Tiga nyawa melayang pada kasus kekerasan yang terjadi di Kota Depok, Jawa Barat, Oktober tahun ini. Kekerasan itu melibatkan anak muda berusia sekitar 20 tahun.
Kekerasan yang menelan korban jiwa itu, seperti diberitakan, berawal dari tawuran antarwarga (Kompas, 22/10/2018), bukanlah kejadian pertama di Depok atau Jakarta dan sekitarnya. Dalam catatan Kompas, selain tiga warga yang meninggal terkait kekerasan di Depok, sepanjang Juli-September 2018, tak kurang dari tiga nyawa juga melayang dalam lima tawuran di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi.
Kejadian tawuran, yang berujung pada jatuhnya korban jiwa, tentu memprihatinkan kita semua. Namun, kejadian itu semakin memilukan hati, kalau kita mencermati korban yang berjatuhan, berusia masih belia. Dalam tiga kasus kematian di Depok, usia korban berkisar 14-20 tahun. Pada kejadian sebelumnya, di Jakarta dan sekitarnya, usia korban berkisar 15-17 tahun. Pelaku kekerasan itu juga berusia belasan tahun pula. Miris....
Di negeri ini warga muda yang menjadi pelaku atau korban kekerasan, khususnya tawuran, bisa jadi berjumlah banyak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), September lalu, menyebutkan, di Indonesia tercatat 202 tawuran pelajar dalam dua tahun terakhir. Dalam tawuran itu, sebagian pelaku memakai senjata tajam, yang acap kali berujung pada jatuhnya korban jiwa. Warga tidak berani melerai karena takut terkena senjata tajam.
Pemerintah, aparat, dan masyarakat, termasuk orangtua dan guru, sesungguhnya tak lelah mencoba mengakhiri tumbuhnya kekerasan dalam kelompok muda itu, melalui berbagai program dan pendekatan, serta penegakan hukum. Namun, hingga kini kekerasan, yang antara lain terwujud dalam tawuran pelajar, tak berhenti juga. Bahkan, dalam beberapa kasus, budaya kekerasan dan tawuran itu ”ditradisikan” oleh senior dalam sekolah.
Sulitnya menghentikan kekerasan di kalangan kaum muda juga mengingatkan kita akan ciri manusia Indonesia, yang disampaikan wartawan senior Mochtar Lubis. Dia menyebutkan, salah satu ciri manusia Indonesia adalah kejam, mudah mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki.
Kondisi itu tak cuma tergambar pada kaum muda, tetapi pada mereka yang sudah dewasa pula. Tak jarang kita menemukan tawuran atau aksi kekerasan yang dilakukan orang dewasa. Artinya, keteladanan orang tua, yang bisa mengendalikan diri, tidak gampang berperilaku amuk, tak mudah terprovokasi, gampang berdamai, dan mau bergotong royong bisa menjadi teladan bagi kaum muda.
Tidak mudah untuk menegakkan hukum terhadap kaum muda yang melakukan kekerasan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menempatkan pelaku tawuran sebagai korban perlakuan salah, yang seharusnya mendapatkan perlindungan, bimbingan, ataupun pendampingan. Mereka melakukan kekerasan, tawuran, karena faktor eksternal.
Selain keteladanan orang tua, aksi kekerasan oleh remaja bisa diakhiri dengan terus-menerus menyampaikan bahaya dari tawuran atau kekerasan itu. Selain korban jiwa, tawuran juga bisa memicu konflik sosial, yang lebih merugikan masyarakat, seperti dalam pepatah kalah jadi abu, menang jadi arang.