Angka Gelap Korupsi
Statistik tindak pidana korupsi yang dilansir institusi penegak hukum, hasil penelitian pelbagai kampus, media massa atau lembaga swadaya masyarakat adalah angka-angka yang menunjukkan atau menggambarkan pelbagai aspek dari korupsi yang tercatat di suatu tempat dan waktu tertentu, baik yang disusun dalam bentuk grafik maupun tabel.
Secara umum, pengungkapan angka-angka statistik korupsi membantu publik memperoleh gambaran tentang jumlah laporan masyarakat, jumlah pelaku yang telah dijatuhi pidana, jumlah operasi tangkap tangan, jenis dan jumlah korupsi, jumlah kerugian negara, instansi yang terlibat, asal pelaku, jumlah perkara sudah diputus, jumlah dan macam gratifikasi, dan seterusnya.
Angka statistik dapat menjadi dasar penegak hukum dan pemerintah menentukan strategi dan arah kebijakan dalam penanggulangan korupsi pada masa yang akan datang. Buat para akademisi menjadi sumber data penelitian atau untuk memperkaya data dan analisis. Sementara bagi masyarakat, angka statistik dapat menjadi pengetahuan untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap sebab, akibat, dan kewaspadaan. Meski demikian, angka-angka korupsi tidaklah menggambarkan keadaan sebenarnya karena realitas korupsi dengan pelbagai dimensinya tidak akan pernah mampu digambarkan melalui angka-angka statistik mengingat kelemahan-kelemahan dalam pencatatan kriminal yang disebut sebagai angka gelap (dark number).
Angka gelap sebagai suatu istilah yang digunakan dalam kriminologi khususnya menunjukkan adanya kejahatan yang tidak terdaftar karena pelbagai sebab. Jika mengacu pada Steven Box, setidaknya terdapat beberapa penyebab adanya angka gelap dalam pencatatan kriminal pada umumnya. Pertama, keengganan korban atau masyarakat melaporkan karena menganggap aparat penegak hukum tidak efisien atau tidak akan memedulikan laporannya. Kedua, menganggap peristiwa yang menimpanya itu merupakan urusan pribadi, yang akan dia selesaikan sendiri. Ketiga, karena perasaan malu jika harus dilaporkan (dibeberkan), yaitu seperti kasus perzinaan, pemerkosaan.
Keempat, seseorang tidak mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban kejahatan. Kelima, korban yang sifatnya abstrak (abstract victim) karena sukar ditentukan secara khusus dan jelas (misalnya, masyarakat konsumen). Keenam, korban mengalami peristiwa kejahatan karena dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan tersebut, misalnya narkotika. Ketujuh, adanya perasaan takut dan khawatir apabila dilaporkan akan membutuhkan biaya terutama untuk transpor, atau apabila kejadian dilaporkan akan merepotkan pada waktu dilakukan pengusutan atau takut terhadap kemungkinan balas dendam dari si pelaku kejahatan.
Kelemahan pencatatan yang dikemukakan Steven Box itu bisa ditambahkan juga karena faktor diskresi polisi dalam mencatat peristiwa kejahatan. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti reputasi polisi, satu atau lebih jenis kejahatan tidak dicatat sebagai data kejahatan sehingga angka absolutnya rendah. Kemungkinan lain salah klasifikasi pelanggaran hukum sehingga jenis pelanggaran hukum yang satu dimasukkan ke dalam data pelanggaran hukum yang lain. Hal ini boleh jadi karena rumitnya permasalahan atau perbedaan penafsiran tentang suatu pelanggaran hukum tertentu atau satu orang terlibat dalam dua atau tiga jenis kejahatan sekaligus, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan.
Badan Pusat Statistik beberapa tahun lalu pernah melakukan survei mengenai soal ini, dan hasilnya mengejutkan, karena ternyata 50,28 persen kejahatan di Indonesia tidak dilaporkan oleh korbannya. Alasan tak melapor bervariasi: 20,08 persen menyatakan tak ada gunanya; 25,58 persen mengatakan tak pantas perkara itu dilaporkan; 14,72 persen mengaku dapat menyelesaikan sendiri persoalannya; 11,5 persen menganggap, melapor hal yang membuang-buang waktu saja; 8,06 persen merasa takut merepotkan; 3,46 persen tak tahu perkara itu harus dilaporkan.
Korupsi
Angka gelap pada kejahatan korupsi dalam beberapa aspek disebabkan oleh hal-hal yang lebih serius dibandingkan dengan angka gelap pada kejahatan konvensional. Mengapa? Pertama, kejahatan korupsi tergolong kejahatan tanpa ”korban” (crime without victim) sehingga hampir tidak mungkin ada laporan dari ”korban”, karena semua yang terlibat adalah pelaku, kecuali mereka pecah kongsi.
Kedua, korupsi tergolong kejahatan diam (silent crime) yang tersembunyi dari pandangan dan pengetahuan umum, dan karena itu sukar mengharapkan laporan masyarakat. Ketiga, korupsi termasuk kejahatan terorganisasi (organized crime) dengan modus operandi khusus yang sulit diungkap. Keempat, korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) yang melibatkan uang dan kekuasaan dengan proteksi tinggi. Kelima, kesulitan bukti-bukti hukum. Keenam, terjadi manipulasi data dan fakta oleh oknum penegak hukum untuk menyembunyikan kasus dan/atau memproteksi pelaku tertentu. Ketujuh, perbedaan kinerja, pandangan, dan data antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian terhadap sesuatu kasus yang menyebabkan kasus itu mangkrak. Kedelapan, duplikasi data antara KPK dan kejaksaan terkait satu atau lebih perkara yang melibatkan sejumlah pelaku. Kesembilan, duplikasi data pelaku yang terlibat dalam banyak kasus.
Angka gelap korupsi yang disebabkan oleh beberapa hal tersebut tidak saja menggelapkan realitas korupsi itu sendiri, tetapi juga tak menggambarkan tingkat keseriusan korupsi itu sesungguhnya. Dampaknya tentu saja pada tinggi rendahnya respons publik yang sangat diperlukan untuk membangun pengetahuan dan kesadaran bagi munculnya reaksi sosial sebagai kekuatan kontrol. Dampak lain adalah pada penyusunan politik kriminal pencegahan dan penanggulangan korupsi yang bisa tidak optimal. Pada bagian lain, angka gelap kasus korupsi sudah pasti akan membuat tidak terangnya jumlah kerugian negara, tidak tergambarnya secara komprehensif modus-modus operandi korupsi, tipologi korupsi, latar belakang pelaku, sektor-sektor tempat terjadinya korupsi, serta institusi yang terlibat yang sangat diperlukan untuk penyusunan politik kriminal pemberantasan korupsi yang berbeda dengan politik kriminal pemberantasan kejahatan konvensional, serta untuk kebutuhan kegiatan-kegiatan akademik (penelitian).
Oleh sebab itu, perlu dan penting sekali dilakukan perbaikan pada beberapa hal. Pertama, membenahi kinerja dan moralitas aparat penegak hukum (penyidik KPK) guna mengeleminasi dilakukannya diskresi yang tidak semestinya, sengaja menggelapkan kasus atau justru menersangkakan seseorang atau lebih yang sejatinya tidak layak. Kedua, mengefektifkan mekanisme reward bagi pelapor korupsi (whistle blower). Ketiga, menguatkan sistem justice collaborator.
Keempat, agar KPK melengkapi dan mengembangkan sistem pelaporannya dengan data statistik kriminal dengan cakupan info yang luas, antara lain tipologi, modus operandi, latar belakang pelaku, faktor pencetus, faktor situasional, dan seterusnya, tak sekadar data jumlah laporan, gratifikasi, proses hukum yang telah dijalankan. Kelima, mendayagunakan teknologi informasi dalam pencatatan untuk meminimalkan angka gelap korupsi.
Suparman Marzuki Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Senior Advisor pada Assegaf Hamzah and Partners