Hari Minggu, 7 Oktober, yang lalu Ombudsman Republik Indonesia merayakan 10 tahun kehadirannya di negeri ini. ORI tercipta untuk mewujudkan birokrasi nan bersih.
Peringatan 10 tahun kelahiran ORI itu mengacu pada tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 mengenai ORI yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sesungguhnya upaya mewujudkan birokrasi dan penegak hukum yang bersih tak hanya dilakukan sejak dasawarsa lalu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dibentuk Panitia Retooling (Peran) tahun 1950 dan Operasi Budhi tahun 1963, misalnya, untuk mewujudkan birokrasi bersih dan bebas korupsi. Tahun 1967, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang melemah karena tak sepenuhnya didukung pemerintah, dan Operasi Tertib (Opstib) guna memerangi aparat negara atau birokrat nakal. Namun, lembaga itu pun lenyap sebab dukungan pemerintah tak cukup nyata.
Gerakan reformasi 1998 mengamanatkan dilahirkannya aparat negara dan birokrasi yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada masa reformasi inilah lahir sejumlah aturan dan lembaga, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk mewujudkan cita-cita itu. Langkah ini dimulai oleh MPR dengan melahirkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Tiga tahun kemudian, wakil rakyat kembali menerbitkan Ketetapan Nomor VIII/MPR/2001 tentang Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Khusus untuk pengawasan terhadap aparat dan birokrasi, ORI bukanlah lembaga yang pertama. Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 membentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON), yang dipimpin Antonius Sujata serta beranggotakan, antara lain, Teten Masduki dan Prof Dr Bagir Manan. Delapan tahun kemudian baru lahir ORI, yang mengacu pada UU No 37/2008.
Dalam konsideran menimbang, UU ORI menyebutkan, pengawasan adalah unsur penting untuk mewujudkan penyelenggara negara dan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. Pengawasan itu pun penting untuk melaksanakan prinsip demokrasi, serta menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparat dan birokrasi penyelenggara negara dan pemerintahan. Sejalan dengan aspirasi masyarakat agar terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari KKN perlu dibentuk lembaga ORI.
Walaupun ORI sudah 10 tahun terbentuk, dan beragam lem- baga untuk mewujudkan aparatur negara yang bersih dan bebas KKN lebih dari 50 tahun pernah ada, tetapi harus diakui hingga hari ini birokrasi di negeri ini tidak banyak beranjak lebih baik. Reformasi birokrasi pun masih melahirkan birokrat korup. Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, 2.357 aparatur sipil negara (ASN) terpidana korupsi per September 2018 masih tetap bekerja. Padahal, semestinya mereka dipecat.
Jalan mewujudkan birokrasi bersih masih terbentang panjang. Oleh karena itu, rakyat dan pemerintah jangan pernah lelah dan kehilangan daya untuk mewujudkan negeri ini bersih.