Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014, Joko Widodo alias Jokowi seperti tak kenal lelah dan tak pernah kehabisan gagasan kreatif. Ia memanfaatkan bukan hanya pikiran dan tenaga untuk mengisi masa jabatan lima tahun, melainkan juga seluruh tubuhnya untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Kegiatan harian seakan-akan jadi panggung untuk mementaskan lakon panjangnya. Mungkin judulnya bisa ”Aksi Sang Presiden”, ”Gaya Kerja Unik Presiden”, atau ”Presiden Bergaya”, atau apa sajalah. Dia membuat vlog yang merekam dirinya bersama pemimpin negara-negara sahabat, bahkan juga saat berlatih tinju atau ketika kunjungan kerja ke daerah-daerah.
Di akun media sosialnya, Jokowi tak sekadar menampilkan kegiatan kerja formal bagi publik, tetapi ada juga aspek hiburan dan renungan. Teater tubuh sang presiden yang masih hangat dalam kenangan publik ditampilkan pada dua perhelatan olahraga tingkat Asia. Yang pertama, pembukaan Asian Games 2018, Agustus lalu. Dalam acara yang biasanya menampilkan pemimpin negara penyelenggara dalam ketakziman di depan pemimpin negara-negara lain, dia tampil beda. Dalam secuplik adegan, dia turun dari mobil kepresidenan yang terjebak kemacetan lalu lintas saat perjalanan ke tempat acara pembukaan pesta olahraga itu.
Untuk menembus kemacetan, dia berganti naik sepeda motor besar, lengkap dengan jaket kulit yang menutupi jas formal. Dengan atraktif, sang presiden akhirnya sampai di arena pembukaan Asian Games. Bukan hanya itu. Ketika Via Vallen menyanyikan lagu ”Meraih Bintang”, Jokowi dengan ekspresi lepas bebas asyik ”bergoyang dayung” di tempat duduknya.
Pada momen kedua, dalam acara pembukaan Asian Para Games 2018 sebulan kemudian, Jokowi dengan sikap tubuh tegak penuh keyakinan memperagakan kemampuan memanah.
Semua aksi Jokowi dapat dibaca sebagai simbol, dan sebagaimana lazimnya pelambangan, tafsir bergantung pada khazanah kecendekiaan dan ketajaman rasa individu yang mencerap, mencerna, dan mengelola setiap detail dan latar belakang dari keseluruhan entitas yang membentuk simbol-simbol itu. Bukan hanya simbolisme teatrikal semacam itu yang dipertunjukkan di hadapan kita. Di tengah berbagai kesibukannya, presiden seperti tidak pernah kehabisan energi fisik dan pikiran untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahannya.
Jokowi tampaknya tak pernah terseret dan didamparkan oleh emosi dangkal yang sering kali dipancing-pancing oleh lawan-lawan politiknya. Dengan santainya dia memesan sepeda motor modifikasi kepada sekelompok anak muda yang menggeluti bisnis modifikasi otomotif. Secara terbuka dia pamerkan sepeda motor hasil kreativitas para pemuda itu di Istana Bogor. Tak cukup itu, dia mengajak menterinya melakukan kunjungan kerja ke Sukabumi dengan sepeda motor barunya yang mentereng berwarna emas itu sembari menyapa masyarakat sepanjang jalan.
Mengajak terbuka
Boleh jadi presiden bermaksud mengajak kita semua untuk bersikap terbuka melihat problematika kelas-kelas sosial dengan caranya yang unik. Seperti tanpa kegentaran menyongsong cemooh, ia tunjukkan ”parade orang kaya” itu ketika banyak orang sedang kesal terhadap rombongan motor gede yang pada sejumlah kasus melanggar aturan lalu lintas dan ada anggota yang menampakkan perilaku arogan.
Jokowi seperti ingin mengajak kita merenung bahwa di dunia ini memang ada kelas-kelas sosial dengan hak dan kewajiban masing-masing. Semuanya berbagi dunia yang satu ini untuk hidup bersama. Sisi baik dan buruk ada pada setiap lapisan sosial.
Atas realitas itu, yang harus dinilai adalah perilaku individual. Manakala ada perilaku yang tidak patut, itulah yang harus dibenahi dalam penegakan etika dan hukum disertai introspeksi sosial. Dengan begitu, proses pendewasaan sosial berjalan wajar.
Bukan hanya industri modifikasi otomotif yang dipromosikan Jokowi, melainkan juga industri kuliner, seperti kedai kopi, industri sepatu kulit, garmen, bahkan usaha kecil pangkas rambut.
Dalam program mendukung industri rakyat, sang presiden tidak berdiri di panggung steril mewejangkan petuah. Dia jadikan tubuhnya, lidahnya, rambutnya, hingga kakinya untuk mendramatisasi sesuatu yang kalau disampaikan dengan orasi pasti membosankan dan hampa.
Untuk mengajak para pencinta kopi mendatangi kedai-kedai anak-anak muda Indonesia yang meracik kopi lokal, dia datang dan nongkrong di kedai itu. Ia jadikan dirinya model iklan gratis melalui akun media sosialnya. Demi promosi jaket kulit lokal bermutu tinggi tetapi kurang sponsor, dia berinisiatif jadi ”model iklan” juga. Dalam kesempatan lain, dia tiba-tiba singgah ke tempat pangkas rambut sederhana untuk bercukur. Dia juga aktif memamerkan sepatu kulit atau sepatu kets lokal yang dia kenakan saat kunjungan kerja.
Pola kerja Jokowi memang khas individual, tetapi status personal pola itu dapat menjadi umum untuk ditiru dan dan diteladani sebagai acuan pola ideal kerja suatu pemerintahan.
Tak harus teater tubuh. Bisa saja teater gerak—apa pun istilahnya—yang bisa dimanfaatkan untuk membangun bangsa ini. Kuncinya, keteladanan.