Pertanyaan klasik dan sulit dijawab: sampai kapan negeri ini bebas korupsi? Boleh taruhan, bahkan superman pun sulit mengatasi korupsi di negeri ini. Kerja keras yang digencarkan KPK, misalnya, belum mampu menahan kuatnya niat orang ingin korupsi ketimbang berebut niat berbakti kepada negeri. Korupsi datang bertubi-tubi menghantam negeri, seperti gempa bumi dibarengi tsunami dan likuefaksi. Semua hal yang baik di negeri ini bisa dilumat korupsi. Kasus terbaru adalah korupsi di Bekasi. Tidak sendirian, para pejabat Kabupaten Bekasi korupsi bersama-sama.
Kita agak tertegun hampir percaya menyaksikan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin bereaksi kaget, mengaku tidak tahu ketika sejumlah anak buahnya ditangkapi KPK pada Minggu (14/10/2018). Pada Senin (15/10) siang, reaksi pertama kali Neneng begini, ”Kagetlah, pastinya. Prihatin pasti.” Senin siang Neneng terkaget-kaget, malam harinya ia sudah digelandang ke Gedung KPK. Ternyata, berdasarkan hasil pengusutan KPK, Bupati Neneng Hasanah Yasin juga merupakan bagian dari lingkaran kasus korupsi tersebut. Barangkali begitu pejabat yang politikus, mesti mahir beradegan ”sandiwara”.
Para pejabat yang diciduk dalam operasi tangkap tangan KPK itu gara-gara korupsi izin proyek Meikarta, proyek properti yang setidaknya dalam dua tahun ini menyedot perhatian publik, antara lain dengan promosinya yang begitu jorjoran. Ketika anak buahnya, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi, ditangkap KPK, Neneng pun tak berkutik lagi. Mungkin ia tetap terkejut karena, kok, bisa tak lolos dari KPK.
KPK juga menangkap Billy Sindoro (Direktur Operasional Lippo Group), Taryudi dan Fitra Djajaja Purnama selaku konsultan Lippo Group, dan Henry Jasmen, pegawai Lippo Group. Kasus ini juga memperlihatkan betapa korupsi tidak memberi efek jera karena Billy pernah tersangkut kasus suap terhadap komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M Iqbal, pada 2008.
Suara-suara keras agar ”hukuman seberat-beratnya” terlalu sering menjadi senandung sedih karena realitasnya hukuman koruptor terbilang ringan. Bisa jadi itu menjadi salah satu faktor yang membuat korupsi tak mau pergi dari negeri ini. Dalam 10 bulan tahun ini saja setidaknya ada 18 kepala daerah—bupati, wali kota, gubernur—yang ditangkap KPK. Padahal, tugas pemimpin itu menyejahterakan rakyatnya. Sayangnya, mereka malah terus tergoda oleh praktik-praktik korup yang merusak kemanusiaan.
Ada analisis menarik dari Augusto Lopez-Claros, Direktur Global Indicators Group di Bank Dunia, tentang bagaimana korupsi menjadi mesin perusak. Di blog Bank Dunia (2014) terpapar sembilan alasan korupsi menghancurkan kesejahteraan manusia. Pertama, korupsi merongrong pendapatan pemerintah. Ketika korupsi endemik, orang akan melihat pembayaran pajak sebagai proposisi bisnis yang dipertanyakan. Pembayar pajak merasa benar menemukan cara-cara ”kreatif” menghindari membayar pajak atau lebih buruk lagi menjadi penyuap. Sejauh korupsi merusak pendapatan, itu merugikan upaya pemerintah untuk mengurangi kemiskinan. Uang yang bocor dari anggaran tidak akan tersedia untuk meringankan beban orang miskin.
Kedua, mengutip Tanzi dan Davoodi (1997), korupsi mendistorsi pengambilan keputusan terkait proyek publik. Proyek-proyek besar menggoda untuk dikorupsi. Dan, pemerintah merasa perlu memotong pengeluaran di tempat lain, misal bidang sosial, pendidikan, atau kesehatan. Ketiga, semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, semakin besar bagian kegiatan ekonominya akan bergerak di bawah tanah, di luar jangkauan otoritas pajak.
Keempat, korupsi menghambat pengembangan dan inovasi sektor swasta dan mendorong inefisiensi. Kelima, korupsi berkontribusi pada kesalahan penempatan sumber daya manusia. Keenam, korupsi telah mengganggu implikasi distribusi. Bahwa korupsi berkontribusi pada memburuknya distribusi pendapatan. Ada program sosial yang tidak efisien, misal subsidi bensin yang dinikmati oleh kelas menengah.
Ketujuh, korupsi menciptakan ketidakpastian. Perusahaan yang memperoleh konsesi dari birokrat sebagai akibat dari penyuapan tidak dapat mengetahui pasti berapa lama manfaat akan bertahan. Ketidakpastian ini mendorong individu mencari jabatan publik. Saat korupsi merajalela, politikus ingin berkuasa selama mungkin karena tidak ingin berbagi manfaat uang dari jabatan kepada orang lain.
Kedelapan, korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan sehingga mendelegitimasi negara dan moral birokrasi. Kesembilan, penyuapan dan korupsi mengarah pada bentuk-bentuk kejahatan lain, mengarah pada penciptaan mafia dan kelompok kriminal terorganisasi yang menggunakan kekuatan keuangan mereka untuk menyusupi bisnis legal, mengintimidasi, iklim ketakutan dan ketidakpastian. Pada gilirannya mendorong lebih banyak lagi orang untuk menjadi korup, yang lebih merusak efisiensi penegakan hukum, lingkaran setan yang akan mempengaruhi iklim investasi dengan cara-cara berbahaya, yang semakin menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Sudah begitu buruknya, masih saja tergoda korupsi, kalau di China sih sudah banyak yang dieksekusi. Bagaimana negeri ini?