi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran (fairness). Dengan bahasa lebih bening, penjaminan fiktif sudah harus ditinggalkan jauh-jauh untuk menatap masa depan lebih cerah.
Ketiga, tak hanya itu, perusahaan pembiayaan harus terus meningkatkan penerapan prinsip mengenal konsumen (know your customer). Salah satu jurus ampuh adalah melakukan kunjungan ke tempat tinggal konsumen sebelum mengucurkan pembiayaan. Kunjungan itu bertujuan untuk memastikan kebenaran data dan tempat tinggal yang ujungnya untuk mitigasi risiko kredit.
Jurus itu juga merupakan alternatif solusi untuk menekan NPF yang kini tampak mendaki dari 3,15 persen per Juni 2018 menjadi 3,18 persen per Juli 2018. Sekalipun NPF itu masih di bawah ambang batas 5 persen, angka 3,18 persen itu sudah merupakan lonceng keras bagi perusahaan pembiayaan untuk meningkatkan kewaspadaan. Ingat bahwa NPF tinggi akan mendorong kenaikan cadangan yang ujungnya bisa menggerus modal, padahal perusahaan pembiayaan justru harus terus mengerek modal.
Keempat, bank juga perlu meningkatkan penerapan manajemen risiko terutama risiko kredit. Pada prinsipnya, bank sudah memiliki saringan yang berlapis-lapis dalam menekan potensi risiko kredit, seperti adanya direktur manajemen risiko dan kepatuhan. Terlebih pada bank papan atas seperti BRI, Bank Mandiri, BCA, BNI, BTN, Bank CIMB Niaga, Bank Panin, Bank OCBC NISP, Maybank Indonesia, Bank Danamon Indonesia, dan Bank Permata. Namun, mengapa bank masih kebobolan?
Karena bank pun dapat dinilai kurang hati-hati ketika tak melakukan pengecekan langsung (sampling) ke perusahaan pembiayaan untuk memastikan kebenaran BPKB, apalagi misalnya hanya daftar nama konsumen sebagai agunan. Celaka lagi, bank terlalu percaya pada daftar nama konsumen hanya karena manajemen bank dan perusahaan pembiayaan sudah saling kenal baik. Pola hubungan ini terkadang justru bisa mengesampingkan penerapan manajemen risiko.
Kelima, ada lagi pola yang tak tertulis, tetapi seolah-olah menjadi panduan. Artinya, sudah jamak terjadi bank papan bawah bersedia memberikan kredit kepada perusahaan pembiayaan mengingat bank papan atas sudah lebih dulu mengucurkan kredit.
Pertimbangan semacam itu sungguh harus segera dikubur dalam-dalam. Repot lagi, bank sering lebih percaya manakala laporan keuangan perusahaan pembiayaan telah diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) terkemuka. Dalam hal ini, laporan keuangan SNP Finance diaudit oleh KAP Deloitte Indonesia.
Terkait kasus itu, Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) telah menjatuhkan sanksi administratif kepada Akuntan Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsul dan KAP Satrio Bing, Eny & Rekan (Deloitte Indonesia).
Sanksi kepada Marlinna dan Merliyana Syamsul berupa pembatasan pemberian jasa audit terhadap entitas jasa keuangan (semisal jasa pembiayaan dan jasa asuransi) selama 12 bulan mulai 16 September 2018 hingga 15 September 2019.
KAP Satrio Bing, Eny & Rekan dikenai sanksi berupa rekomendasi untuk membuat kebijakan dan prosedur dalam sistem pengendalian mutu KAP terkait ancaman kedekatan anggota tim perikatan senior. KAP itu juga diwajibkan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur dimaksud dan melaporkan pelaksanaannya paling lambat 2 Februari 2019.
Perketat pengawasan
Keenam, OJK pun wajib meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan. Memang OJK telah mengatur tata cara memeriksa lembaga jasa keuangan non-bank melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.05/2014, tanggal 27 Agustus 2014, tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-bank. Lembaga jasa keuangan non-bank meliputi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank.
Sayang seribu sayang, frekuensi pemeriksaan OJK terhadap lembaga keuangan non-bank dilakukan paling sedikit satu kali dalam tiga tahun (pasal 4). Tentu saja frekuensi itu terlalu lama karena cakupan bisnis lembaga keuangan non-bank, terutama perusahaan pembiayaan, semakin luas. Kini perusahaan pembiayaan ditantang untuk membiayai proyek infrastruktur, kredit usaha rakyat, dan kredit pemilikan rumah.
Untuk itu, frekuensi pemeriksaan sudah sepatutnya direvisi menjadi paling sedikit satu kali dalam setahun. Hal itu amat diharapkan dapat menekan lahirnya kasus serupa atau kasus lainnya. Bandingkan dengan pemeriksaan terhadap bank yang dilakukan secara berkala paling sedikit satu tahun sekali untuk setiap bank dan sewaktu-waktu (pasal 4) pada Peraturan OJK Nomor 41/POJK.03/2017, tanggal 12 Juli 2017, tentang Persyaratan Tata Cara Pemeriksaan Bank.
Ringkas tutur, semua pihak, baik perusahaan pembiayaan, bank, KAP, maupun regulator, wajib melakukan pembenahan diri dengan saksama. Sudah barang tentu, itu semua bertujuan untuk mitigasi risiko sehingga mampu menekan potensi risiko kasus serendah mungkin.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI