Kontestasi Elektoral dan Gerakan Mahasiswa
Tak terbantahkan lagi bahwa eksistensi mahasiswa menjelang kontestasi elektoral amatlah penting. Mahasiswa bagaikan magnet yang selalu sanggup memikat publik. Mahasiswa juga memiliki posisi tawar yang amat kuat.
Setiap gerakan yang dilakukan turut memengaruhi tensi politik publik. Hal seperti inilah yang terlihat ketika beberapa waktu lalu para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi melakukan demonstrasi. Dalam hal ini, mahasiswa telah berdemokrasi dengan berdemonstrasi. Selain itu, secara historis, demokratisasi dan restorasi bangsa ini tidak terlepas dari demonstrasi mahasiswa.
Disadari sepenuhnya bahwa menjelang kontestasi elektoral, kapitalisasi terhadap politik semakin masif dilakukan para elite politik. Mereka membajak politik dan mengelola praksis politik seturut skema dan agenda politik parsial. Efeknya, politik didesakralisasi serentak diprivatisasi. Rakyat pun digiring untuk melegitimasi selera para elite.
Kalau dibiarkan, maka ada ketakutan bahwa praksis politik hanya dipahami sebagai kontestasinya elite saja. Efeknya, rakyat tak melihat kontestasi politik sebagai hal penting.
Dalam keadaan seperti inilah peran restoratif gerakan mahasiswa dibutuhkan. Gerakan mahasiswa mesti meresakralisasi dan mendeprivatisasi politik.
Mahasiswa harus meyakinkan rakyat bahwa melalui kontestasi elektoral, politik masih bisa dipercayai sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan bersama. Mengikuti Habermas dalam Republikan (1999), mahasiswa mesti meyakinkan publik bahwa politik lebih dari sekadar fungsi instrumental, tetapi merupakan bentuk reflektif dari kehidupan etis-substansial yang mengedepankan aspek deliberatif.
Dengan demikian, melalui perhelatan politiklah cita-cita kolektif-kebangsaan dapat diperjuangkan dan akhirnya termanifestasi. Melalui praksis politik, mahasiswa ”mengadvokasi” hak-hak politik rakyat yang dicaplok para elite.
Harapan seperti ini akan semakin efektif jika mahasiswa menjalankan politik kebangsaan. Politik kebangsaan adalah politik yang berpijak dan berkiblat pada paradigma kebangsaan. Kerangka dan landasan perjuangannya adalah narasi dan kepentingan bangsa.
Dalam politik kebangsaan, mahasiswa boleh memberikan kritik, tetapi kritik itu mesti berangkat dari kesanggupan dalam menginventarisasi segala problem sosial. Problem sosial itu lalu ditematisasi, dianalisis, dikristalisasi, dan dikonversi melalui pemikiran revitalitatif.
Dengan kata lain, apa yang disampaikan mesti berlandaskan kajian empiris yang diproses secara kognitif (Meyneel, 1976). Selanjutnya kajian itu
diuji lagi melalui mekanisme akademik dan disampaikan secara etis. Jadi, radikalisasi kritik harus tetap berpijak pada narasi-narasi serta mekanisme epistemis dan etis. Dikendalikan akal sehat dan tunduk di bawah supremasi etis.
Itulah yang mestinya dipresentasikan saat mahasiswa berdemonstrasi.
Mahasiswa sedang menyangkal fungsi sosialnya manakala argumentasi publik tidak dikonstruksi melalui proses epistemologis. Mahasiswa akan mendekonstruksi hakikat akademisnya manakala melakukan gerakan-gerakan yang melahirkan letupan-letupan agitatif. Mahasiswa sedang mengingkari substansi epistemisnya manakala jadi aktor yang memproduksi ekses-ekses distortif dan anasir-anasir politik yang memancing kegaduhan.
Kebajikan intelektual
Agar semakin mempertajam perannya, mahasiswa mesti memiliki apa yang dikatakan Aristoteles, dalam Nichomachean Ethics, sebagai kebajikan intelektual. Kebajikan intelektual merupakan kebajikan paling bernilai sebab selalu berbasiskan hal empiris.
Kebajikan ini memutlakkan kesanggupan untuk berkontemplasi tentang kebenaran-kebenaran dan mengaplikasikan prinsip itu dalam kiprah publik. Yang ”diarus-utamakan” adalah hasil kerja akal budi, dan bertolak dari realitas nyata-inderawi, bukannya asumsi spekulatif semata.
Di tengah proses kontestasi elektoral, mahasiswa dapat menggunakan kebajikan tersebut dalam membedah persoalan-persoalan publik, maka harus kontemplasi (refleksi) sebelum mengambil tindakan. Basis refleksinya adalah hal empiris. Tindakan itu juga mesti dilegitimasi oleh cara berpikir alternatif dan solutif.
Ketika ruang publik terkontaminasi perdebatan-perdebatan kusir, mahasiswalah yang mesti meng-konter-nya. Caranya dengan melakukan pemetaan terhadap isu-isu kontraproduktif. Dengan demikian, isu-isu nirdemokratis tidak bermetamorfosis menjadi gerakan segregatif. Hal tersebut tentu saja mengandaikan kesadaran mahasiswa untuk tak jadi aktor antagonis yang melakukan gerakan-gerakan agresif anarkis.
Kebajikan intelektual juga memutlakkan independensi rasio kritis. Itu berarti yang dikedepankan adalah penalaran mahasiswa terhadap ruang publik.
Dengan demikian, mahasiswa tidak mudah dipakai sebagai alat politik untuk menaikkan rating elektoral partai ataupun sekelompok elite. Mahasiswa pun tak tersegmentasi dalam megaproyek kapitalisasi yang disutradarai para elite politik. Sebab, faktanya, para elite sering ”merekrut” dan mem-framing mahasiswa untuk menjalankan skenario politik parsial. Tidaklah mengherankan jika beberapa gerakan mahasiswa meng-copy paste ide-ide ataupun cara berpolitik para elite politik sebagai landasan gerakannya.
Di atas semua itu, kebajikan intelektual akan membantu mahasiswa untuk membantu rakyat berpartisipasi secara sadar dalam kontestasi elektoral. Hal tersebut tampak dalam aktualisasi publiknya yang tidak mendukung paradigma politik hegemonik. Di sini, mahasiswa bertugas menyediakan ide-ide konstruktif yang membantu rakyat untuk bisa menentukan orientasi dan kiblat politik. Hanya dengan itu, gerakan mahasiswa dapat menciptakan liberasi dan emansipasi. Hanya dengan itu jugalah, mahasiswa tidak dicurigai sebagai anggota kelompok partisan.
Inosentius Mansur Alumnus STFK Ledalero, Maumere; Pemerhati Sosial-Politik