Sejak bisnis seni rupa tak semarak 10-15 tahun lalu, pameran kini praktis tak lagi seramai dulu. Dalam situasi seperti inilah, sahabat saya, perupa Putu Sutawijaya, pekan ini menggelar pameran tunggal di CAN’S Gallery, Jakarta. Dia memamerkan belasan lukisan, beberapa di antaranya berukuran besar, ukuran sekitar 3 x 2 meter.
Justru di tengah meredanya rangsangan pasar seusai masa ”booming seni rupa”, tahun-tahun belakangan ia leluasa berjalan-jalan ke hutan-hutan, gunung-gunung, mengunjungi candi-candi kuno yang tersebar di berbagai daerah di Jawa. Kadang ia mengajak teman, seperti dosen UGM Kris Budiman. Pernah pula pemusik Dewa Budjana ikut serta, naik ke puncak Gunung Penanggungan di Jawa Timur.
Candi, ombak pantai, pohon besar berumur ratusan tahun, dan persahabatan, menjadi magma yang menggerakkan daya cipta. Kalau dulu Putu banyak melukis figur manusia, kini dia mengeksplorasi bentuk baru berupa pohon, hutan, candi, bunga, dan lain-lain. Diksinya kuat, alam tampil dalam kekuatannya yang besar tapi tidak merusak.
Bagi siapa pun yang bergulat dalam karya, dalam diam alam kadang memberi kejutan. Di sebuah kota di Jepang pernah saya melihat karya kolaborasi seniman cahaya James Turrell dengan arsitek Tadao Ando. Tadao Ando menciptakan ruang khusus untuk menikmati tibanya malam. Di situ pengunjung duduk selonjoran dalam sunyi, melihat angkasa yang perlahan gelap. James Turrell membantu dengan cahaya lembut berganti-ganti warna. Cahaya yang ia tampilkan tidak memberi penerangan, sebaliknya justru mempertegas yang namanya gelap. Dalam gelap itulah kita memperoleh pengalaman menakjubkan, ketika satu titik bintang muncul, dan dengan itu seolah semesta menjadi terang benderang.
Secara spontan waktu itu saya mencatat di notes: Dari mana datangnya hitam/dari terang turun ke gelap/Dari mana datangnya putih/dari hitam menuju yang Ilahi.
Sangat tidak mengherankan, ketika petang hari tiba di kota kecil di pesisir utara Jawa, Lasem, Putu terpesona melihat pohon trembesi besar berumur ratusan tahun, tak jauh dari situs Bhre Lasem di kaki pegunungan Argopuro. Ingatannya tentang pohon tadi ia tuangkan dalam karya berjudul ”Pohon Besar Lasem”. Liris dan mistis.
Alam yang diam kadang memberikan temuan dan arah baru bagi mereka yang bergelut dalam penciptaan karya. Semacam jalan sunyi. Dia memberikan ruang lain bagi manusia, terlebih di tengah suasana gaduh pada setiap detik keseharian kita kini, pada realitas baru bernama realitas virtual.
Kenyataan di alam berbeda dibanding realitas virtual dunia digital. Sesuai hakikatnya, media digital dengan produk realitas gadungannya dengan mudah dimanfaatkan untuk memproduksi dan mereproduksi kebohongan. The medium is the message, iya kan…. Pada gilirannya, realitas gadungan memberikan sumbangan besar dalam menciptakan musuh serta menyemaikan kebencian.
Apa boleh buat, dunia politik dan dunia formal kebudayaan pada dasarnya memang memerlukan musuh. Kalau musuh tidak bisa diwujudkan sebagai manusia, ya sebagai ide. Negara bangsa memerlukan musuh bersama bagi proses tercapainya persatuan. Musuh itu bisa bernama kekuatan asing (istilahnya kini asing aseng); liberalisme; komunisme; dan lain-lain.
Ketika fiksi mengenai musuh seperti sebutan-sebutan tadi mulai usang, ada keperluan untuk memproduksi dan mereproduksi musuh yang lebih aktual. Apa yang aktual? Apa saja, dengan peranti digital kini semua orang sibuk mengumbar narasi kebencian. Paling disenangi yang berhubungan dengan agama, sembari menunjukkan diri sebagai paling suci, paling benar. Asal tahu, agama dengan tujuan luhur sekalipun tetap memerlukan musuh.
Dalam ingar-bingar ini sulit menolak ajakan Putu Sutawijaya untuk melakukan perjalanan ke hutan, pantai, gunung, menziarahi candi-candi kuno. Dia ingin kembali ke Lasem untuk melihat lagi pohon meranti tua tadi. Setelah itu ke Trowulan, barangkali terus ke Bali.
Sebagaimana alam, daya pertumbuhan, nalar sehat, dan kepribadian perlu dipelihara.