Globalisasi Pangan
Impor biji gandum Indonesia tahun 2017, menurut Badan Pusat Statistik, mencapai 10,8 juta ton dengan nilai Rp 36,3 triliun.
Herannya, tak kedengaran ada suara nyinyir, baik dari pihak oposisi maupun LSM. Yang selama ini lantang disuarakan LSM malah penolakan pada sawit. Padahal, BPS mencatat ekspor sembilan jenis produk sawit Indonesia selama 2017 mencapai 23,7 juta ton dengan nilai Rp 243,9 triliun. Itulah yang terjadi di Indonesia. Karena tak ada pihak yang mengucurkan dana, tak ada pula yang mau menyinyiri impor gandum.
Sementara pengusaha minyak kacang tanah, kedelai, dan bunga matahari di Uni Eropa dan Amerika Serikat yang terkena dampak sawit rajin mengucurkan dana melalui lembaga donor asing, untuk menggerakkan LSM Indonesia menyerang sawit. Slogan kerennya, sawit musuh rakyat. Sawit perusak lingkungan. Sawit penguras unsur hara tanah dan lain-lain. Lho, bukannya musuh rakyat itu perilaku korup, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan? Sedangkan semua tanaman budi daya monokultur juga perusak lingkungan?
Gandum dan sawit merupakan contoh globalisasi pangan. Pada zaman Belanda, tak terbayangkan ada inlander makan roti dan mi. Bahkan, sampai dekade 1960-an, roti dan mi masih merupakan produk pangan sangat elite. Sekarang dua produk itu sudah dijajakan sampai ke pelosok negeri. Karena gandum hanya bisa dibudidayakan di kawasan temperate, maka impor gandum Indonesia tak terelakkan dan terus naik. Dibandingkan gandum, sawit bisa lebih menjadi contoh produk pangan yang mengglobal. Komoditas ini berasal Afrika dan Amerika tropis, berkembang di Asia, dan membuat gerah pengusaha minyak nabati Eropa dan Amerika. Dekade 1980-an, ketika komoditas ini baru mulai unjuk gigi, segera muncul rumor dari UE dan AS bahwa sawit penyebab kanker.
Gagal dengan isu kanker ganti dengan tema perusakan lingkungan yang terus bertahan sampai sekarang. Orang Belanda dan Inggris menyilangkan sawit Afrika Dura (Elaeis guineensis) sebagai induk betina dengan sawit Amerika Latin Pisifera (Elaeis oleifera) sebagai induk jantan. Hasilnya sawit budidaya Tenera dengan produksi minyak nabati rata-rata 5 ton/ hektar/tahun tanpa perlu mengolah tanah dan menebar benih. Kacang tanah, kedelai, bunga matahari rata-rata 1,5 ton minyak/ hektar/tahun harus pula terus mengolah lahan dan menebar benih.
Tiga periode globalisasi
Seturut Teori Bencana Toba (Toba Catastrophe Theory), sekitar 70.000 tahun lalu, terjadilah musim dingin vulkanik dan pendinginan akibat letusan gunung api super Toba. Selama berabad-abad langit gelap, sebagian perairan membeku. Populasi Homo sapiens menyusut. Teori Penyusutan Genetik (Genetic Bottleneck Theory) menyebutkan populasi manusia waktu itu tinggal 3.000-10.000 pasang. Sisa-sisa Homo sapiens ini bermigrasi dari Afrika ke arah timur dan dari India ke arah timur laut dan barat laut. Bersamaan dengan migrasi itu terjadilah globalisasi komoditas pangan pertama. Gandum, apel, dan anggur bermigrasi dari Asia ke Afrika (Mesir kuno) dan Eropa. Pisang genus Musa bermigrasi dari Asia ke Afrika. Kimpul plecet (kimpul salak, kimpul ketan, tales dempel, Colocasia antiquorum) bermigrasi dari Jawa ke Jepang dan jadi umbi satoimo yang terkenal di Jepang.
Kalau kimpul plecet bermigrasi sampai Jepang, talas bentul (Colocasia esculenta) bermigrasi ke timur dan berhenti di Pasifik Selatan: Samoa, Tuvalu, dan Vanuatu. Migrasi kimpul plecet dan talas terjadi antara 35.000 SM dan 15.000 SM. Baru pada abad ke-7, talas bermigrasi dari Pasifik Selatan ke Hawaii. Pada abad ke-3 dan ke-4, dari arah sebaliknya ubi jalar (Ipomoea batatas) bermigrasi dari Amerika tropis ke Pasifik dan berhenti di Papua, Formosa, dan Okinawa. Kalau mengglobalnya kimpul plecet dan talas terbawa migrasi manusia sebagai dampak bencana Toba, ubi jalar dibawa orang-orang Indian Andes yang mengarungi Pasifik dengan rakit kayu balsa.
Pisang juga ikut bermigrasi pada periode pertama. Kalau di negeri kita hanya dikenal kosakata pisang, setelah bermigrasi ke Afrika, orang Eropa membedakannya menjadi banana (pisang meja) dan plantain (pisang olahan). Di Uganda, penghasil plantain utama dunia, pisang tanduk dan kepok makanan pokok. Di Indonesia, tempat asal-usul pisang, orangnya justru makan biji padi yang berasal dari daratan Asia. Komoditas pangan ini masuk ke Jawa dibawa pedagang India dan China pada 3.000 SM. Mereka datang ke Jawa dalam rangka mencari cengkeh. Orang Jawa-lah yang mengambil cengkeh dari lima pulau kecil di Maluku utara: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore. Karena berlahan vulkanis, Jawa sangat subur untuk budidaya padi sawah.
Migrasi kedua komoditas pangan terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 setelah bangsa Eropa ”menemukan” Benua Amerika. ”Benua baru” memperkenalkan komoditas pangan baru bagi seluruh umat manusia. Kentang, jagung, singkong, ubi jalar, keladi, ganyong, dan garut merupakan sumber karbohidrat Benua Amerika yang lalu mengglobal. Sekarang kita menganggap nanas, pepaya, avokad, sirsak, dan sawo sebagai buah-buahan lokal. Padahal, buah-buahan ini juga asli Amerika tropis dan baru dikenal dunia pada abad ke-16 dan ke-17. Benua baru ini juga memperkenalkan kakao, yang kemudian menjadi bahan pangan sangat elite bagi umat manusia di seluruh dunia.
Globalisasi pangan ketiga terjadi sekarang dengan gejala menjamurnya restoran franchise multinasional di kota-kota besar di Indonesia: KFC, McDonald’s, Pizza Hut, Hokben, dan masih banyak lagi. Sebagian besar rumah tangga Indonesia dari pedalaman Aceh sampai pelosok Papua kini memasak makanan dengan membubuhkan penyedap rasa monosodium glutamate (MSG), yang merupakan produk perusahaan Jepang dan Korea. Mi dan roti jadi menu sehari-hari, menggeser nasi, umbi- umbian, buah sukun, dan sagu. Sebagian umbi-umbian malahan telanjur nyaris punah. Umbi tomboreso (Dioscorea pentaphylla), misalnya, kini sulit ditemukan.
Pangan sebagai komoditas politik
Januari 2018 merebak info bahwa pemerintah akan mengimpor 500.000 ton beras. Impor komoditas pangan seakan jadi barang tabu bagi pemerintah. Sebelumnya impor garam juga dipermasalahkan. Akhir 2017, Presiden berencana mengganti menteri kabinet dan para pejabat tinggi negara setingkat menteri. Tampaknya, ada parpol yang mengincar kursi Menteri Pertanian RI. Untuk itu, digulirkanlah info pemerintah akan mengimpor 500.000 ton beras. Harapannya, info ini bergulir menjadi bola salju hingga mentan diganti. Ternyata Januari 2018 mentan tak diganti. Maka, isu impor 500.000 ton beras pun menguap begitu saja.
Ekspor dan impor bagi negara modern merupakan hal niscaya, tak terelakkan. Kesepakatan-kesepakatan bilateral dan multilateral mewajibkan setiap negara tak hanya mengekspor, tetapi juga mengimpor meski akhirnya hukum pasarlah yang berjalan. Kota Nunukan dan Tarakan di Kalimantan Timur akan lebih murah mendatangkan kol, wortel, bawang daun, seledri, dan kentang dari Tawao (Sabah) dibandingkan dari Manado, Makassar, terlebih Surabaya karena jarak lebih dekat. Batam dan Tanjung Pinang di Kepulauan Riau lebih murah mendatangkan sayuran dari Cameron Highlands, Malaysia, dibandingka dari Berastagi, Sumatera Utara, juga karena faktor jarak.
Bahkan, bawang putih dari China dengan kualitas sangat baik berharga lebih murah ketimbang bawang putih lokal. Kedelai impor juga lebih murah daripada kedelai lokal. Murahnya komoditas ini terkait dengan agroklimat dan efisiensi produksi. Bawang putih dan kedelai merupakan tanaman subtropis, yang akan berproduksi optimum jika panjang hari mencapai 17 jam. Di kawasan tropis seperti Indonesia, panjang hari rata-rata hanya 12 jam. Selain faktor agroklimat, efisiensi produksi juga ikut menentukan harga komoditas. China yang menanam bawang putih untuk 1,4 miliar penduduk pasti lebih murah daripada Indonesia yang menanam bawang bagi 260 juta penduduknya. Kalau China menambah produksi 10 persen untuk diekspor, harganya pasti akan lebih murah lagi.
Mestinya kita bukan nyinyir mempermasalahkan impor, melainkan memproduksi komoditas yang tak bisa ditanam di China dan ganti membanjiri negeri itu dengan komoditas ini. China tak bisa menanam pisang dan kelapa. Di sini, pisang dan kelapa ada di mana-mana. Masyarakat China senang makan pisang dan minum santan kelapa. Coconut milk sangat prestisius di sana. Namun, sampai sekarang yang bisa memasok pisang ke China dalam volume besar dan kontinu baru Filipina dan Vietnam. Kita baru bisa memasok santan dalam volume terbatas. Banyak komoditas pangan yang bisa kita produksi massal untuk mencukupi kebutuhan negeri berpopulasi terbesar dunia itu. Salah satunya pati singkong (tapioka). Namun, apa boleh buat. Justru kitalah yang mengimpor tapioka dari Thailand.
Pangan bisa menjadi senjata politik ampuh. Ada anekdot begini, ”Hentikan ekspor udang ke Jepang, maka pemerintah di sana akan jatuh”. Maklum, udang merupakan bahan pangan sangat penting bagi masyarakat Jepang dan sebagian besar harus diimpor. Revolusi Perancis akhir abad ke-18, antara lain, juga dipicu kelangkaan roti sebagai bahan pangan. Di negeri kita, pergantian kekuasaan 1965-1967 dan 1998, juga disertai melambungnya harga pangan. Untuk kepentingan Pilpres 2019, kemungkinan akan ada upaya bergerilya mengusik komoditas pangan agar terjadi kelangkaan dan chaos.
Ketahanan pangan
Setelah Uni Soviet bubar, Indonesia yang berpenduduk 261 juta jiwa naik dari peringkat kelima jadi negara berpenduduk keempat terbesar dunia menyusul China (1,4 miliar jiwa), India (1,3 miliar jiwa), dan AS (325 juta jiwa). Dari empat negara berpenduduk terbesar ini, kita paling rentan rawan pangan karena mengandalkan satu komoditas: padi. Gandum yang jadi andalan kedua, 100 persen harus impor. AS paling aman karena produsen gandum keempat dunia setelah China, India, dan Rusia, 55 juta ton. Meski hanya nomor empat, AS surplus gandum hingga bisa memasok pasar dunia. AS juga produsen jagung, kedelai, dan daging ayam terbesar.
Jika hanya dilihat dari populasi penduduk, China sangat mengkhawatirkan dari sisi ketahanan pangan. Namun, negeri ini produsen gandum, beras, kentang, ubi jalar, daging babi, dan telur ayam terbesar dunia sehingga ketahanan pangannya lebih aman dari India dan Indonesia. India produsen gandum dan beras terbesar kedua, lebih rentan daripada China, tetapi lebih aman dari Indonesia karena masih mau memperhatikan bahan pangan tradisional. Umbi suweg, elephant foot yam (Amorphophallus paeoniifolius) diproduksi massal. Di Indonesia, suweg telantar dan terlupakan. India juga produsen gandum dan beras nomor dua, kedelai nomor lima, dan jagung nomor enam.
Ketahanan pangan Indonesia sangat lemah karena hampir 100 persen mengandalkan beras. Kita memang produsen beras nomor tiga dunia, tetapi dengan volume produksi pas-pasan daripada volume konsumsi. Selain gandum sebagai bahan mi dan roti yang 100 persen impor, masyarakat kita juga mengonsumsi bakso, pempek, siomai yang berbahan pati singkong (tapioka). Namun, kita juga kekurangan tapioka hingga harus impor 250.000 ton lebih senilai di atas Rp 7 triliun. Indonesia produsen singkong nomor empat dunia setelah Nigeria, Thailand, dan Brasil. Dengan luas lahan dan agroklimat yang kita miliki, mestinya kita bisa jadi penghasil singkong terbesar.
Saat ini Kementerian Pertanian sedang fokus untuk swasembada jagung. Kondisi lahan dan agroklimat kita memungkinkan jadi penghasil jagung peringkat ke-8 atau ke-9 dunia. Namun, kini kita masih peringkat ke-12 dengan produksi 11,9 juta ton. Mestinya kita bisa jadi pengekspor. Kalau masih impor, itu keterlaluan. Gandum apa boleh buat. Namun, Kementan seyogianya juga memperhatikan sagu, sukun, umbi-umbian genus Amorphophallus, Dioscorea, dan Xanthosoma. Atau, Presiden menugaskan BUMN untuk memproduksinya secara massal.
Impor apa pun sebenarnya tak jadi masalah sebab yang lebih penting kondisi neraca perdagangan dan seberapa besar cadangan devisa. Celakanya, per Juli 2018 kita masih defisit 2,03 miliar dollar AS (Rp 28,4 triliun). Cadangan devisa Juli 2018 sebesar 118,3 miliar dollar (Rp 165,6 triliun), turun dari posisi Juni 2018 sebesar 119,8 miliar dollar (Rp 167,7 triliun). Untunglah, berkat gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, industri perikanan kita naik tajam. Kita tercacat sebagai penghasil produk perikanan nomor dua dunia, 913.000 ton. Masa depan protein hewani kita sebagai sumber pangan bukan di darat, melainkan di laut.
F Rahardi Pengamat Pertanian